Kalau bagas di bikin koid gimana yah:>
'Aku baik-baik aja, jangan khawatir, jaga kesehatan kamu.'Itu adalah pesan yang di kirim oleh Bagas untuk Gina, malam setelah peristiwa bom di sana terjadi. Gina menghela nafas lega, dia akhirnya bisa tidur nyenyak setelah Bagas mengirim pesan.Gina berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya setelah begadang hingga pukul dua belas malam.Keesokan harinya, Gina bangun, mandi dan berpakaian, dia turun ke bawa untuk membuat sarapan bagi anak-anaknya. Setelah sarapan selesai, Gavin yang pertama turun ke bawah dengan seragam lengkap, di susul oleh Binar dan Ghazi."Udah jam tujuh, cepet sarapan!" Gina menyajikan piring berisikan nasi serta lauk-pauknya pada mereka."Mah, sarapan itu penting, jangan di buru-buru," ujar Ghazi, meralat ucapan ibunya.Gerakan Gina berhenti, lalu tersenyum pada Ghazi. "Oke, Mamah ngerti, Maafin Mamah, yah. Ayo sarapan."Ghazi mengangguk puas saat Gina berkata bahwa dia mengerti. Ke tiga anak itu memakan sarapan mereka dalam diam, beberapa menit kemudian ket
Seperti biasa, Gina bangun 0agi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya dan keperluan sekolah mereka. Wanita hamil itu melihat bahwa persediaan di kulkas sudah mulai menipis, dia berencana untuk pergi ke supermarket terdekat dan membeli lauk yang tidak tersedia di tukang sayur."Hari ini sarapan nasi goreng dulu, yah. Enggak pa-pa, kan, Kak?" tanya Gina pada Gavin."Enggak pa-pa, kok, Mah." Anak itu menyahut tidak masalah. Gavin mengambil air hangat yang Gina siapkan, meminumnya dengan pelan.Gina mulai menyiapkan sarapannya, dia menyuruh Gavin untuk mandi dan membangunkan adik-adiknya yang masih tertidur di kamar mereka masing-masing.***"Gimana, Mbak, Ghazi udah pulang?" tanya Lia yang sekarang berada di halaman rumah Gina.Gina menggelengkan kepalanya, menghela nafas berat. Hari sudah mulai gelap, akan tetapi anak keduanya itu masih belum pulang dari sekolah. Gina cemas, dia menelepon pihak sekolah dan mengetahui jika hari ini Ghazi tidak masuk dengan alasan sedang sakit.Anak itu j
"GHAZI!" bentakan menggelegar itu datang dari arah pintu masuk utama.Semua orang yang berada di sana terkejut, sontak menoleh kearah datangnya suara. Ketika Ghazi melihat ayahnya yang sudah tiga bulan tidak dia temui, tubuh kecilnya tanpa sadar menegang, anak itu mundur beberapa langkah karena ketakutan.Bagas berdiri di ambang pintu, penampilannya kini sangat tidak bisa dikenali. Pria itu bertubuh tinggi dan kekar, mengenakan seragam ketentaraan, dengan janggut dan kumis berantakkan memenuhi wajahnya.Gina juga kaget, jika bukan karena suaranya, dia benar-benar tidak mengenali pria yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah itu. Gina melemaskan badannya, berjalan menghampiri Bagas yang membawa tas besar. "Mas, kenapa enggak ngabarin kalau kamu pulang jam segini?" tanya Gina dengan lembut.Bagas tidak bergeming, matanya masih menatap Ghazi dengan tajam. "Bilang sekali lagi apa yang kamu bilang ke Mamah kamu tadi!" Pria itu seperti beruang hutan, berjalan mendekati anak keduanya.Tubuh Ghazi
"Ghazi ayo bangun, biar Mamah obati!" titah Gina dengan nada lembut.Ghazi masih tidak mendengarkan apa yang Gina katakan, anak itu tetap dalam posisinya sambil terus menangis. Gina menghela nafas berat, duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping tubuh Ghazi yang meringkuk. Lengan Gina terulur, mengelus pucuk kepala putranya dengan lembut."Sst, Sayang, sini, kalau enggak di obati nanti makin sakit," ujar Gina membujuk."Sakit, huhuhu." Anak itu menggelengkan kepalanya, menolak bujukan Gina.melihat Ghazi yang tidak mau beranjak, Gina lalu menarik ke atas celana yang anak itu ke akan, dan benar saja dia melihat memar keunguan di betis Ghazi. Gina mengeluarkan salep Oparin Gel, mengoleskannya dengan pelan pada memar Ghazi."Ayo, sini. Coba Mamah liat yang lain."Mengangguk, Ghazi akhirnya mendekat pada sang ibu, membuka pakaiannya, membiarkan Gina melihat memar di tubuhnya akibat pukulan Bagas. Gina menemukan satu di pinggang, lengan atas dan paha Ghazi."Sakit, Mah," rengek anak itu
"Makan dulu, besok kamu masuk ke sekolah lagi." Gina menaruh bawaannya di meja belajar.Ghazi tampak memejamkan mata, tubuhnya menggigil dengan bibir yang agak membiru. Gina yang kaget langsung menaruh punggung tangannya di dahi Ghazi, agak syok saat mengecek suhu anak itu yang di atas rata-rata."Ghazi, Ghazi, bangun, Sayang!" Gina mencoba membangunkan Ghazi.Yang keluar dari mulut Ghazi sebagai balasan adalah gertakan gigi dan memanggilnya dengan suara lemas. Jatuh Gina mau copot rasanya, rasa panik tiba-tiba melanda, dia tanpa babibu mengeluarkan ponsel, menelepon Bagas yang masih dalam perjalanan."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas di seberang telepon."Mas! Ghazi badannya panas, dia juga mengigil. Kamu pulang sekarang, pak sopir juga pasti lagi di sekolah anak-anak!""Oke, tunggu sebentar, aku balik ke sana!"Di seberang sana, Bagas langsung memutar balik mobilnya tanpa ragu. Dia menambhakan kecepatan, meliuk melewati beberapa pengendara di jalan raya. Dan tentu saja, hal itu di akhir
"Kenapa Papah ngelakuin itu? Apa salah aku!" Serly menatap tidak percaya pada ayahnya yang sudah tua. Pria tua itu menghukum untuk mengurungnya di rumah selama tiga bulan di tambah memberhentikan dia dari rumah sakit tempatnya bekerja."Cukup, Serly, kamu itu terllau banyak menimbulkan masalah buat Papah!" Seorang pria setengah baya yang berdiri di belakang pria tua itu maju dan membuka suara.Serly menoleh pada kakaknya dengan tatapan benci. "Di mana aku menimbulkan masalah? Soal aku yang ngajar di sekolah itu? Memangnya apa salah aku? Aku cuma ngajarin sama siswa dan siswi kalau mereka enggak boleh jadi manusia yang enggak berguna!""Terlalu banyak keluhan yang datang ke Papah. Kamu pergi ke kamar, keputusan Papah udah bulat!" Ayah Serly juga sebenarnya enggan menghukum sang anak, tapi tadi pagi Bagas datang dan mempertanyakan yang Serly lakukan dan dampaknya pada putra Bagas, Bagas bahkan secara sengaja atau tidak sengaja menegurnya, seolah bertanya apakah dia mendidik Serly dengan
Ketika usia kehamilan Gina sudah menginjak bulan ke empat, Bagas mengajukan cuti pada akhirnya. Jika tidak ada urusan yang mendesak, dia akan menemani Gina di rumah beserta anak-anaknya."Mah, Binar pengen dedek bayinya cewek, nanti, kan, bisa Binar ajak main boneka kalau cewek!" Anak itu duduk di pangkuan ayahnya, berkata pada Gina.Gina tersenyum, meletakan sepiring buah yang baru saja dia potong di atas meja kaca. "Cowok juga bisa kok, kak, di ajak main boneka," ujar Gina."Enggak bisa! Kak Ghazi sama Kak Gavin main bola terus, bukan boneka!" Binar menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak dengan tegas.Bagas yang sedari tadi mendengarkan percakapan ibu dan anak itu tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mengelus surai lembut putrinya dan berkata, "Kalau gitu Binar banyak-banyak cium adek bayinya di perut Mamah!""Emang kalau gitu bisa jadi cewek, Pah?" tanya Binar.Bagas mengangguk saja meskipun dia hanya asal bicara. Setelah itu Bagas mendapatkan pukulan dari Gina. Bagas sontak
Gina tersenyum, menikmati pijatan Bagas. Dua bulan kemudian, bengkak pada Kaki Gina menjadi semakin sering, Gina juga menjadi sangat sering bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil, dia sering kali terbangun di tengah malam ketika merasakan tidak nyaman di kakinya dan untuk buang air kecil."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas yang juga terbangun oleh gerakan sang istri."Aku pengen kencing, Mas. Kamu tidur lagi aja," jawab Gina.Bagas mengusap matanya, melihat wanita itu yang dengan susah payah berusaha membawa perut besarnya turun dari tempat tidur. Bagas bangun, menguap dan membantu Gina pergi ke kamar mandi."Aku bisa sendiri, Mas!" kata Gina dengan tidak berdaya."Aku pengen bantu, aku takut nanti kamu ke pleset di sana!""Enggak akan, aku hati-hati, kok," ujar Gina, akan tetapi dia tidak menolak ketika Bagas membantunya berjalan.Setelah menyelesaikan buang air kecilnya, Bagas kembali membantu Gina untuk berbaring du atas tempat tidur. Pria itu memijat sebentar kaki istrinya, mena
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G