"Makan dulu, besok kamu masuk ke sekolah lagi." Gina menaruh bawaannya di meja belajar.Ghazi tampak memejamkan mata, tubuhnya menggigil dengan bibir yang agak membiru. Gina yang kaget langsung menaruh punggung tangannya di dahi Ghazi, agak syok saat mengecek suhu anak itu yang di atas rata-rata."Ghazi, Ghazi, bangun, Sayang!" Gina mencoba membangunkan Ghazi.Yang keluar dari mulut Ghazi sebagai balasan adalah gertakan gigi dan memanggilnya dengan suara lemas. Jatuh Gina mau copot rasanya, rasa panik tiba-tiba melanda, dia tanpa babibu mengeluarkan ponsel, menelepon Bagas yang masih dalam perjalanan."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas di seberang telepon."Mas! Ghazi badannya panas, dia juga mengigil. Kamu pulang sekarang, pak sopir juga pasti lagi di sekolah anak-anak!""Oke, tunggu sebentar, aku balik ke sana!"Di seberang sana, Bagas langsung memutar balik mobilnya tanpa ragu. Dia menambhakan kecepatan, meliuk melewati beberapa pengendara di jalan raya. Dan tentu saja, hal itu di akhir
"Kenapa Papah ngelakuin itu? Apa salah aku!" Serly menatap tidak percaya pada ayahnya yang sudah tua. Pria tua itu menghukum untuk mengurungnya di rumah selama tiga bulan di tambah memberhentikan dia dari rumah sakit tempatnya bekerja."Cukup, Serly, kamu itu terllau banyak menimbulkan masalah buat Papah!" Seorang pria setengah baya yang berdiri di belakang pria tua itu maju dan membuka suara.Serly menoleh pada kakaknya dengan tatapan benci. "Di mana aku menimbulkan masalah? Soal aku yang ngajar di sekolah itu? Memangnya apa salah aku? Aku cuma ngajarin sama siswa dan siswi kalau mereka enggak boleh jadi manusia yang enggak berguna!""Terlalu banyak keluhan yang datang ke Papah. Kamu pergi ke kamar, keputusan Papah udah bulat!" Ayah Serly juga sebenarnya enggan menghukum sang anak, tapi tadi pagi Bagas datang dan mempertanyakan yang Serly lakukan dan dampaknya pada putra Bagas, Bagas bahkan secara sengaja atau tidak sengaja menegurnya, seolah bertanya apakah dia mendidik Serly dengan
Ketika usia kehamilan Gina sudah menginjak bulan ke empat, Bagas mengajukan cuti pada akhirnya. Jika tidak ada urusan yang mendesak, dia akan menemani Gina di rumah beserta anak-anaknya."Mah, Binar pengen dedek bayinya cewek, nanti, kan, bisa Binar ajak main boneka kalau cewek!" Anak itu duduk di pangkuan ayahnya, berkata pada Gina.Gina tersenyum, meletakan sepiring buah yang baru saja dia potong di atas meja kaca. "Cowok juga bisa kok, kak, di ajak main boneka," ujar Gina."Enggak bisa! Kak Ghazi sama Kak Gavin main bola terus, bukan boneka!" Binar menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak dengan tegas.Bagas yang sedari tadi mendengarkan percakapan ibu dan anak itu tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mengelus surai lembut putrinya dan berkata, "Kalau gitu Binar banyak-banyak cium adek bayinya di perut Mamah!""Emang kalau gitu bisa jadi cewek, Pah?" tanya Binar.Bagas mengangguk saja meskipun dia hanya asal bicara. Setelah itu Bagas mendapatkan pukulan dari Gina. Bagas sontak
Gina tersenyum, menikmati pijatan Bagas. Dua bulan kemudian, bengkak pada Kaki Gina menjadi semakin sering, Gina juga menjadi sangat sering bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil, dia sering kali terbangun di tengah malam ketika merasakan tidak nyaman di kakinya dan untuk buang air kecil."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas yang juga terbangun oleh gerakan sang istri."Aku pengen kencing, Mas. Kamu tidur lagi aja," jawab Gina.Bagas mengusap matanya, melihat wanita itu yang dengan susah payah berusaha membawa perut besarnya turun dari tempat tidur. Bagas bangun, menguap dan membantu Gina pergi ke kamar mandi."Aku bisa sendiri, Mas!" kata Gina dengan tidak berdaya."Aku pengen bantu, aku takut nanti kamu ke pleset di sana!""Enggak akan, aku hati-hati, kok," ujar Gina, akan tetapi dia tidak menolak ketika Bagas membantunya berjalan.Setelah menyelesaikan buang air kecilnya, Bagas kembali membantu Gina untuk berbaring du atas tempat tidur. Pria itu memijat sebentar kaki istrinya, mena
"Tadi kalian ngomongin apa?" tanya Bagas, walaupun dia berdiri di samping Gina dan mendengarkan pembicaraannya dengan Lia, namun Bagas sama sekali tidak mengerti apa yang ke dua wanita itu bicarakan.Gina menunjukan senyum nakal. "Apasih! Mau tau aja urusan perempuan!" Wanita itu lalu tertawa.Bagas tersenyum, tidak kesal atau marah karena Gina tidak menjawabnya. Sebaliknya, Bagas mencubit pelan pipi tembam Gina dengan gemas, menciumnya dengan sangat rakus."Mas!" protes Gina tidak senang. Pipinya memerah, dia malu dan takut seseorang memperhatikan mereka."Soalnya kamu gemes banget! Gemoy!" Bagas meremas dagu Gina."Gendut maksud kamu?" tanya Gina dengan mata memicing."Bukan, Sayang. Gemes, bukan gendut!" Bagas meralat ucapan Gina. Jangan sampai pembicaraan mereka berujung kekesalan Gina."Halah, bilang aja gendut!" Gina mendengus, mempercepat langkah kakinya."Jangan cepet-cepet jalannya, Gin. Nanti kamu jatoh!" Bagas memperingatkan, dia mengikuti istrinya dari belakang."Enggak ak
Bagas pergi ke kantor polisi, dia berterimakasih pada tetangga yang membantunya membawa sopir itu. Para polisi di ruangan segera menyapa Bagas dengan sopan, semua orang tahu bahwa Bagas mempunyai jabatan tinggi di ketentaraan."Pelaku sudah berada di dalam, pak!" Salah satu petugas polisi membawa Bagas bertemu dengan pelaku.Sopir yang menabrak Gina berada di sebuah ruangan tertutup yang mana hanya ada dia sendiri di sana. Bagas tampa ragu membuka pintu, melihat pelaku itu menyusut dan gemetar ketakutan ketika melihat Bagas masuk.Wajah Bagas terlihat bengis karena amarah yang melonjak dalam dadanya. Dia melangkah maju, menarik rambut pria parubaya itu dan menghajarnya.Setelah di selidiki, pria itu bernama Saikam, seorang sopir taksi yang tinggal jauh dari perumahan Gina dan Bagas. Tapi entah mengapa Saikam ada di sana hari ini, bahkan masuk ke dalam perumahan. Tentu saja Bagas menyadari bahwa hal itu sepertinya bukan kebetulan. Di pagi hari, berkendara dengan kecepatan tinggi padaha
Xavier tampak hanya diam mengabaikan perkataan Lia. Lia mendengus, bangkit dari duduknya."Mau ke mana?" tanya Xavier saat melihat kepergian wanita itu."Tidur, saya udah ngantuk banget," jawab Lia sambil menguap.Kepala Xavier naik turun, mengangguk dengan pelan. Lia pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Benar, meskipun statusnya adalah ART, akan tetapi Lia tidak tidur di kamar ART. Xavier memberikannya sebuah kamar di sebelah kamar pria itu, alasannya karena itu akan memudahkan Lia dalam 'melayani' setiap kebutuhan Xavier.Lia, sih, tidak merasa ada yang salah. Dia senang bisa tidur di kamar yang indah dan kasur empuk. Lima tahun bekerja di rumah Xavier, Lia bahkan pernah mengira Xavier menyukainya. Akan tetapi dia langsung menghilangkan dugaan itu saat ingat bahwa pria itu suka bermain dengan berbagai wanita.Masuk ke dalam kamar, sudah ada Binar yang berbaring di atas tempat tidur. Lia mengusap kening anak itu, merasa kasihan dalam hatinya. Dia ikut berbaring, memejamkan ma
"Binar enggak mau pulang! Mau sama Papah aja! Mau sama mamah juga! Huaaa!" tangis histeris Binar terdengar di koridor rumah sakit. Anak itu menolak ketika Bagas mengatakan bahwa dia akan menitipkan mereka kembali di rumah Xavier."Binar, nanti besok Papah jemput lagi, sekarang Binar sama tante Lia dulu, yah." Bagas membujuk anak itu dengan tidak berdaya.Penampilan Bagas bisa di bilang kuyu sekarang. Berat badannya berkurang sejak Gina dilarikan ke rumah sakit, wajahnya kusam, dagunya dipenuhi dengan janggut yang lebat. Bagas terlihat sepuluh tahun lebih tua dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk membujuk Binar dengan benar saat ini."Huhu, enggak mau, Pah! Binar mau di sini aja!" Binar menggeleng, air mata memenuhi pipinya."Kalau di sini nanti kamu enggak bisa tidur, tidurnya di kursi, Binar mau?" tanya Bagas, mencoba menakut-nakuti anak itu.Siapa yang tahu bahwa Binar akan mengangguk dengan wajah cemberut. "Mau sama Papah aja!"Bagas menghela nafas, tidak tah