''Besok aku pergi, kamu enggak akan kangen?'' bisik Bagas, bertanya pada Gina. ''Emang kamu enggak akan pulang lagi?'' tanya Gina balik, mencoba menyingkirkan lengan Bagas yang sedang meraba dadanya. ''Tiga bulan, loh, Sayang. Setelah ini aku puasa tiga bulan.'' Bagas cemberut, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Gina. Pria itu menarik nafas dalam, menghirup aroma Gina yang akan dia rindukan. Tangan Bagas mulai berkeliaran di tubuh Gina, pria itu mengecup di sepanjang tengkuk Gina. Gina menciutkan lehernya yang kegelian karena ciuman beruntun Bagas. ''Haha, stop, Mas!'' Gina tertawa kecil, mencoba menghentikan Bagas. ''Enggak mau.'' Bagas menolak, satu tangan yang meraba dada Gina turun ke perut wanita itu. ''Aku pengen yang, enggak kuat.'' Ketika telapak tangan besar Bagas mengelus perutnya di balik piyama, tubuh Gina menegang, teringat akan hasil testpacknya tadi siang. ''Mas, stop!'' titah Gina dengan suara tegas. ''Kenapa?'' Bagas mengerutkan kening kebingungan. ''Kita eng
"Mah, papah kapan pulang?"Minggu ke dua Bagas pergi, Binar secara rutin bertanya pada Gina kapan ayahnya akan pulang. Dia sangat merindukan ayahnya, berharap setiap hari bahwa sang ayah segera akan pulang."Belum, nanti kalau papah pulang, Mamah pasti kasih tau Binar. Oke?" Gina membujuk dengan kalimat yang sama setiap harinya.Lalu anak itu akan cemberut, setelahnya Binar akan pergi ke luar untuk bermain teman-temannya barunya di perumahan. Gina juga sama, dia sudah cukup akrab dengan tetangga di sekitar rumahnya. Lebih tepatnya dengan ART karena nyonya rumah mereka sibuk bekerja. Berbeda dengan Gina yang hanya ibu rumah tangga."Ngeselin banget tua bangka itu hari ini! Masa Aku lagi beresin baju di kamarnya dia keluar kamar mandi enggak pake handuk! Mana pamer pula bolak-balik dua kali di tempat yang sama!" Lia curhat padanya dengan suara yang menggebu-gebu.Karena bosan, selama Bagas tidak ada, Gina banyak bergaul dengan Lia. "Memangnya kamu enggak tergoda, Li?" tanya Gina dengan i
Gina mengangguk. "Belajar yang rajin, jangan main yang aneh-aneh," nasehat Gina.Gavin mengangguk mengerti apa yang ibunya katakan. Dia melanjutkan Makan malamnya.***"Halo Ghazi!" Sapa Serly yang sengaja datang ke sekolah anak itu.Ghazi menatap Serly dengan bingung, dia ingat bahwa Serly adalah orang yang pernah bertemu dengannya di kampung, tapi Ghazi tidak tahu untuk apa Serly di sini."Halo Tante," balas Ghazi dengan suara pelan.Serly tersenyum selembut dan se ramah mungkin pada Ghazi. "Kamu belum masuk ke kelas?" tanya Serly.Ghazi yang baru saja dari toilet menggelengkan kepalanya. "Belum Tan. Tante ngapain di sini?" tanya Ghazi penasaran."Tante jadi guru sementara di sini buat mengedukasi siswa-siswi tentang pentingnya kesehatan," jawab Serly. "Kepala sekolah sendiri yang mengundang Tante supaya datang."Mulut Ghazi membentuk huruf 'o' besar, lalu mengangguk mengerti. "Ghazi pergi dulu!" Anak itu berlari pergi tanpa menunggu jawaban Serly.Serly senang, setidaknya langkah pe
''Dadah Tante!'' Ghazi melambaikan tangannya pada Serly yang berada di dalam mobil. Di ambang pintu, Gina menatap Ghazi dengan heran ketika melihat anak itu tampak mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang berada di dalam mobil. Gina berjalan menghampiri Ghazi, kemudian setelah mobil itu pergi Ghazi juga berbalik, berlari menghampirinya. ''Mamah!'' seru Ghazi ketika melihat ibunya. ''Ayo masuk, ini udah mau maghrib!'' titah Gina. ''Adik sama kakak kamu udah pulang dari tadi. Seharusnya Ghazi kasih tau Mamah kalau misalkan mau pulang sore, kaya kakak kamu kemaren,'' ujar Gina. Ghazi cemberut, dia merasa bahwa ibunya tidak tahu apa pun tentang kehidupan sekolah. ''Tadi Ghazi habiz ke pameran, Mah. Keren banget, banyak robot yang bisa gerak sendiri!'' Dia bercerita tentang apa yang di lihatnya selama berada di pameran pada Gina. Gina menghela nafas lega. ''Yaudah, cepet mandi dan ganti baju.'' Keduanya masuk ke dalam rumah, Ghazi langsung berlari ke kamar untuk membersihkan di
'Aku baik-baik aja, jangan khawatir, jaga kesehatan kamu.'Itu adalah pesan yang di kirim oleh Bagas untuk Gina, malam setelah peristiwa bom di sana terjadi. Gina menghela nafas lega, dia akhirnya bisa tidur nyenyak setelah Bagas mengirim pesan.Gina berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya setelah begadang hingga pukul dua belas malam.Keesokan harinya, Gina bangun, mandi dan berpakaian, dia turun ke bawa untuk membuat sarapan bagi anak-anaknya. Setelah sarapan selesai, Gavin yang pertama turun ke bawah dengan seragam lengkap, di susul oleh Binar dan Ghazi."Udah jam tujuh, cepet sarapan!" Gina menyajikan piring berisikan nasi serta lauk-pauknya pada mereka."Mah, sarapan itu penting, jangan di buru-buru," ujar Ghazi, meralat ucapan ibunya.Gerakan Gina berhenti, lalu tersenyum pada Ghazi. "Oke, Mamah ngerti, Maafin Mamah, yah. Ayo sarapan."Ghazi mengangguk puas saat Gina berkata bahwa dia mengerti. Ke tiga anak itu memakan sarapan mereka dalam diam, beberapa menit kemudian ket
Seperti biasa, Gina bangun 0agi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya dan keperluan sekolah mereka. Wanita hamil itu melihat bahwa persediaan di kulkas sudah mulai menipis, dia berencana untuk pergi ke supermarket terdekat dan membeli lauk yang tidak tersedia di tukang sayur."Hari ini sarapan nasi goreng dulu, yah. Enggak pa-pa, kan, Kak?" tanya Gina pada Gavin."Enggak pa-pa, kok, Mah." Anak itu menyahut tidak masalah. Gavin mengambil air hangat yang Gina siapkan, meminumnya dengan pelan.Gina mulai menyiapkan sarapannya, dia menyuruh Gavin untuk mandi dan membangunkan adik-adiknya yang masih tertidur di kamar mereka masing-masing.***"Gimana, Mbak, Ghazi udah pulang?" tanya Lia yang sekarang berada di halaman rumah Gina.Gina menggelengkan kepalanya, menghela nafas berat. Hari sudah mulai gelap, akan tetapi anak keduanya itu masih belum pulang dari sekolah. Gina cemas, dia menelepon pihak sekolah dan mengetahui jika hari ini Ghazi tidak masuk dengan alasan sedang sakit.Anak itu j
"GHAZI!" bentakan menggelegar itu datang dari arah pintu masuk utama.Semua orang yang berada di sana terkejut, sontak menoleh kearah datangnya suara. Ketika Ghazi melihat ayahnya yang sudah tiga bulan tidak dia temui, tubuh kecilnya tanpa sadar menegang, anak itu mundur beberapa langkah karena ketakutan.Bagas berdiri di ambang pintu, penampilannya kini sangat tidak bisa dikenali. Pria itu bertubuh tinggi dan kekar, mengenakan seragam ketentaraan, dengan janggut dan kumis berantakkan memenuhi wajahnya.Gina juga kaget, jika bukan karena suaranya, dia benar-benar tidak mengenali pria yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah itu. Gina melemaskan badannya, berjalan menghampiri Bagas yang membawa tas besar. "Mas, kenapa enggak ngabarin kalau kamu pulang jam segini?" tanya Gina dengan lembut.Bagas tidak bergeming, matanya masih menatap Ghazi dengan tajam. "Bilang sekali lagi apa yang kamu bilang ke Mamah kamu tadi!" Pria itu seperti beruang hutan, berjalan mendekati anak keduanya.Tubuh Ghazi
"Ghazi ayo bangun, biar Mamah obati!" titah Gina dengan nada lembut.Ghazi masih tidak mendengarkan apa yang Gina katakan, anak itu tetap dalam posisinya sambil terus menangis. Gina menghela nafas berat, duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping tubuh Ghazi yang meringkuk. Lengan Gina terulur, mengelus pucuk kepala putranya dengan lembut."Sst, Sayang, sini, kalau enggak di obati nanti makin sakit," ujar Gina membujuk."Sakit, huhuhu." Anak itu menggelengkan kepalanya, menolak bujukan Gina.melihat Ghazi yang tidak mau beranjak, Gina lalu menarik ke atas celana yang anak itu ke akan, dan benar saja dia melihat memar keunguan di betis Ghazi. Gina mengeluarkan salep Oparin Gel, mengoleskannya dengan pelan pada memar Ghazi."Ayo, sini. Coba Mamah liat yang lain."Mengangguk, Ghazi akhirnya mendekat pada sang ibu, membuka pakaiannya, membiarkan Gina melihat memar di tubuhnya akibat pukulan Bagas. Gina menemukan satu di pinggang, lengan atas dan paha Ghazi."Sakit, Mah," rengek anak itu