Angin dingin malam menusuk kulit Liu Feng saat ia berdiri di tepi jurang yang menghadap lembah luas. Suara desiran angin berpadu dengan suara gemericik air terjun di kejauhan, menciptakan harmoni yang misterius namun menenangkan. Lembah itu tampak tak berujung, diterangi oleh sinar bulan yang pucat. Di kejauhan, bayangan pohon-pohon besar tampak seperti penjaga tua yang menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.
Liu Feng merasakan dadanya sesak, bukan karena ketinggian atau udara dingin, tetapi karena perasaan aneh yang terus menghantuinya sejak ia tiba di tempat ini. Perasaan itu seperti panggilan, suara tanpa wujud yang berbisik lembut di telinganya, memintanya untuk melangkah lebih jauh, lebih dalam. Namun, ia tahu bahwa setiap langkah ke depan berarti meninggalkan kehidupannya yang lama—sebuah kehidupan yang sudah hancur sejak keluarganya dihabisi oleh tangan-tangan kejam orang-orang yang ia percaya. Malam ini adalah titik balik. “Apakah aku benar-benar siap untuk ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tertelan oleh suara angin. Bayangan gurunya, seorang lelaki tua bernama Tuan Lei, muncul dalam pikirannya. Gurunya selalu mengatakan bahwa setiap orang memiliki takdir, tetapi hanya mereka yang berani menghadapi ketakutan mereka yang dapat menyingkapnya. Kata-kata itu yang membawanya ke sini, di depan lembah yang disebut sebagai Lembah Kaisar Takdir—tempat yang menurut legenda dapat mengungkap rahasia terbesar dunia dan memberikan kekuatan tak terbatas. Namun, legenda itu juga datang dengan peringatan: tidak semua yang memasuki lembah ini kembali. Liu Feng menggenggam pedang tua di pinggangnya dengan erat. Pedang itu adalah satu-satunya peninggalan keluarganya, sebuah simbol kekuatan sekaligus beban. Selama bertahun-tahun, ia hanya tahu cara bertahan hidup, tetapi malam ini ia harus belajar untuk bertarung. Langkah pertamanya menuju lembah disertai dengan desahan napas panjang. Tanah di bawah kakinya terasa basah, licin oleh embun malam. Setiap langkah terasa berat, seolah lembah itu sendiri mencoba menolak kehadirannya. Namun, Liu Feng tidak berhenti. Setiap langkah adalah pernyataan, sebuah penolakan terhadap nasib yang telah menghancurkan segalanya. Ketika ia mencapai mulut lembah, suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya dingin kini terasa hangat, bahkan panas, seperti napas dari makhluk raksasa yang sedang tidur. Liu Feng berhenti sejenak, matanya menyipit saat ia melihat sesuatu yang aneh. Di tengah lembah, sebuah cahaya merah redup bersinar seperti api kecil. Cahaya itu menariknya, seperti magnet yang memanggil besi. “Liu Feng…” Liu Feng membeku. Suara itu jelas, hampir seperti seseorang sedang berbisik langsung di telinganya. Ia menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Dadanya terasa sesak, kali ini karena ketakutan. Namun, ia segera mengguncang kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk. “Ini hanya imajinasiku,” katanya pada dirinya sendiri. Namun, saat ia melangkah lebih dekat ke arah cahaya, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. “Liu Feng… takdirmu menunggumu…” Ia berhenti. Keringat mulai mengalir di dahinya meskipun udara di sekitarnya semakin dingin. Cahaya merah itu semakin dekat, tetapi suara itu semakin kuat, memenuhi pikirannya. Tiba-tiba, tanah di bawahnya berguncang. Sebuah retakan muncul di tanah, memanjang seperti ular yang merayap menuju cahaya merah itu. Liu Feng melompat mundur dengan refleks, matanya terbelalak saat melihat retakan itu mengeluarkan asap tipis. Dari dalam retakan, sebuah bayangan muncul. Bayangan itu bukan manusia, tetapi berbentuk seperti makhluk berkaki empat dengan mata merah menyala. Makhluk itu berdiri diam, mengawasi Liu Feng dengan intensitas yang menakutkan. “Siapa kau?!” teriak Liu Feng, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Makhluk itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat tanah di bawahnya retak lebih dalam. Liu Feng merasakan hawa panas yang membakar dari makhluk itu, seperti api yang tersembunyi di balik kulitnya. Dalam sekejap, makhluk itu melompat ke arah Liu Feng dengan kecepatan yang mengejutkan. Liu Feng menghunus pedangnya dengan cepat, menangkis serangan yang datang seperti badai. Dentingan logam melawan cakar makhluk itu terdengar nyaring, menggema di seluruh lembah. Pertarungan itu berlangsung cepat dan brutal. Liu Feng menyadari bahwa makhluk ini bukan hanya penjaga biasa; ia adalah ujian pertama bagi siapa pun yang mencoba memasuki lembah ini. Setiap serangan makhluk itu terasa seperti serangan langsung ke jiwanya, seolah-olah makhluk itu mencoba menghancurkan keberanian yang tersisa dalam dirinya. Namun, Liu Feng tidak mundur. Dengan setiap serangan, ia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah kekuatan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Pedangnya, yang sebelumnya hanya tampak seperti logam tua, mulai bersinar lembut, seolah merespons tekad Liu Feng. Saat makhluk itu melompat untuk menyerang lagi, Liu Feng melihat celah. Dengan seluruh kekuatannya, ia mengayunkan pedangnya, membelah udara dengan kecepatan yang mematikan. Pedangnya menghantam makhluk itu tepat di dada, mengeluarkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan sebelum akhirnya runtuh ke tanah. Tubuhnya menghilang menjadi asap, meninggalkan aroma terbakar yang menyengat. Liu Feng terengah-engah, kakinya gemetar saat ia mencoba tetap berdiri. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan mengancam. “Kau telah melangkah terlalu jauh, Liu Feng. Takdirmu baru saja dimulai.” Liu Feng merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah cahaya merah yang kini semakin terang, hampir menyilaukannya. Namun, sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk terus maju, meskipun ia tahu bahwa setiap langkah berikutnya akan membawa bahaya yang lebih besar. Ia mengepalkan pedangnya dengan erat dan melangkah maju, memasuki lembah dengan tekad yang tak tergoyahkan. Saat bayangan pedang teratai perlahan menyatu dengan tubuh Liu Feng, rasa dingin menusuk langsung menyergap dirinya. Namun, di balik rasa dingin itu, kekuatan besar yang tidak diketahui asal-usulnya mulai bangkit. Dalam keheningan malam yang semakin gelap, tubuh Liu Feng mulai bersinar lembut, seperti nyala api yang baru saja dinyalakan. Ia tidak menyadari, jauh di dalam lembah itu, mata yang mengintai telah memperhatikannya dengan penuh minat.Setelah menerima tawaran Shen Tao, Liu Feng berdiri di depan rumahnya untuk terakhir kalinya. Desa Batu Tenang, dengan segala kehangatannya, kini terasa terlalu kecil untuk mimpi-mimpinya. Langkahnya berat, tapi hatinya dipenuhi semangat baru. Di satu sisi, ia tahu perjalanan ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Namun di sisi lain, ia tak dapat menghilangkan rasa bersalah karena meninggalkan ayahnya yang masih memulihkan diri. "Liu Feng, kau harus percaya bahwa takdirmu ada di luar sana," ujar ayahnya saat ia berpamitan. "Pergilah, jadilah lebih dari apa yang pernah kubayangkan. Aku bangga padamu." Dengan air mata yang tertahan, Liu Feng mengikuti Shen Tao meninggalkan desa. Mereka melewati hutan, bukit, dan jalan-jalan berbatu yang sepi. Selama perjalanan, Liu Feng terus memperhatikan Shen Tao, seorang pria yang tampak tenang namun memancarkan aura kekuatan. "Shifu," Liu Feng akhirnya memberanikan diri bertanya. "Mengapa Anda memilih saya?" Shen Tao berhenti berjalan dan
Liu Feng berdiri di atas puncak tebing, memandangi hutan belantara yang terhampar di bawahnya. Angin kencang berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Meski tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang, semangatnya tetap menyala. Ia menggenggam erat pedang yang telah menemani perjalanannya sejauh ini, merasakan kekuatan baru yang mengalir perlahan di tubuhnya.“Liu Feng, fokuslah!” suara Shen Tao menggema, membuyarkan lamunannya. Mentor barunya itu berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. “Jika kau tak bisa mengendalikan energi itu, kau akan menghancurkan dirimu sendiri sebelum menghadapi lawan.”Liu Feng mengangguk tegas. Pelatihan bersama Shen Tao baru saja dimulai, tetapi ia sudah merasakan tekanannya. Tidak ada kelonggaran dalam metode Shen Tao. Setiap gerakan salah dihukum dengan keras, setiap keraguan dianggap kelemahan. Namun, Liu Feng tahu bahwa semua itu dilakukan demi mengasahnya menjadi lebih kuat.Hari itu, Shen Ta
Liu Feng melangkah meninggalkan lembah dengan tubuh yang masih terasa berat. Pertarungan melawan makhluk besar semalam masih membekas di pikirannya. Luka-luka kecil di lengannya terasa perih, tetapi ia tidak mengeluh. Baginya, rasa sakit itu adalah bukti bahwa ia telah melewati ujian pertamanya."Langkah pertamamu sudah berhasil," ujar Shen Tao sambil berjalan di depan, tangannya menggenggam tongkat kayu yang digunakan untuk menyingkirkan ranting dan dedaunan. "Namun, kau harus ingat, ini baru awal dari pelatihanmu. Energi Roh Api itu tidak stabil. Jika kau tidak mempelajari cara mengendalikannya, maka energi itu bisa menghancurkanmu kapan saja."Liu Feng hanya mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh—sebuah keyakinan bahwa ia bisa mengatasi apa pun yang datang.Mereka akhirnya tiba di sebuah hutan bambu yang lebat. Suara gemerisik angin di antara batang bambu menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Shen Tao tidak
Hutan bambu yang awalnya terasa menenangkan kini berubah menjadi tempat yang penuh misteri. Suara angin yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi jeritan halus yang menggema di telinga Liu Feng. Malam semakin larut, dan kegelapan mulai melingkupi tempat itu. Liu Feng duduk di depan rumah tua, matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang bergoyang tertiup angin."Apa yang kau pikirkan?" suara Shen Tao tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Pria itu berdiri di depan pintu, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya redup. Wajahnya terlihat serius, seolah ia merasakan sesuatu yang tidak biasa."Aku merasa... ada sesuatu yang salah," jawab Liu Feng. "Hutan ini terasa berbeda, seperti sedang memperhatikan kita."Shen Tao menghela napas panjang. "Kau tidak salah. Hutan ini memang memiliki kehidupan sendiri. Namun, yang membuatku khawatir adalah kehadiran energi asing yang aku rasakan sejak tadi sore.""Energi asing?" Liu Feng mengerutkan kening. "Apa itu berarti ada seseorang atau sesuatu d
Fajar mulai menyingsing, menyingkirkan sisa-sisa kegelapan malam. Sinar matahari pertama memantul di dedaunan hutan bambu, menciptakan kilauan yang indah namun tidak cukup untuk mengusir perasaan gelisah di hati Liu Feng. Ia terus memandangi tanda hitam yang kini menghiasi lengannya, merasakan denyutan aneh yang seolah memiliki kehidupan sendiri. "Shen Tao," panggil Liu Feng dengan suara pelan, namun penuh kecemasan. "Apa sebenarnya tanda ini? Mengapa aku bisa merasakannya seperti darah yang mengalir di nadiku?" Shen Tao tidak langsung menjawab. Pria itu duduk di sebuah batu besar, matanya menatap kosong ke arah pepohonan. Sepertinya ia tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Tanda itu bukan hal yang seharusnya muncul begitu saja," ucap Shen Tao dengan nada serius. "Hanya mereka yang telah bersentuhan dengan energi kegelapan terdalam yang bisa memiliki tanda seperti itu." Liu Feng terkejut mendengarnya. "Energi kegelapan? Tapi aku
Langit yang gelap bergetar ketika Yue Lan menyentuh tanda hitam di lengan Liu Feng. Energi misterius menyebar, seperti gelombang pasang yang menguasai setiap inci ruang di sekitarnya. Dalam sekejap, dunia mereka berubah. Hutan yang sunyi kini berganti dengan tanah tandus yang diselimuti kabut pekat. Di kejauhan, terdengar suara langkah berat, diselingi gemuruh suara seperti makhluk raksasa yang sedang mendekat. "Di mana kita?" tanya Liu Feng, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup cepat. "Ini adalah dunia dalam tanda itu," jawab Yue Lan, suaranya tegas namun penuh ketenangan. "Hanya mereka yang terhubung dengan energi kegelapan yang bisa masuk ke sini." Shen Tao memandang sekeliling, wajahnya penuh kewaspadaan. "Apa tujuanmu membawa kami ke sini? Dunia ini bukan tempat untuk bermain-main." Yue Lan menghela napas. "Aku tidak membawa kalian ke sini untuk bermain-main. Dunia ini adalah cerminan dari kekuatan tanda hitam. Jika Liu Feng ingin menguasainya, ia harus menghada
Langit mulai memerah ketika suara ledakan mengguncang hutan bambu. Rerumputan hijau yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi arena kekacauan. Liu Feng, Shen Tao, dan Yue Lan berdiri di tengah kepanikan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi."Liu Feng, cepat! Kita harus pergi!" teriak Yue Lan, menarik lengan Liu Feng.Namun, langkah mereka terhenti ketika bayangan besar muncul dari balik pepohonan. Sosok itu berbentuk seperti manusia, namun tubuhnya terbungkus kabut hitam yang terus bergerak seperti makhluk hidup. Matanya memancarkan cahaya merah, penuh dengan kebencian."Dia sudah menemukan kita," gumam Yue Lan dengan suara gemetar.Liu Feng mengepalkan pedangnya lebih erat, mencoba menahan rasa takut yang mulai menjalari tubuhnya. "Siapa dia?""Makhluk bayangan. Salah satu utusan dari Penguasa Kegelapan," jawab Yue Lan. "Tanda hitam di lenganmu menarik perhatian mereka. Mereka datang untuk mengambilnya darimu."Shen Tao melangkah maju, berdiri di depan Liu Feng dan Yue Lan
Kabut itu bukan sekadar udara tebal. Setiap hembusannya membawa bisikan, cerita masa lalu yang kelam, dan janji kematian bagi mereka yang lemah. Liu Feng, Shen Tao, dan Yue Lan melangkah perlahan, dikelilingi oleh kegelapan yang seolah hidup. “Jangan terlalu jauh dariku,” kata Shen Tao dengan nada tegas. “Kabut ini tidak hanya menghalangi penglihatan, tetapi juga memanipulasi pikiran.” Liu Feng merasakan tanda di lengannya mulai panas. Semakin dalam mereka melangkah, semakin berat langkahnya. Seolah-olah sesuatu di dalam kabut itu memanggilnya, menariknya untuk maju. “Feng, kau baik-baik saja?” tanya Yue Lan, nada suaranya cemas. Liu Feng mengangguk singkat. “Aku baik. Tapi... ada sesuatu yang aneh di sini.” Bisikan dalam kabut semakin keras, membuat suasana semakin mencekam. Shen Tao berhenti di depan mereka, menatap sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan. “Siapkan senjatamu,” perintahnya. Dari kegelapan, sosok mulai muncul. Itu adalah bayangan humanoid dengan tubuh yang tam
Langit di atas markas utama Persekutuan Bayangan mendung dan penuh amarah, menggambarkan konflik yang sedang berkecamuk. Di dalam ruangan besar yang dingin dan dipenuhi ukiran gelap, para pemimpin fraksi kegelapan mulai merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah memberat, seperti beban tak terlihat menghimpit dada mereka. Namun, mereka tak menyadari bahwa itu adalah awal dari serangan balik yang sudah lama direncanakan oleh pihak terang.Sementara itu, di sudut lain, Armand berdiri di hadapan sekumpulan prajurit yang bersiap untuk melancarkan serangan. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan meski ia tahu apa yang akan mereka hadapi adalah kekuatan yang telah berakar selama ribuan tahun. Suaranya lantang memecah kebisuan, memberikan semangat kepada mereka yang mulai dirundung keraguan."Kita mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar mereka, tetapi jangan pernah lupakan satu hal: keadilan selalu menemukan jalannya. Ingat apa yang kita perjuangkan!"Kata-katanya membakar semangat pasukan yang
Kegelapan yang pekat masih melingkupi Azlan, namun kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Beban berat yang selama ini menghimpit jiwanya mulai tergeser sedikit demi sedikit oleh percikan cahaya di dalam dirinya. Di tengah pusaran kegelapan yang nyaris menelannya, suara dari dalam hatinya menggema lebih kuat. "Bangkitlah, Azlan. Ini belum berakhir." Perlahan, tubuhnya yang sebelumnya tak berdaya mulai merespons. Ia merasakan energi hangat yang mengalir dari inti jiwanya, membakar segala ketakutan dan keraguan yang membelenggu. Ia menggerakkan jarinya, lalu tangannya, hingga akhirnya seluruh tubuhnya kembali terkontrol. Meskipun gravitasi dari pusaran energi hitam masih menariknya dengan kuat, Azlan berhasil menancapkan pedangnya ke lantai untuk menahan dirinya. Suara gesekan logam dengan batu menggema, memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap makhluk itu dengan sorot mata yang penuh dengan keberanian yang baru ia temukan. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya tegas, suaranya men
Di sebuah ruang yang terpisah dari dunia fana, suasana memanas di antara berbagai elemen yang saling berseteru. Setiap inci ruangan tampak diwarnai oleh aura konflik, dengan garis-garis energi yang menghubungkan entitas-entitas kuat di dalamnya. Di tengahnya berdiri seorang pemimpin, wajahnya terukir oleh campuran keputusasaan dan determinasi yang membara.Bayangan masa lalu terlintas dalam benaknya, mengingatkan dirinya pada perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Namun, kali ini, jalan yang dia tempuh terasa lebih berat. Setiap langkah seakan-akan dipenuhi dengan duri, menguji tekadnya untuk terus maju."Apa yang sebenarnya kau cari di sini, Azlan?" suara dingin menggema dari sisi ruangan. Suara itu milik seorang wanita dengan mata yang menyala tajam seperti pisau. Dia adalah salah satu penjaga dimensi ini, seseorang yang tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun.Azlan menghela napas, mencoba mengatur emosinya yang bercampur aduk. "Aku mencari kebenaran, dan aku tidak akan b
Kehancuran yang disebabkan oleh pertempuran besar itu meninggalkan jejak yang begitu nyata. Lembah yang sebelumnya penuh dengan kehidupan kini hanya menyisakan tanah hangus dan retakan yang menganga. Angin yang bertiup membawa aroma tajam abu dan debu, menciptakan suasana yang sepi dan menyesakkan. Zhao Feng berdiri di tengah kawah besar, tubuhnya dipenuhi luka dan napasnya masih tersengal. Pedang yang ia genggam kini tampak redup, seperti kehilangan sebagian besar cahayanya. Namun, meski kelelahan menyelimuti seluruh tubuhnya, tatapannya tetap terarah ke depan, mencari sesuatu. “Guru…” bisiknya pelan, namun hanya keheningan yang menjawab. Ia menurunkan pedangnya dan menghapus keringat serta darah yang menetes dari dahinya. Gurunya, yang sempat muncul di tengah pertempuran, kini menghilang seperti embun yang lenyap saat matahari terbit. Tidak ada jejak yang tersisa, tidak ada petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. “Apakah itu hanya bayangan… ataukah benar-benar dia?” Zhao Feng m
Di dalam kegelapan yang pekat, Zhao Feng berdiri tak bergerak. Keringat dingin membasahi wajahnya, namun genggaman tangannya pada pedang suci tak goyah sedikit pun. Suara makhluk yang barusan berbicara masih menggema di pikirannya, membuat semua yang ia lakukan terasa seperti permainan yang sudah dirancang sebelumnya.Namun, meski kegelapan memeluknya dengan erat, ada cahaya kecil yang tetap bersinar dari pedangnya. Cahaya itu memancar pelan, seakan mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak semua telah hilang.“Aku tidak boleh berhenti di sini,” gumam Zhao Feng pada dirinya sendiri. “Jika aku menyerah sekarang, segalanya akan benar-benar berakhir.”Bayangan-bayangan yang tadi menyelimuti tempat itu mulai muncul kembali, kali ini dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Mereka tidak menyerang langsung, melainkan bergerak dengan pola yang menyerupai tarian mematikan, membuat Zhao Feng merasa semakin tertekan.Namun, di saat itu juga, sebuah suara lembut terdengar di telinganya, suara yang tak
Cahaya matahari pagi menembus dedaunan hutan yang lebat, menyinari lapisan embun yang menempel pada rumput liar. Di tengah kesunyian alam, seorang pria berdiri dengan pandangan tajam ke arah cakrawala yang dihiasi awan kelabu. Langit, seolah mencerminkan isi hatinya, tampak gelisah, bergemuruh dengan suara yang mengancam. Zhao Feng menarik napas dalam, aroma tanah basah bercampur angin dingin yang menyegarkan paru-parunya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya penuh gejolak. Di tangannya tergenggam pedang yang tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga beban tanggung jawab yang luar biasa. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur," gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar oleh bayangan yang bersembunyi di kejauhan. Langkah kaki terdengar dari belakang, dan suara lembut yang familiar memanggil, "Zhao Feng, apakah kau yakin dengan keputusanmu? Jalan ini akan mengubah segalanya." Luo Xue, dengan jubah putihnya yang tertiup angin, mendekat perlahan. Wajahnya yang bias
Ketika cahaya itu muncul, medan pertempuran yang sebelumnya gelap gulita seolah terbelah oleh kekuatan yang tak terlukiskan. Langit yang kelam menjadi terang, dan bayang-bayang yang sebelumnya mendominasi mulai surut seperti gelombang pasang yang mundur.Arka memicingkan matanya, berusaha memahami sosok yang perlahan muncul dari balik cahaya itu. Langkah-langkahnya tenang namun penuh wibawa. Setiap pijakan sosok tersebut seolah membawa energi yang menyembuhkan tanah yang telah tercemar oleh kegelapan.Sosok itu mengenakan jubah putih keemasan yang bersinar, dengan pola-pola rumit yang tampak bergerak seperti riak air. Rambutnya memanjang hingga punggung, memancarkan aura bercahaya seperti sinar mentari pagi. Namun, yang paling mencolok adalah matanya—kedua bola mata itu bersinar seperti dua bintang yang mampu menembus jiwa siapa pun yang menatapnya.Para prajurit yang tadinya hampir kehilangan harapan kini kembali berdiri, terpana oleh kehadiran sosok tersebut. Bahkan bayangan-bayanga
Langit kembali gelap. Tidak ada bulan, tidak ada bintang, hanya kehampaan pekat yang meliputi seluruh medan perang. Bai Lin dan Yao Mei berdiri di tengah kehancuran, tubuh mereka masih bergetar oleh kekuatan yang baru saja mereka terima dari simbol bercahaya. Namun, kekuatan itu terasa seperti bayangan kecil dibandingkan dengan ancaman besar yang mulai bergerak di sekitar mereka. Dari kejauhan, suara langkah kaki berat bergema, menggetarkan tanah yang retak. Setiap langkah terdengar seperti dentuman palu raksasa yang menghantam dunia. Yao Mei menoleh, napasnya tersengal-sengal. "Bai Lin, kau mendengar itu?" Bai Lin mengangguk, tangannya dengan refleks menggenggam pedangnya lebih erat. "Aku mendengar. Ini belum berakhir." Kabut hitam yang mulai berkumpul di cakrawala terasa hidup. Itu bukan kabut biasa—ia seperti makhluk yang bernafas, bergerak dengan tujuan tertentu. Dari dalamnya, mata merah besar mulai bermunculan, satu per satu, seperti bintang yang baru lahir di tengah malam. N
Kehancuran yang menyelimuti tanah itu perlahan menyisakan keheningan yang mencekam. Sisa-sisa medan perang hanya berupa puing-puing dan debu yang beterbangan di bawah langit malam yang penuh bintang. Bai Lin berdiri di tengah kekosongan itu, tubuhnya gemetar dan tatapannya terpaku pada tempat terakhir Liu Feng menghilang. Di sisi lain, Yao Mei menunduk, tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meletup."Liu Feng... kau benar-benar..." Bai Lin berhenti, suaranya tercekat. Ia tidak sanggup mengucapkan kata-kata itu, karena hatinya menolak untuk menerima kenyataan.Namun, di tengah keheningan itu, angin berhembus pelan, membawa aroma yang asing namun menenangkan. Dalam hembusan itu, seolah-olah ada suara lembut yang berbisik. Bai Lin dan Yao Mei saling memandang, keduanya merasakan hal yang sama—kehadiran Liu Feng masih ada di sekitar mereka, meskipun tubuhnya telah lenyap.Yao Mei akhirnya memecah keheningan. "Dia tidak benar-benar pergi," katanya dengan s