Di saat hujan mengguyur bumi. Membasahi seluruh isinya bersamaan dengan suara deruh yang menenangkan, serta aroma khas tanah basah menjadi sebuah candu bagi beberapa insan di berbagai penjuru dunia.
Suatu malam penetralisir lelah bagi seorang gadis yang pinggang rampingnya masih terikat kain cokelat bertuliskan 'Romantica Coffe'. Ia sedang disibukkan dengan beberapa gelas yang harus dilap.
"Seharusnya saat ini aku sedang menikmati sup hangat buatan ibuku di rumah, tetapi lihat, hujan ini menyebalkan. Kita terkurung di kafe untuk waktu yang cukup lama." Seorang gadis lainnya muncul dari balik ruangan paling belakang, tempat berganti pakaian.
"Jangan salahkan hujan untuk apa pun yang membuatmu marah."
Mendengar ucapan rekannya, gadis tersebut menghampiri, tangan ia masukkan ke saku celemek. Membelakangi meja sambil mendengkus. Nampaknya malam ini hujan begitu bersalah, sebab menghalangnya pulang.
"Kau bisa bayangkan, El. Ini sudah jam sebelas, hampir jam dua belas, dan hujannya bahkan tak menunjukkan tanda-tanda mereda."
"Tunggu saja setangah jam lagi. Lagi pula, udara dinginnya menyenangkan," ujar gadis yang disebut El itu, kemudian berlalu sambil melepaskan celemeknya.
Deline, seorang perempuan penikmat hujan. Hatinya selalu bahagia ketika langit menumpahkan airnya. Di usia yang cukup matang, yakni dua puluh lima tahun, perempuan yang kerap dipanggil El tersebut bahkan belum merencanakan pekerjaan selanjutnya. Pekerjaan yang seharusnya ia lakukan sesuai dengan jurusan yang diambi semasa kuliah.
Namun, Deline lebih mencintai pekerjaannya yang sekarang, mungkin akan seterusnya begitu. Menjadi barista di sebuah kafe ternama di kotanya, sudah ditekuni sejak masih menjadi mahasiswi. Menurutnya, meracik kopi adalah suatu kegiatan termahal dalam hidup. Sesekali menyajikannya ke meja pelanggan dengan senyum ramah, membuatnya tahu, bahwa kenikmatan kedua setelah rasa adalah suasana.
Ia harus membangun suasana nyaman dengan pelanggan-pelanggan, agar cita rasa pada kopi yang diraciknya menjadi semakin memiliki kenikmatan setiap kali menghirup. Menciptakan kesan berbeda dari kafe lainnya. Hal tersebut pula yang membuat Deline dijuluki sebagai karyawan terbaik.
***
"El dan semuanya, aku akan pulang lebih dulu, okay. Badanku benar-benar sudah lengket."
Belum sampai setengah jam setelah mereka berganti seragam seperti target El tadi, hujan sudah perlahan mereda. Yuka yang terus saja mengeluh akhirnya bisa bernapas lega. Rekan perempuan El itu langsung bersemangat menyalahkan mesin kendaraan roda duanya.
"Entah sampai kapan sifat suka marah-marah dan tidak sabarannya bisa berkurang," ujar lelaki yang duduk di sofa khusus ruangan karyawan.
Benar juga, Yuka itu tipe orang yang tidak suka menunggu. El ikut duduk, sudah pegal rasanya seharian bekerja. Terlebih, Romantica Coffe selalu ramai setiap harinya, membuat waktu istirahat berkurang. Namun, di tengah lelah ia juga senang tentunya.
"Kak Maxi, kau sendiri tidak ingin pulang? Sekalian bangunkan mereka berdua, malam sudah hampir larut."
"Biarkan saja, El. Mereka menginap dan terkunci di sini berduaan." Kak Maxi tertawa dengan rencana jahilnya.
Heh, yang benar saja. Sepasang lawan jenis berduaan malam-malam, apa jadinya? Membiarkan teman akrabnya bersama Glen si perayu tingkat akut. Tidak bisa dibiarkan. El berdiri kemudian menarik tangan temannya yang terlelap di sofa dengan posisi tubuh membungku memeluk jaket. Bisa dipastikan, pinggang gadis satu itu akan sakit besok pagi.
"Kate, wake up! Ayo pulang."
Tak butuh waktu lama untuk Katerin membuka mata. Lehernya terasa sakit karena tidur dengan posisi menunduk. Dilihat semua teman-temannya sudah berganti pakaian, sedangkan dirinya masih memakai seragam biru tua. Sisa-sisa hujan masih meninggalkan kesejukan udara, membuat gadis berambut pendek itu ingin cepat-cepat pulang dan melanjutkan tidur.
"Jam berapa ini, El?"
"Sebelas lewat lima puluh. Cepat berganti baju, aku akan tunggu di depan," jawab El sembari melangkah ke luar ruangan karyawan, sebelum itu ia sudah melempar kunci kafe pada Kak Maxi.
Rumahnya dan Rumah Katerin memang tak searah, tetapi keduanya selalu kompak untuk pulang bersama. Di persimpangan rumah Katerin, mereka berpisah. Udara malam begitu dingin menusuk kulit, apa lagi El yang hanya menggunakan switer tipis. Rasanya tak tahan lagi lama-lama mengendarai motor hitamnya. Untung saja jarak kediamannya dan persimpangan tersebut tak terlalu memakan waktu.
***
"Morning, El," sapa Glen penuh semangat.
"Morning. Apa kau bermalam di sini semalam, Glen?"
Lelaki berwajah campuran Belanda Indonesia itu terkekeh. "Aku langsung terjaga saat Kate tak ada lagi di sampingku."
Sontak El memukul lengan kekarnya. "Buaya darat."
Semua karyawan bahkan bos pun tahu jika Glen sudah lama mendekati Katerin, berbagai cara dilakukan. Sayangnya, gombalan maut yang sering ia gunakan pada gadis-gadis di luar sana tak mempan sama sekali pada Katerin. Gadis itu nampak kesal kalau sudah berurusan dengan seorang Glen.
Deline tengah sibuk meracik kopi untuk pelanggan bersama Kak Maxi saat seorang lelaki berpakaian jaket kulit dengan menyandang kamera di bahu kiri datang menghampiri. Sorot matanya menatap malas pada sekeliling orang-orang yang ada di dalam ruangan. Berdiri angkuh menghampaskan tangan di meja kasir sehingga membuat suara yang cukup mampu mengagetkan Yuka si penjaga kasir.
"Kopi, tanpa gula." Dengan cekatan Yuka menulis pesanan tersebut, sementara lelaki itu sudah berlalu menuju bangku nomor tujuh. Paling sudut.
Yuka menempelkan kertas pesanan pada papan yang tersedia di depan meja tempat di mana karyawan meracik pesanan. Ia mengode pada Glen untuk menggantikan posisinya sebentar di kasir, kalau sudah seperti ini biasanya gadis pemarah dan sedikit cerewet itu pasti tengah ingin membahas sesuatu.
"Kalian lihat lelaki di bangku nomor tujuh itu? Aku tidak mengerti mengapa setiap kali dia datang, selalu saja menggebrak meja. Jika semua pelanggan seperti itu, mungkin aku sudah terkena penyakit jantung," celoteh Yuka disertai mimik wajah geram.
"Bisa jadi dia tak pernah dibuatkan kopi oleh istrinya. Itu sebabnya setiap datang kemari dengan wajah yang seperti itu." El menjawan asal. Lagi pula, siapa peduli? Ia bahkan tak berminat membahas tentang lelaki itu, meskipun sering datang ke Romantica Coffe untuk sekedar minum kopi hitam tanpa gula.
Yuka melebarkan matanya. "Apa dia sudah menikah?"
"El, tolong antar ini ke meja nomor tujuh itu," pinta Kak Maxi setelah pesanan tersebut jadi. Ya, tadinya El yang ingin membuatnya, tetapi Yuka malah sibuk mengajaknya mengobrol.
Gadis berkulit kuning langsat itu langsung mengambil alih nampan. Sebelum berlalu, ia sempatkan menjawab pertanyaan teman satu profesinya. "I don't know. Aku bahkan tak tahu dia berasal dari mana."
Setelah mendengar jawaban El, terlihat raut kecewa di wajah Yuka. Jelas sekali perempuan itu sebenarnya masih sangat penasaran dengan pelanggan tetap yang satu itu. Pria tersebut bahkan pernah datang pada saat mabuk berat, alhasil Kak Maxi dan Glen lah yang memapanya masuk. Lebih gilanya, dalam kondisi yang seperti itu pun dia masih ingin minum kopi. Dalam kondisi yang setengah sadar. Tentu itu cukup membuat penasaran.
"Ini kopimu, Tuan. Silahkan dinikmati."
Lelaki itu mengangkat kepalanya yang tadi menunduk sambil memijat pelipis. "Kau sungguh tak mengingatku?"
Mendengar itu, Deline yang tadinya hendak membalik badan sambil memeluk sebuah nampan hitam, langkahnya sontak terhenti. Raut tenang pada wajah wanita dua puluh lima tahun itu berubah datar. Kali ini menatap jalanan lewat dinding kaca lebih menarik dari pada harus beradu pandang dengan lelaki yang ikut berdiri di sampingnya.
"Kau benar-benar tak mau mengenalku lagi?" tanya lelaki itu untuk ke dua kalinya.
Jika ada orang yang memperhatikan, mereka akan mendapati mata jernih itu berkaca-kaca. Sayangnya, Deline berusaha menyembunyikannya, meskipun kenyataannya, lelaki itu lebih pintar. Tak ada yang menyadari bahwa kini Deline tengah berusaha menetralisirkan hati yang tak karuan, kecuali si lelaki.
"Aku harus kembali bekerja."
Belum sempat tubuh yang tingginya hanya sebahu pria di hadapannya pergi. Dirinya kembali dihentikan oleh sebuah pernyataan dalam bentuk pertanyaan. Menciptakan kecamuk di hati Deline.
"Bagaimana caranya melupakan semua tentangmu, El?" tanya lelaki itu. Hampir seperti berbisik. Meskipun ia sadar, pertanyaan itu tidak akan mendapatkan jawaban.
Tanpa sepatah kata, Deline cepat-cepat menghidar. Ia tak ingin merasakan sakit lebih dalam. Namun, sepandainya Deline berpura-pura tak terjadi apa-apa, seseorang yang sudah lama memperhatikan dari jauh, tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini."Pria itu bicara sesuatu padamu?" tanya Yuka penasaran."Ya ... hanya memastikan apakah kita benar-benar tak menaruh gula di kopinya."Yuka menerima begitu saja alibi yang El ciptakan. "Aneh, bukankah dia hampir setiap hari minum di sini? Tapi kenapa masih bertanya? Ah, sudahla. Dugaanku benar, dia itu misterius.""Kau yang terlalu berlebihan," sahut Katerin sembari menoyor kepala Yuka, agar wanita itu tak terlalu mencurigai orang lain.***Di lain tempat dan waktu, kediaman minimalis bernuansa abu-abu dengan lukisan-lukisan abstrak terpajang di setiap dinding, seorang wanita paruh baya sedang kelimpungan mengejar bocah empat tahun yang berlari merengek menghindari suapan."Aku tidak mau maka
"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati."Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi."Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.Hanya orang y
Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apa
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it