Tanpa sepatah kata, Deline cepat-cepat menghidar. Ia tak ingin merasakan sakit lebih dalam. Namun, sepandainya Deline berpura-pura tak terjadi apa-apa, seseorang yang sudah lama memperhatikan dari jauh, tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini.
"Pria itu bicara sesuatu padamu?" tanya Yuka penasaran.
"Ya ... hanya memastikan apakah kita benar-benar tak menaruh gula di kopinya."
Yuka menerima begitu saja alibi yang El ciptakan. "Aneh, bukankah dia hampir setiap hari minum di sini? Tapi kenapa masih bertanya? Ah, sudahla. Dugaanku benar, dia itu misterius."
"Kau yang terlalu berlebihan," sahut Katerin sembari menoyor kepala Yuka, agar wanita itu tak terlalu mencurigai orang lain.
***
Di lain tempat dan waktu, kediaman minimalis bernuansa abu-abu dengan lukisan-lukisan abstrak terpajang di setiap dinding, seorang wanita paruh baya sedang kelimpungan mengejar bocah empat tahun yang berlari merengek menghindari suapan.
"Aku tidak mau makan! Bibi pergi saja!" Bocah itu berteriak.
Namun, wanita yang ternyata asisten rumah tangga tersebut tetap mengejar meski tubuh tua rentanya merasa harus istirahat. Ia tetap berusaha membujuk si bocah. Ia bahkan tak marah dan kesal. Persis nenek yang mengurus dan mencintai cucunya sendiri.
"Makan sedikit, Nak."
Bocah itu menggeleng cepat. "Aku ingin ayam yang ada di TV itu, Bibi! Tidak mau makan kalau tidak ada ayam!"
Bibi yang sudah tua, hidup di zaman dahulu tidak semoderen sekarang. Bagaimana ia bisa tahu makanan apa yang dimaksud anak majikannya? Pikirnya hanya ayam yang dibaluri bawang dan garam, kemudian digoreng.
Menyerah. Akhirnya ia membiarkan saja bocah lelaki berkulit putih bersembunyi karena tak mau makan. Sibuk membereskan dapur. Tak lama kemudian suara bel rumah menyala.
"Tuan Arya, biar Bibi bawakan kameranya."
Dengan sedikit kasar Arya memberikan benda hitam berlensanya, tak banyak bicara ia menghempaskan diri di sofa abu-abu berukuran muat empat orang. Hari ini terlalu malas untuk berbicara dengan siapa pun. Kejadian di tempatnya minum kopi tadi siang membuat otak kacau, seperti benang kusut. Tak menemukan ujung.
"Ingin dibuatkan teh hangat, Tuan?" tanya sang asisten rumah tangga.
Arya menggeleng sembari memijat batang hidung. "Di mana Elang, Bik Mira?"
"Ada di kamarnya, Tuan. Dari tadi sore dia tidak mau makan, katanya mau makan ayam yang ada di TV, tidak mau makan kalau tidak ada ayamnya."
Takut-takut Bik Mira bercerita, ia tahu betapa emosionalnya sang majikan. Namun, mau tidak mau Arya adalah orang tua tunggal Elang, harus tau apa saja aktifitas anak. Berharap setelah menceritakan tingkah mogok makan sang Tuan Kecil, majikannya bisa membujuk.
Nyatanya, alih-alih bersikap tenang dan memaklumi keinginan bocah seusia Elang. Arya malah berdiri tergesa-gesa menuju pintu berhiaskan sticker mobil-mobilan. Membuka kasar pintu tersebut. Ya Tuhan! Ketegangan dalam rumah ini terjadi lagi. Bik Mira dengan khawatir mengikuti sang majikan.
Seroang anak tentu saja takut melihat kemarahan orang tua mereka, begitu juga dengan Elang. Anak itu langsung bersembunyi di dalam lemari ketika pintu kamarnya dibuka cukup keras. Entah apa yang ada dalam benak anak sekecil itu, ia pikir dengan bersembunyi di balik pakaian yang tergantung, sang ayah tak akan menemukannya.
Jelas saja Arya melihat bocah itu. Ia menarik kasar Elang keluar dari lemari. Betapa sakit lengannya dicengkram sangat kuat. Saat Bik Mira ingin membantu, lelaki pemilik wajah sangar itu memberi kode agar tak mendekat.
"Mogok makan tidak akan membuat perutmu kenyang! Sekarang makan apa yang ada, dan jangan minta macam-macam!" tegas Arya. Mata menatap tajam Putranya yang sudah menangis diam.
"Bik Mira, berikan dia makanan!"
"B-baik, Tuan."
Wanita paruh baya itu merasa iba pada sang majikan muda. Ia kemudian memeluk lembut Elang lalu menuntunnya ke dapur. Sekarang, Elang pasti mau makan karena takut akan kemarahan ayahnya.
Di sisi lain, Arya yang sudah berada di kamarnya menyadari bahwa apa yang dirinya lakukan pada sang putra begitu keterlaluan. Tak seharusnya melampiaskan kekesalan atas masalah hidup yang dialami pada anak sekecil Elang. Ingin memeluk dan meminta maaf, tetapi gengsi pada diri Arya terlalu tinggi untuk sekedar pelukan dan kata maaf.
Selama empat tahun Elang tinggal di rumahnya, Arya bahkan jarang memberikan sentuhan kasih sayang. Elang tumbuh dan diurus oleh Bik Mira yang sudah bekerja di sana sejak orang tua Arya masih hidup. Jelas Bik Mira mengetahui semua tentang keluarga ini. Kisah kelam majikan yang sudah ia anggap anak sendiri. Perjalanan hidup Arya yang rumit, serta kisah percintaannya yang tak sesuai harapan.
***
Acara keluarga besar sedang berlangsung di kediaman keluarga Deline. Di tepi kolam, sebuah meja besar persegi panjang diisi banyak makanan Eropa terhidang tampak lezat. Salah satunya, Réveillon makanan tradisional Prancis berupa angsa panggang yang disajikan dikelilingi lobster serta tiram. Juga ada Churros dengan saus cokelat, Snack tradisional dari negara Spanyol menjadi pelengkap saat mengobrol.
Tak tertinggal pula seragam merah keluarga kelas atas membuat siapa pun yang memandang menjadi terpaku. Apalagi Deline yang kini mengenakan dress selutut berlengan pendek ditambah ikat pinggang hitam menghias pinggang rampingnya.
Menciptakan kesan elegant pada tubuh indah itu. Kulitnya tak terlalu putih, tetapi warna kulit kuning langsat itu lah yang menambahkan kemewahan pada pakaian yang Deline kenakan malam ini.
"Jadi, gadis seperti apa yang cocok untukku, Bibi?" Itu suara Diego, kakak Deline yang beberapa bulan lalu menyelesaikan pendidikan di salah satu Universitas Prancis.
"Kau butuh gadis yang berpendidikan sepadan denganmu. Cantik, kaya, dan modis. Jangan salah memilih calon istri, Diego."
Selalu saja hal semacam itu. Hal yang Deline tak suka ketika berkumpul bersama keluarga. Jika sudah membahas pasangan yang cocok untuk masuk ke keluarga ini, pasti jawabannya kaya, berpendidikan tinggi, cantik, dan modis. Memang ada apa dengan orang-orang dari kalangan sederhana? Bukankah semua sama saja di mata Tuhan?
Diego mengangguk, mengiakan saja pendapat kakak dari ayahnya. Kalau boleh berpendapat, ia sebenarnya kurang setuju dengan semua itu. Prinsip Diego, jika ada seorang wanita baik-baik meski bukan berasal dari keluarga berada, serta mampu membuat hatinya tertarik, mengapa tidak? Menikah bukan soal menyatukan sesama orang kaya atau sesama orang sederhana, tetapi menyatukan perbedaan dan tentunya atas dasar cinta.
"Dan, El. Kau masih bekerja di kafe itu?" tanya Bibi Tarika.
"Of course, Bibi," jawab El seadanya.
Nampak raut kecewa Bibi Tarika. Selama ini ia memang orang yang paling tak setuju dengan keputusan El soal bekerja menjadi barista. Katanya, bagaimana bisa dibiarkan anak seorang pembisnis besar bekerja seperti itu? Menjadi pelayan.
"Dady-mu bahkan bisa membeli tempat itu." Bibi Tarika berkata sinis sebelum meneguk air mineral.
Tak tinggal diam, El menjawab, "Dady bisa membeli apa pun, tetapi ini bukan pasal uang, Bibi. Aku mencari tempat yang nyaman, dan di sana aku bisa menemukannya."
"Okay, baiklah. Lalu, kapan kau akan menikah? Usiamu sudah dua puluh lima tahun, El."
Kali ini El kebingungan sendiri mendengar pertanyaan Bibi Tarika. Bagaimana bisa menikah? Kalau pasangannya saja belum ada. El adalah tipe gadis yang sulit jatuh cinta. Jika hatinya sudah diisi dengan satu orang, maka sangat sulit mengeluarkan orang itu dan menggantinya dengan yang baru. Benar-benar tak mudah.
"Deline akan menikah kalau sudah waktunya, Kak. Sama seperti Diego."
Melihat reaksi anaknya, akhirnya Handrey yang menjawab. Ia tak ingin anaknya seperti disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan sang kakak. Apa lagi Handrey tahu bagaimana kakaknya itu. Tarika tak tanggung-tanggung mengeluarkan kalimat sadis.
"Kau punya banyak kenalan, Handrey. Jodohkan saja dia dengan salah satu anak temanmu."
Hei! Mudah sekali Bibi Tarika ini berkata. Menjodohkan? Come on! Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Lagi pula El akan menikah jika dirinya ingin, sang ayah saja tak mempermasalahkan. El sungguh jengkel dengan bibinya ini.
"Aku bukan gadis tak laku, Bibi. Sampai-sampai harus dijodohkan. Aku bisa mencari pasanganku sendiri, tapi ... ayolah! Tidak sekarang," ujar El. Ia lelah setiap berkumpul selalu membahas pernikahan, pernikahan dan pernikahan.
"Lihat, Handrey. Ini akibatnya kau membiarkan orang rendahan mengurus anak-anakmu. Entah apa yang Alina ajarkan pada mereka," cibir Bibi Tarika. Matanya melirik ke arah wanita yang duduk tak jauh dari Handrey.
"Jangan bicara seperti itu tentang ibu, Bibi." Kali ini Diego yang bersuara. Meskipun ia sering diam, terlihat santai, dan suka membuat candaan, bukan artinya ia rela jika wanita yang sudah membesarkan dirinya dan El diperlakukan seenaknya.
"Die, lanjutkan makanmu, Nak." Dengar, betapa lembutnya Alina bertutur kata. Ia bahkan tak membalas sindiran kakak iparnya.
Acara keluarga malam ini cukup membuat Deline dan Diego kesal. Entah sampai kapan Bibi Tarika berhenti mengurus kehidupan mereka. Meskipun masih satu keluarga, bukan berarti dia bisa seenaknya mengatur, bukan? Lebih menyebalkannya lagi, ia selalu saja meragukan didikan Alina. Sosok ibu tiri yang baik bagi keduanya. Wanita yang sejak lama Handrey cintai.
"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati."Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi."Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.Hanya orang y
Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apa
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it