Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.
Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.
Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.
Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apartemen berseragam ungu datang untuk mengantarkan titipan dari kurir yang Arya pesan. Tak bisa dipungkiri, karyawan tersebut memang memiliki paras cantik.
Arya langsung mengunci pintu dari dalam, perlahan menghampiri Naomi. Ia butuh kesenangan pikirnya. Berkali-kali gadis itu mencoba melepaskan diri, berontak, memohon, berteriak.
Namun, semuanya percuma, sebab setiap apartemen kedap suara. Hingga jam tiga dini hari, Arya tertidur begitu pulas, Naomi yang sudah hancur pun tetap berusaha tegar dan meninggalkan kamar tempat kehormatannya direnggut.
***
Romantica Coffe tengah diisi dengan gelak tawa beberapa karyawan karna mendengar lelucon dari bos mereka. Bos Lin King memang dikenal sebagai sosok yang humoris dan baik hati, meskipun umurnya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi jiwa mudanya masih tetap membara.
Contohnya sekarang, bukannya mengontrol keadaan Kafe, berkeliling atau semacamnya seperti bos-bos yang lain dengan tampang berwibawa, ia malah asik menceritakan sang istri yang marah-marah tadi pagi karena tak dapat menemukan lipstik merah muda.
"Kalau dia masih memikirkan penampilan, artinya istri bos masih punya gairah, Bos," celetuk Glen yang diberi tatapan tajam dari Katerin.
"Haha. Kuharap saat aku pulang, My Swety berjoget seksi di depanku."
Glen dan Bos Lin King kompak tertawa. Ya, isi pikiran mereka sama, sedikit mesum, atau ... sangat mesum. Kalau keduanya sudah berkumpul, dipastikan akan ada cerita-cerita aneh dan nyeleneh.
"Dengan sedikit tamparan di bokong." Glen memperagakan tangan seolah sedang menampar.
"Uh, terasa perih," sahut Bos Lin King. Raut wajahnya dibuat seolah-olah membayangkan.
El dan Yuka saling memandang, tak habis pikir dengan kelakuan bos dan rekannya. Apa tak punya cerita lain untuk dibahas?
"Bos, kalau istrimu mendengar ini, kupastikan apa yang kau bayangkan, menampar bokong istrimu itu tak akan terjadi." Kak Maxi berucap.
Syukurlah, Kak Maxi tidak mengikuti jejak kedua pria mesum itu. Jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi kalau mereka disatukan. Di sini, malah Kak Maxi yang paling dewasa dalam bersikap, ia juga tipe orang yang paling malas berbicara jika tidak terlalu penting.
Ponsel Deline berdering menandakan panggilan masuk. Tertera nama yang tak asing di sana. Dady.
"Halo, Dad?"
"Hai, Honney. Pulanglah jam tujuh malam nanti. I have a surpirse for you."
"But, Da--"
"Atau perlu Dady hubungi bos-mu agar memberi izin?" Huh! Jika Handrey sudah berbicara seperti itu, mana mungkin Deline bisa membantah lagi.
"No ... Aku akan pulang tepat waktu." Tak sulit meminta izin pada Bos Lin King, apalagi itu Deline, karyawan kebangaannya.
***
Tepat di jam yang ditentukan, motor milik Deline sudah terparkir di garasi. Ada beberapa mobil dengan model klasik, Eropa, hingga modern di garasinya yang luas, tetapi gadis berkulit kuning langsat itu tak pernah menggunakan kendaraan roda empat untuk bekerja.
Namun, bukan mobil-mobil mewah tersebut yang menjadi perhatian. Sebuah mobil hitam pekat juga terparkir di tempat khusus parkiran kendaraan tamu.
Dengan raut yang masih ceria, Deline memasuki istana megah nan indah. Netranya mengelilingi seisi rumah mencari sosok yang tadi sore meneleponnya.
Bukannya menemukan, gadis itu malah mendapati suasana ruang tamu serta ruang keluarga tengah sepi. Ia memilih ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Selang beberapa menit setelah dirinya selesai mandi dan mengenakan baju ungu yang sedikit lebar, panjang selutut. Ia mendapati pesan teks dari sang ibunda bahwa mereka menunggu di taman belakang. Entahlah, Deline tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Sayang, kemarilah!" Itu suara Alina.
Terlihat beberapa orang keluarga terdekat dari pihak Handrey sedang bersanda gurau, mengenakan baju santai khas rumahan termasuk Bibi Tarika. Ada juga teman dekat Handrey bersama istrinya, Deline ingat siapa mereka.
"Bu, ada acara apa ini? Kenapa keluarga Gray ada di sini?" tanya Deline pada Alina, sambil memeluk sang ibu dari belakang. Ia sangat manja.
"Mereka sudah seperti keluarga kita, Sayang. Kita merayakan kehadiran seseorang, kau akan segera tahu. Ambillah dulu makanan di meja itu, Ibu tahu kau lapar."
Deline segera meninggalkan Alina dan menjelajahi banyaknya hidangan di atas meja, membuat laparnya semakin terasa, di tambah ada Pasta Carbonara kesukaannya. Gadis itu langsung meggamit piring putih lebar serta sendok. Memilih duduk dan makan di dekat Diego yang juga sedang santai menikmati Ice Cream Vanilla dalam segelas mangkuk bening.
"Kau sungguh tak tahu siapa tamu spesial kita?" Deline menaikkan kedua bahu ketika mendengar pertanyaan sang kakak.
"Tunggu saja sebentar lagi," lanjut Diego.
Hei! Siapa sebenarnya tamu spesial ini? Apa hanya dirinya yang tidak tahu? Tega sekali mereka merahasiakan darinya.
"Kurasa orang itu tidak penting bagiku. Paling ... ya, rekan bisnis keluarga. Oh, atau sahabat lama Dady dari luar negeri. Right?"
Diego tersenyum menggoda. "Bagaimana kalau penting bagimu?"
"Shit! Singkirkan wajah jelekmu dari dekatku!"
Bukannya marah, Diego malah tertawa lepas melihat ekspresi kesal adik kesayangannya. Lagi pula, ucapan Deline itu tak benar, ia adalah lelaki tertampan di rumahnya, sang ayah bahkan kalah. Ingat itu!
"Selamat malam, semuanya."
Aktivitas semua orang langsung terhenti dan menghadap sumber suara saat seorang lelaki berpakaian kemeja cream polos serta celana dasar cokelat susu datang dari balik pintu kaca penghubung ruangan dengan taman belakang rumah. Kacamata jernih serta rambut hitam rapi membuat paras tampan itu tampak berwibawa.
Deline terkejut bukan main saat mengingat perbincangannya dengan sang kakak tadi, ia benar-benar tak menyangka jika tamu spesial malam ini adalah seseorang yang sejak kecil dikenal akrab. Lelaki itu pindah dan bersekolah ke luar negeri, tinggal bersama nenek dan kakeknya saat berumur tiga belas tahun.
Deline masih sangat ingat saat dirinya menangis berhari-hari karena ditinggal teman akrabnya itu. Namun, untuk mengurangi kerinduan, mereka selalu berkirim kabar lewat Email. Gadis itu tersadar dari keterdiaman, kemudian berlari menabrakkan diri pada tubuh tinggi tersebut.
"Oh, El. Apa kau sangat merindukanku?" tanya si lelaki sambil membalas hangat pelukan Deline.
"Tentu saja, Bry! Kau bilang akan sesekali berkunjung ke Indonesia, tetapi semuanya bohong, 'kan? Apa di sana tak ada libur?!"
"Kau berhutang cerita padanya, Bryan!" Handrey berseru sembari mengangkat gelas berisi jus lemon. Semua orang tertawa, termasuk pasangan Gray, ayah dan ibu Bryan.
Karena sudah bersalaman pada yang lebih tua, lelaki bernama Bryan langsung kembali menghampiri Deline dan Diego. Handrey benar, tentu Deline akan menagih cerita darinya. Tengang apa pun itu.
"Baiklah, kurasa aku harus pergi, atau aku akan jadi nyamuk," gumam Diego.
Keterdiaman terjadi di antara kedua manusia tersebut. Memang ada rasa sedikit canggung menyelimuti, sebab dua belas tahun tidak bertemu bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi sekarang tak bisa dipungkiri, Bryan berubah menjadi pemuda yang sangat tampan. Deline pun sempat terkesima.
"Jadi, kau ingin melanjutkan cerita yang tertunda beberapa tahun lalu lewat telepon?"
Ya, tepat setelah hubungan Deline dan kekasih yang begitu dicintai berakhir, gadis itu hancur. Hancur karena cara mereka berpisah. Deline akan berusaha terima jika memang keduanya tidak bisa bersama, tetapi pengkhianatan itu membuatnya menutup segala kata maaf dengan kekecewaan.
"Maaf, waktu itu aku tidak sempat mendengarmu. Namun, sekarang aku punya banyak waktu," lanjut Bryan.
"Bry, kurasa itu sudah tidak penting. Aku tidak ingin membahasnya lagi."
Dulu, Deline memang sangat ingin menceritakan sakit yang ia rasakan, karena dirinya tahu bahwa Bryan bisa memberinya kenyamanan setiap kali bercerita dan mengadu. Ada perasaan tenang ketika mendengar suara dan berada di dekat Bryan.
"Ah ... lupakan tentangku! Sekarang jawab, berapa banyak wanita yang kau kencani di sana?" Deline berusaha mengubah suasana. Menaikkan sebelah alis.
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it