"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.
Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati.
"Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi.
"Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.
Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.
Hanya orang yang memiliki keterikatan khusus saja yang bisa berbaur dengan keluarga itu. Bertolak belakang dengan El yang bersikap ramah dan mau bergaul dengan siapa saja.
Sebenarnya, Handrey punya sikap yang mirip dengan El. Itu sebabnya ia menikah dengan Alina, wanita yang sejak sekolah putih abu-abu sudah berhasil menaklukan hati Handrey. Namun, kisah cinta mereka tak berjalan mulus.
Handrey dijodohkan dengan wanita yang sama sekali tak ia cintai, selama lima tahun rumah tangga mereka hingga hadirnya Diego dan Deline, masih tak membuat Handrey jatuh cinta pada Karina---istri pertama Handrey.
Sebuah kecelakaan terjadi saat Karina pulang dari luar negeri. Mobilnya bertabrakan dengan truk pengangkut bahan bakar kendaraan, mengakibatkan Karina tewas di tempat. Kejadian itu bahkan masuk kedalam surat kabar serta stasiun TV ternama. Seorang putri dan istri pengusaha sukses, bagaimana media tidak meliput?
"Ya, setelah aku menikah, mereka akan punya tuntutan baru, dan akan seterusnya hidup dalam peraturan-peraturan bodoh itu." El menggerutu, ada kalanya ia kesal.
"Menikahlah, Nona Muda. Ada banyak lelaki mengantri untuk jadi suami dari seorang Deline Hendriya," sahut Katerin dalam konteks bercanda.
Namun, di sela candaan itu, Katerin menyenggol bahu El seolah-olah mengisyaratkan sesuatu. Bertepatan pula dengan pengunjung yang semakin bertambah, membuat mereka menyudahi percakapan. Kembali pada pekerjaan masing-masing.
***
Hari kamis, Romantica Coffe libur. Deline dan Katerin mengisi libur mereka dengan berjalan-jalan di Mall. Keduanya kompak mengenakan rok selutut dipadukan kemeja polos.
"El, coba lihat bunga itu!" Katerin menunjuk pada barisan bunga mawar putih yang tersusun rapi.
"Kau masih ingat saat seseorang pernah memberimu setangkai bunga itu saat ulang tahunmu yang ke tujuh belas tahun?" tanya Katerin.
Gadis itu sebenarnya tak perlu bertanya lagi, tentu saja El ingat. Ia tak mungkin melupakan siapa orang pertama yang memberinya bunga, selain karena hari ulang tahunnya, mawar putih itu juga menjadi awal hubungang mereka. Saat itu El masih duduk di bangku kelas dua SMA, sedangkan si lelaki baru saja masuk kuliah.
Tak ada yang mengira, sejak pertama El masuk SMA, seorang anggota Organisasi langsung menyimpan perasaan padanya. Namun, ia baru berani mengungkapkan perasaan tersebut setelah ia lulus.
"Aku selalu mengingatnya, Kate," jawab El.
"Sangat sulit bagiku melupakannya. Apalagi hampir setiap hari melihat dia, perasaanku semakin ... entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa."
Katerin menggandeng tangan sahabatnya dan mengajak duduk di sebuah kursi yang memang tersedia di setiap tempat untuk para pengunjung. Katerin adalah bagian dari masa lalu El, sedikit banyaknya tentu tahu tentang kisah percintaan El. Bukan hanya saat kuliah, mereka bahkan sudah akrab sejak Sekolah Menengah Atas.
"Kenyataannya dia mengkhianatimu setelah kurang lebih lima tahun kalian bersama. Aku tidak menyangka, dia bisa punya anak dengan wanita lain, lalu meninggalkanmu menikah." Penuturan Katerin semakin membuat El kembali mengingat kisah lampau itu.
"Oh, Tuhan! El! Maaf, aku tidak bermaksud mengingatkanmu tentang Ar--" Ucapannya terpotong.
"Tidak masalah, Kate."
Untuk melupakan kesedihan tadi, Katerin mengajak El masuk ke sebuah toko pakaian. Seharusnya ia tahu bahwa membahas tentang lelaki itu bisa membuat El kembali terluka, tetapi kekesalan membuat ia kelepasan.
Namun, di saat mereka hendak memasuki toko, seorang anak laki-laki tanpa sengaja menumpahkan minumannya ke sepatu El. Wajah anak itu sangat manis sehingga membuat siapa saja tidak tega memarahinya.
El berusaha menyamakan tinggi dengan anak itu. Ia sedikit terkejut dengan cara si anak memandang. Bocah yang diperkirakan berusia empat tahun di hadapannya memiliki tatapan begitu tajam. Tatapan yang pernah ia jumpai.
"Tidak apa-apa?" tanya El. Anak tersebut mengangguk.
Mereka dibuat terkejut ketika mendengar jawaban anak itu saat El bertanya siapa namanya.
"El," jawab anak itu.
"Benarkah? Kita punya nama panggilan yang sama! Siapa namamu? Ah ... maksudku namamu yang lain?"
"Elang." El tersenyum saat mendengar jawaban anak manis itu. Namanya indah.
Seseorang pernah berkata padanya beberapa tahun silam, jika suatu saat mereka menikah dan punya anak laki-laki, mereka akan menamainya Elang agar anak dan ibu memiliki nama panggilan yang sama. Saat itu usia El sudah dua puluh tahun. Sebelum akhirnya semua hanya bualan.
"Nak Elang! Aduh! Bibi hampir takut kau hilang."
Untuk yang ke dua kalinya El dibuat terkejut kala seorang wanita paruh baya menghampiri Elang. Bukan hanya El, tetapi Katerin dan Bibi itu pun sama-sama terkejut.
"Nona, Deline," ucap wanita berusia memasuki setengh abad itu.
***
"Ternyata selama empat tahun ini Arya membesarkan anaknya sendirian," ujar El.
Kini sepasang sahabat itu sudah berada di rumah Katerin. Rumahnya terbilang cukup luas, dengan suasana modern. Sudah sejak kelas tiga SMA Katerin tinggal bersama kakak laki-laki beserta ipar di rumah peninggalan orang tuanya.
"Apa itu yang membuatnya terlihat tertekan?" El bertanya pada diri sendiri.
Meskipun ia sudah berusaha menepis perasaan terhadap lelaki bernama Arya, tak bisa dipungkiri bahwa masih ada serpihan-serpihan rasa yang tertinggal jauh dalam lubuk hati El. Ia hanya pintar menyembunyikan.
"Ck! Untuk apa kau peduli, El? Kau harus ingat, lelaki itu pengkhianat."
"Apa kau juga ingat saat dia mencoba menjelaskan padaku bahwa kejadian malam itu adalah sebuah ketidak sengajaan?" sanggah El.
Entah kenapa, dirinya bisa sampai membela Arya di hadapan sahabatnya. Jelas-jelas Katerin tahu betapa saat itu El terpuruk karena ulah lelaki itu. Katerin benar, sebaiknya El tak perlu menoleh ke belakang lagi. Namun, sangat sulit melupakan seseorang yang menjadi alasan El masih belum bisa membuka hati untuk orang lain.
"Saat itu dia mabuk karena baru saja kehilangan ibunya, Kate. Niatnya menenangkan diri. Siapa yang mengira kejadian tak diinginkan itu terjadi?" Air matanya mulai mengalir kala membuka kembali sebuah kisah pahit.
Katerin mendekatkan diri pada El yang berdiri lemas di balkon. Memeluk gadis itu erat. Tak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian itu jika dipikirkan dengan jernih, tetapi tetap saja ia marah pada Arya. Marah atas kesalahan yang tak disengaja dan membuat sahabatnya terluka.
"I'm sorry, aku hanya tidak mau kau kembali bersedih untuk lelaki yang sama, El."
Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apa
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it