Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu.
"Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"
Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang.
"Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas."
"Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu.
"Benarkah?"
Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."
Gadis manis itu kembali tertawa, kali ini tawanya lebih renyah, tanpa dirinya sadari Bryan ikut tersenyum kecil. Lagi pula, Bryan sangat merindukan melihat Deline tertawa langsung di hadapannya. Begitu merindukan gadis tersebut. Merindukan kebersamaan mereka.
"Kenapa menanyakan itu? Kau takut aku mencintai gadis lain, bukan?" Kali ini Bryan balas menggoda.
Seketika tawa gadis itu berhenti. Entah desiran aneh apa yang mengalir dalam dirinya. Mengapa bisa sampai membuatnya terdiam? Mengapa pula Bryan bertanya seperti itu? Jika ini hanya candaan, sungguh! Dirinya seperti tak menganggap itu sebuah lelucon.
"Untuk apa aku takut? Kita bahkan hanya berteman," balas Deline seadanya.
"Maksudmu, ingin kita lebih dari teman?"
Susah payah Deline mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan. Ia memilih memutar-mutar pasta dengan garpu. Apa-apaan ini! Ia tidak boleh berpikir lebih jauh, mereka hanya teman dan akan seterusnya begitu.
"Aku tidak tertarik padamu," ucapnya, lalu memasukkan gulungan pasta ke mulut.
***
Romantica Coffe adalah sebuah tempat minum kopi favorit hampir semua pencinta kopi. Memiliki banyak cabang, dikenal dengan sensasi yang tidak bisa dideskripsikan lewat kata, serta rumah bagi orang-orang yang ingin merasakan suasana tenang dan aroma khas.
Membuat orang berpikir, ketika kamu lelah mewarnai gelapnya hidup, maka lihatlah ke dalam cangkir berisi kopi, tak akan ada rasa manis bila gula tidak melengkapinya.
Kali ini, Romantica Coffe membawa serta nama Deline dalam rencana menyebar luaskan atau memperkenalkan lebih luas lagi kopi racik mereka ke seluruh penjuru dunia melalui jejaring sosial media, dan istimewanya lagi, Romantica Coffe juga ditawarkan untuk tampil di televisi.
Tentu saja, Bos Lin King menerima tawaran tersebut, menjadikan Deline sebagai Brand Ambassador-nya. Bukan tanpa alasan, selain karyawan terbaik dan peracik kopi terbaik Romantica Coffe, bentuk tubuh dan wajah Deline sangat cocok.
Lagi pula, gadis tersebut juga sangat mencintai pekerjaannya dari apa pun, bukan? Segala sesuatu butuh orang istimewa dan pemberani agar haslinya memuaskan, orang itu adalah Deline Hendriya.
"Setelah mempertimbangkan tawaran besar itu, aku tidak menyangka menerimanya," ujar Bos Lin King.
"El, berisap-siaplah untuk syuting iklan dan Fhoto Shoot. Kau harus terlihat perfect," lanjutnya bersemangat. Sebelum akhirnya berlalu mengontrol persiapan lain.
"Sulit dipercaya! Kafe kita akan semakin dikenal dunia!" Yuka berseru gembira.
Karena terlalu sibuk dan senang tentunya, Deline sampai tak menyadari seseorang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja biru tanpa dasi sudah lumayan lama berdiri di belakangnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Semua karyawan lain sejak tadi menyadari, tetapi mereka diisyaratkan untuk diam saja.
Namun, karena langkah Deline yang memegang sebuah kardus kecil semakin mundur, membuatnya menabrak sesuatu di belakang. Betapa terkejutnya ia ketika berbalik dan mengetahui siapa orang tersebut.
"Bryan?! What are you doing here?"
"Waiting you. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat malam ini."
"Tapi, aku harus mempersiapkan segalanya untuk besok, Bry."
"Serahkan semuanya pada yang lain, lagi pula tadi bos-mu tidak keberatan aku membawamu." Begitu banyak cara yang Bryan lakukan agar keinginannya tidak dibantah.
***
Sebuah tempat yang indah, tempat yang tidak memandang status sosial, siapa pun boleh ke tempat ini. Ramai teriakan gembira anak-anak serta gelak tawa orang dewasa terdengar di mana-mana. Aksesoris, makanan ringan, wahana, semuanya tersedia berjejer rapi sesuai urutan.
Malam ini menjadi malam terindah Deline sebab setelah beberapa tahun ia berhenti mendatangi tempat penuh kegembiraan tersebut. Dirinya tidak menyangka bahwa Bryan akan membawanya ke tempat yang sangat dirindukan.
Dulu, Deline sering kali pergi bersama seseorang menghabiskan malam minggu, bersenang-senang, membeli gula-gula kapas yang besar, lalu menikmati bersama. Hei! Seharusnya ia tak memikirkan itu lagi!
Lihat, sekarang Deline kembali ada di sini dengan orang yang berbeda. Meskipun begitu, ia masih tetap bahagia, masih bisa merasakan kemeriahan festival. Ya, rasanya memang sedikit berbeda, tetapi Bryan sangat pandai menghibur hati siapa saja, itu cukup untuknya. Bryan adalah lelaki yang lembut.
"Aku tidak menyangka setelah beberapa tahun melewatkannya, tempat ini tak banyak berubah," ujar Deline. Mengedarkan pandangan.
"Ibumu yang memberitahu. Ya ... Aku tidak mengetahui jelas mengapa kau berhenti ke sini, El. Aku juga mencoba mengerti jika kau tidak mau bercerita, tetapi cobalah lupakan apa yang menurutmu pahit. Sekarang ada aku."
"Ya, aku senang punya sahabat sepertimu." Tanpa ragu El memeluk Bryan beberapa detik.
Lagi-lagi jawaban Bryan mampu membuat El tak karuan. "Tidakkah kau rasakan sesuatu saat bersamaku, El? Perasaan yang lebih?"
"What do you mean?" El mencoba berkelit. Sungguh! Ia belum siap jatuh cinta untuk yang ke dua kalinya.
"Mungkin tidak. Lupakan." Mungkin Bryan harus menahan apa yg ingin ia ungkapkan.
"Bry, ayo naik bianglala itu," pinta El. Hitung-hitung juga sebagai pemecah kecanggungan. Anggap saja perkataan tadi tidak pernah terjadi.
Kini keduanya sedang menikmati wahana tersebut yang mulai berputar. Gadis yang malam ini mengurai rambutnya tanpa memberi hiasan sedikitpun itu begitu bahagia melihat suasana dari ketinggian. Melihat senyum lepas Deline, membuat hati Bryan menghangat.
Selepas menaiki bianglala, mereka memasuki sebuah tempat di mana tanaman bunga-bunga mawar segar dijual. Ada berbagai macam warna, Deline berencana membeli satu pot mawar merah untuk menghiasi balkon kamarnya. Ia memilih sendirian sedangkan Bryan sedang mencari tempat yang sedikit senyap untuk mengangkat telepon dari rekan bisnis.
"Pilih saja bunganya, El. aku akan segera kembali."
Terlalu terbuai dengan keindahan bunga yang paling mencolok di matanya, sehingga tak sengaja tangan halus yang tadinya hanya ingin menyentuh batang bunga, tertusuk duri. Tiba-tiba seseorang datang meraih tangannya, kemudian dengan cekatan mengelap darah tersebut dengan ujung bajunya.
Lelaki berkalungkan kamera itu terlihat panik, padahal sudah jelas itu bukan luka yang serius. Deline tak menarik atau memberi pergerakan sedikitpun pada tangannya, gadis itu hanya tak bisa berkedip memandang tangan besar yang saat ini tengah memegangnya.
Wajah yang sudah dibiarkan ditumbuhi berewok, kusut, bahkan jauh dari kata rapi dari ujung rambut hingga ujung kaki membuat Deline tertegun. Wajah tegas yang kini di hadapannya, sudah jauh berbeda dari beberapa tahun silam. Baru kali ini Deline benar-benar memperhatikannya, karena pada saat di kafe, gadis itu selalu saja mencoba tidak menghiraukan kehadiran orang itu.
"Aku tidak sengaja melihatmu saat menaiki bianglala." Suara berat Arya membuat Deline ingin menangis, sungguh!
Deline dapat mencium aroma parfum khas perempuan pada diri Arya, bahkan sangat tajam, bercampur, bukan hanya satu aroma. Namun, ia kembali tersadar, menarik tangannya dan mencoba tidak ambil pusing. Deline harus bersikap tidak peduli pada orang yang sudah ia anggap masa lalu.
"Apa masih sakit?"
"Terima kasih, tapi ini hanya luka kecil," jawab Deline.
"Luka kecil juga perlu diobati."
"Tetapi luka ini tidak akan membuatku kehilangan separuh kebahagiaanku." Sembilan kata penuh arti keluar dari bibir Deline.
Gadis tersebut memalingkan tubuh, beralih pada barisan bunga berwarna putih. Berpura-pura memilih, padahal susah payah ia sembunyikan netra yang berkaca-kaca. Bukan saatnya menangis.
"Yang putih bagus untukmu." Beberapa detik setelah mendengar itu, Deline berbalik dan tidak lagi mendapati sosok Arya.
Ya Tuhan! Apa Deline masih mencintainya?
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan."Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab."Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap
Semua orang sudah lebih dulu turun, tinggalah Deline yang baru saja ingin menyusul. Tiba-tiba sana tangannya dicekal dari belakang, langkahnya terhenti dan tentu terlihat terkejut. Tangan itu memegang pergelangan Deline dengan sedikit kuat."Kau gila? Lepaskan aku!""Aku akan lebih gila jika kau tetap memberontak," jawab Arya.Deline akhirnya diam, tidak mencoba melepaskan diri. Ia menunggu apa yang ingin lelaki di hadapannya ini bicarakan. Seandainya Arya tahu, saat ini hati Deline tengah tak karuan, ia bahkan tidak melihat lawan bicara.Merasakan tangan mulus gadis di hadapannya mulai melemah, Arya langsung saja bicara. Padahal, bila dipikirkan itu sudah tidak ada gunanya, kisah mereka sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa ia mengungkitnya lagi? Namun, ia rasa hal tersebut perlu ditanyakan dari pada mati karena penasaran."Ingat apa yang pernah kutanyakan di kedaimu waktu itu?""Apa?" Mengenyeritkan dahi."Aku bertanya, bagaimana cara
Seluruh karyawan mendapat pesan dari Bos Lin King lewat grup Whatsapp sejak semalam, hari ini kedai harus tutup. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan kopi, bubuk kopi yang sudah dikemas ke dalam kemasan berlogo RC, serta memasukkan barang-barang yang diperlukan ke dalam mobil putih yang logonya sama."Detail, sempurna, tepat waktu. Kita harus punya semua itu! Anak-anak! Pastikan tidak ada yang kurang sedikitpun!" teriak Bos Lin King yang berdiri mengawasi karyawannya.Pria itu melirik arlojinya. "Satu jam lagi kita harus berangkat!""El, kau sudah persiapkan semuanya? Celemek baru, baju yang cocok, semuanya. Kau harus terlihat rapi saat mempromosikan." Bos Lin King mendekat ke arah Deline."Sudah, Bos. Semuanya sudah di mobil."Bos Lin King dengan yang lainnya satu mobil, menjadi pemandu tempat yang dituju. Sedangkan Deline bersama Kak Maxi yang menyetir mengikuti dari belakang menggunakan mobil Romantica Coffe.***Tibalah mereka
Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu."Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang."Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas.""Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu."Benarkah?"Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."Gadis manis it