Langit malam tampak sama, begitu gelap. Angin malam terasa semakin dingin dan menusuk tulang menembus pakaian yang membalut tubuh, seorang pria tengah berdiri di rooftop, kedua tangannya mecengkeram pagar pembatas, dilihat dari sana, area bawah begitu kecil, orang-orang bagaikan semut yang berlalu lalang. Emilio diam mencoba merasakan angin yang berhembus menyentuh kulitnya yang tipis, ia kembali mengenang saat pertama kali dia memberanikan diri untuk tampil dan berusaha menyelamatkannya jadi ajang bunuh diri. Ia duduk, menyandarkan tubuhnya pada dinding pembatas, matanya terpejam sejenak, ia mengambil sebungkus rokok, mengeluarkan satu batang dan menjepitnya di antara bibirnya yang tipis. Tangan satunya mencari maci miliknya di semua saku hingga akhirnya dia menemukannya di saku dalam jasnya. Ia menyalakan macisnya dan menempatkan rokoknya di depan macis, api biru itu membakar sedikit ujung rokoknya dan Emilio menariknya perlahan, ia menyesapnya lalu me
Keesokan harinya Elijah terbangun, dengan seorang kecil dan seorang besar tengah tertidur di sampingnya. Ia tidak mengingat apa pun setelah dia tertidur, ia juga tidak mendengar Emilio masuk ke dalam kamar. Dia benar-benar tidur nyenyak tadi malam. Elijah bangkit, dia membawa Stela untuk dimandikan dan memberinya susu, ia membiarkan Emilio tidur lebih lama, sebelum berangkat ke kantor. Saat semuanya telah selesai, Elijah kembali membawa Stela ke kamar, di sana Emilio masih meringkuk, ia mendekatinya tampak keringat memenuhi dahinya, sesekali kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, terlihat seakan tengah bermimpi buruk. Merasa ada yang tidak beres dia pun meletakkan Stela di kasur, lalu beralih pada Emilio yang masih saja terpejam, dirabanya dahi serta leher Emilio, ia merasakan panas berlebih di punggung tangannya. “Apa yang terjadi? Kenapa panas sekali?” Elijah terus bertanya-tanya dalam benaknya. Ia mundur selangkah, lalu kembali berpikir qpq
Di sebuah taman, padang rumput terhampar luas, pohon-pohon rindang berjejer mengelilingi area pagar pembatas, ada aliran sungai buatan persis seperti aslinya, suasananya sejuk, terdengar kicauan burung yang saling bersautan, di bawah pohon yang rindang duduk seorang pria besar dengan menggendong seorang anak perempuan. Sejenak matanya terpejam, merasakan hembusan angin yang melintas bertabrakan dengan tubuhnya. Satu tangannya mengusap lembut puncak kepala sang anak. Si pria membaringkan tubuhnya di antara padang rumput yang hijau, dia memeluk sang anak lalu kembali memejamkan kedua matanya, menikmati hangatnya mentari yang menyinari tubuhnya dan juga hembusan angin yang melintas. “Stela, rasanya ayah ingin kau tetap kecil seperti ini, aku tidak ingin kehilanganmu ataupun ibumu,” Emilio setengah berbisik pada Stela kecil. Di sisi lain Elijah berteriak ketakutan saat mendapati Emilio menghilang, ia terlebih dahulu mencari Stela ke pavilionnya, tapi dia t
Selesai makan makan, zemilio duduk di sofa, sementara Stela tengah digendong oleh pelayan. Emilio setengah memejamkan matanya, telinganya masih mendengar acara siarann tv yang sedang ditontonnya. Elijah keluar dari dapur seraya membawa segelas air putih serta kantong obat yang diresepkan oleh dokter Rayn untuk Emilio. “Sudah saatnya minum obat, bangunlah sebentar.” “Uhm,” Emilio membuka matanya, perlahan dia merubah posisi duduk sempurna. Elijah menyodorkan beberapa tablet obat pada Emilio, lalu memberikannya air minum setelah Emilio menegak habis obatnya. “Minuimlah lebih banyak, dokter Rayn berpesan untuk minum air putih lebih banyak dari hari biasanya.” “Apa kau percaya padanya?” “Tentu saja, dia kan seorang dokter,” balas Elijah dengan bangga seakan mengagungkan dokter Rayn dihadapannya. “Uhm, apa kau ingin mendengar sesuatu tentangnya?” Emilio sedikit menggodanya, tapi tak disangka dia mengigit umpan
Di tegah salah paham tentang apa yang dikatakan oleh Elijah, tiba-tiba pintu diketuk dari luar, suara yang tak asing itu terdengar jelas. Emilio berbalik, ke arah suara itu berasal, ia menatap tajam ke arah pintu. “Tuan, Tuan Eito datang.” Deg! Emilio merasakan perasaan yang aneh, ia tahu persis jika Eito tidak akan menampakkan dirinya sendiri dengan begitu mudah, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat mendengar Eito datang ke mansionnya, padahal dia sangat ingin mencarinya dan menangkapnya. “Aku akan turun.” Jawab Emilio datar. Benar saja, di ruang tamu telah berada Eito dengan seorang pria yang tidak pernah ia lihat ataupun berkomunikasi dengannya. Emilio berjalan melihatnya dengan tatapan yang pnuh tanda tanya. Entah bagaimana, ia berhasil , mendapatkan kunci, melihat rekan serta keinginan koleganya sirna begitu saja. Emilio menatap Eito dengan tatapan yang sangat tajam, ia bahkan tidak membiarkan Eito sesuk
“Jadi apa yang kau inginkan?” Eito mengangkat sudut bibirnya, dia berjalan ke arah Emilio, dia setengah berbisik, seketika raut wajah Emilio berubah. Amarah tampak jelas di wajahnya. Matanya memelotot, dan memerah. Eito menepuk pundaknya lalu memiringkan kepalanya. “Apa kau marah? Apa kau ingin membunuhku?” Emilio menyeringai, dia menatap tajam Eito, ia seakan menganggap remeh Eito. “Aku bahkan tidak takut akan hal itu, aku tidak akan membiarkan kau mengusik hidup istri ataupun anakku.” “Oh, aku takut!” Eito mengejek Emilio. “Kau lupa Emilio, aku sekarang bisa menyingkirkanmu dengan mudah, hak apa kau melarangku mengambil anak itu? Sedangkan anak itu adalah darah dagingku sendiri.” Seketika tubuh Eito terhuyung mundur, karena Emilio memukulnya wajahnya telak, dari sudut bibirnya mengeluarkan darah segar yang menetes ke bawah. Eito menyekanya kasar, ia melihat bercak darah itu di tangannya lalu tersenyum. “Hei, Emi
Suasana di dalam mansion begitu hening, sejak baku hantam terjadi semua orang tidak berani membuka mulutnya walau mengeluarkan suara sedikit saja, di ruang tamu Elijah tengah mengobati luka Emilio, wajahnya pias. Elijah masih terisak ia cukup terkejut dengan kejadian ini. “Padahal masih sakit, kenapa berlaga nseperti ini?” “Entahlah, aku rasa ini hanya hanya dendam kesumat saja.” Elijah mengangkat sudut bibirnya, ia tak balas bicara dia menuang sedikit cairan betadine lalu mengoleskannya pada susud bibir Emilio. Di saat yang sama Emilio menatapnya dalam, matanya yang coklat itu sampai tidak berkedip, tangan kecil itu mengoles luka dengan hati-hati, Emilio hanya meringis kesakitan. “Apa sesakit itu?” - “Uhm,” Emilio mengangguk. “Sudah menghajar orang, masih bilang sakit, sungguh aku tidak mengerti.” Elijah kembali mengoleskan salep untuk dioleskan pada luka Emilio. Setelah selesai mengobati Emilio, ia m en
Hening. Di ruang tamu semua orang berkumpul, luka di wajah Eito sudah dibersihkan dan dioles obat. Raut wajah semua orang begitu tegang, tak terkecuali Earnest, wajahnya begitu datar, tidak ada ekpresi di sana. “Jadi apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Apa benar Eito bukan anak kandungmu?” seketika Jesslyn gemetar, dia tidak menyangka jika tuan besar Xavier yang mana adalah mertuanya sendiri sudah tahu dia berselingkuh, dia juga sudah tahu bahwa Eito bukanlah cucu kandungnya. “Ayah, maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud membohongimu,” Jesslyn bersimpuh di kaki Tuan besar Xavier. Dia berharap mendapat ampunan darinya. “Apa? Kau bilang tidak berniat membohongiku, sedangkan kau membohongiku selama puluhan tahun, kau anggap aku ini apa?” kedua matanya memelotot saat mendapati kenyataan yang membuat aib bagi keluarganya. “Ayah, aku mohon,” Jesslyn terus memohon. “Apa yang kau pikirkan saat kau berselingkuh? Kau bahkan menghas