Di ruang makan, Edie menarikkan kursi untuknya. Dengan senyum menawannya ia mempersilakan Jasmine duduk. Meski sedikit kikuk dengan pertunjukan kemesraan itu, mau tidak mau senyum Edie membuatnya ikut tersenyum. Begitu duduk ia langsung bertemu pandang dengan ibunya yang tengah mengawasi gerak-gerik mereka.
“Jasmine, perkenalkan kami padanya.”
Permintaan Merry itu otomatis membuat perhatian Jasmine teralih dari ibunya.
“Oh, ya,” Jasmine berusaha menguasai dirinya. “Karena ini pertama kalinya dia kesini maka aku perkenalkan saja pada semuanya. Edie, ibuku, Julia, Jennifer, dan Anton kau sudah kenal semua….” Kemudian satu persatu Jasmine memperkenalkan semua orang yang ada diruang makan itu satu persatu yang total ada sembilan belas orang. “Ini adalah Edie Sandyano.”
“Kau lebih muda dari Jasmine, bukan?” tanya Merry sambil memamerkan senyum manisnya. Disebelahnya, Naya be
Jasmine menyibakkan selimutnya dan duduk ditengah temaram kamarnya. Jam dinding kamarnya sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam, namun ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia mengambil botol minum di meja dan meminumnya banyak-banyak. Ia kembali duduk di tepian tempat tidurnya dan menghela nafas panjang beberapa kali.“Ini akibatnya kalau berbohong,” gerutunya sambil kembali memukul-mukul dadanya. Ia yakin jantungnya belum pernah berdebar sekencang ini atau selama ini. Bahkan saat pertama kali berpacaran dengan Akmal sekalipun.Jasmine tertegun.Kalau dipikir-pikir, bukan kebohongan-kebohongannya yang membuat jantungnya bermasalah. Jasmine memegang kepalanya ngeri. Yah, ia tahu benar kapan dan siapa yang membuat jantungnya mulai berdebar sekencang ini.“Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?”Jasmine mengipas-ngipasi wajahnya yang terasa membara. Ia menghela nafas panjang beberapa kali, berusa
Jasmine berusaha menepiskan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Ya Tuhan, selamatkan hambamu ini, batinnya pilu. Kenapa dia merasa sakit membayangkan Edie akan menyatakan cintanya pada gadis lain?“Kurasa dia cantik?”“Sangat.”“Secantik itu?” Jasmine berdeham. “Ah, kenapa aku iri padanya?”Edie menatap Jasmine beberapa saat, “Dia cantik, tapi tidak terlalu perduli dengan kecantikannya. Dia juga cerdas. Kecerdasannya seperti sebuah pancaran magnet dari dalam dirinya, membuat orang-orang disekitarnya tertarik padanya. Dia juga sangat mandiri. Sangat yakin pada dirinya sendiri. Tidak membutuhkan perhatian ataupun sanjungan dari siapapun.”“Wah,” bisik Jasmine, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melilit hatinya. Hanya mendengar kata-katanya ia tahu Edie memuja siapapun wanita itu.“Tapi… kemandiriannya kadang membuat orang yang ingin mendeka
Suara pekikan riuh rendah membangunkan Jasmine dari tidurnya yang nyenyak. Jasmine meraba-raba dan menemukan hapenya diatas meja. Ia memaksa dirinya membuka mata untuk melihat jam. Sudah jam enam lewat!Jasmine menggeliat dan duduk. Perlahan ia membuka matanya. Ia sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu. Biasanya jam berapapun ia tidur ia akan selalu terbangun jam empat pagi dan ia tidak akan bisa tidur lagi.Jasmine merapikan rambutnya dan tertegun. Bukankah semalam ia tidur ditaman belakang? Mata Jasmine benar-benar terbuka sekarang. Bagaimana ia bisa terbangun dikamarnya?Kening Jasmine mengernyit, apa ia berjalan sambil tidur ke kamarnya?Atau perbincangannya dengan Edie semalam hanya mimpi?“Itu bukan mimpi,” gelengnya. Lalu bagaimana ia bisa tidur dikamarnya? Jasmine berfikir dan sebuah kilasan ingatan samar berkelebat dalam benaknya. Seseorang mengangkat dan menggendongnya. Dan ia mengalungkan kedu
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.” “Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaima
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka