Seolah mengerti kehawatirannya, Edie merengkuh bahu Jasmine dan meremasnya pelan.
“Tidak apa-apa,” bisiknya seraya melemparkan sebuah senyuman lembut padanya sebelum mengikuti Anton.
Jasmine kembali terpaku. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Edie yang memperlakukannya seolah dirinya benar-benar wanita yang dicintainya. Ya ampun. Ia mengipasi wajahnya yang terasa membara. Ia sungguh penasaran, kemana lenyapnya cowok sederhana yang selalu bersikap malu-malu itu?
“Bagus sekali. Kau bilang kalian tidak punya hubungan, hah?” Julia mendekatinya. “Lalu apa itu tadi? Akting? Dia bukan aktor bukan?”
“Kalau dia aktor ngapain dia disini bersamaku sekarang?” gerutu Jasmine. Sedikit linglung, Jasmine meninggalkan Julia dan berbalik kekamarnya. Ia buru-buru mandi dan berganti pakaian. Takut jika Edie sudah keluar duluan dan menjadi bulan-bulanan ibu dan saudara-saudaranya.
Jasmine merasa lega k
Di ruang makan, Edie menarikkan kursi untuknya. Dengan senyum menawannya ia mempersilakan Jasmine duduk. Meski sedikit kikuk dengan pertunjukan kemesraan itu, mau tidak mau senyum Edie membuatnya ikut tersenyum. Begitu duduk ia langsung bertemu pandang dengan ibunya yang tengah mengawasi gerak-gerik mereka.“Jasmine, perkenalkan kami padanya.”Permintaan Merry itu otomatis membuat perhatian Jasmine teralih dari ibunya.“Oh, ya,” Jasmine berusaha menguasai dirinya. “Karena ini pertama kalinya dia kesini maka aku perkenalkan saja pada semuanya. Edie, ibuku, Julia, Jennifer, dan Anton kau sudah kenal semua….” Kemudian satu persatu Jasmine memperkenalkan semua orang yang ada diruang makan itu satu persatu yang total ada sembilan belas orang. “Ini adalah Edie Sandyano.”“Kau lebih muda dari Jasmine, bukan?” tanya Merry sambil memamerkan senyum manisnya. Disebelahnya, Naya be
Jasmine menyibakkan selimutnya dan duduk ditengah temaram kamarnya. Jam dinding kamarnya sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam, namun ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia mengambil botol minum di meja dan meminumnya banyak-banyak. Ia kembali duduk di tepian tempat tidurnya dan menghela nafas panjang beberapa kali.“Ini akibatnya kalau berbohong,” gerutunya sambil kembali memukul-mukul dadanya. Ia yakin jantungnya belum pernah berdebar sekencang ini atau selama ini. Bahkan saat pertama kali berpacaran dengan Akmal sekalipun.Jasmine tertegun.Kalau dipikir-pikir, bukan kebohongan-kebohongannya yang membuat jantungnya bermasalah. Jasmine memegang kepalanya ngeri. Yah, ia tahu benar kapan dan siapa yang membuat jantungnya mulai berdebar sekencang ini.“Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?”Jasmine mengipas-ngipasi wajahnya yang terasa membara. Ia menghela nafas panjang beberapa kali, berusa
Jasmine berusaha menepiskan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Ya Tuhan, selamatkan hambamu ini, batinnya pilu. Kenapa dia merasa sakit membayangkan Edie akan menyatakan cintanya pada gadis lain?“Kurasa dia cantik?”“Sangat.”“Secantik itu?” Jasmine berdeham. “Ah, kenapa aku iri padanya?”Edie menatap Jasmine beberapa saat, “Dia cantik, tapi tidak terlalu perduli dengan kecantikannya. Dia juga cerdas. Kecerdasannya seperti sebuah pancaran magnet dari dalam dirinya, membuat orang-orang disekitarnya tertarik padanya. Dia juga sangat mandiri. Sangat yakin pada dirinya sendiri. Tidak membutuhkan perhatian ataupun sanjungan dari siapapun.”“Wah,” bisik Jasmine, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melilit hatinya. Hanya mendengar kata-katanya ia tahu Edie memuja siapapun wanita itu.“Tapi… kemandiriannya kadang membuat orang yang ingin mendeka
Suara pekikan riuh rendah membangunkan Jasmine dari tidurnya yang nyenyak. Jasmine meraba-raba dan menemukan hapenya diatas meja. Ia memaksa dirinya membuka mata untuk melihat jam. Sudah jam enam lewat!Jasmine menggeliat dan duduk. Perlahan ia membuka matanya. Ia sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu. Biasanya jam berapapun ia tidur ia akan selalu terbangun jam empat pagi dan ia tidak akan bisa tidur lagi.Jasmine merapikan rambutnya dan tertegun. Bukankah semalam ia tidur ditaman belakang? Mata Jasmine benar-benar terbuka sekarang. Bagaimana ia bisa terbangun dikamarnya?Kening Jasmine mengernyit, apa ia berjalan sambil tidur ke kamarnya?Atau perbincangannya dengan Edie semalam hanya mimpi?“Itu bukan mimpi,” gelengnya. Lalu bagaimana ia bisa tidur dikamarnya? Jasmine berfikir dan sebuah kilasan ingatan samar berkelebat dalam benaknya. Seseorang mengangkat dan menggendongnya. Dan ia mengalungkan kedu
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.” “Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaima
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Siang itu, Edie pergi ke Rumah Sakit untuk mengunjungi korban runtuhnya bangunan mall. Awalnya ia akan berangkat sendiri bersama Mia, sekretarisnya. Namun Jasmine bersikeras untuk ikut dan mendampinginya. Ia bahkan mengajukan cuti tiga hari untuk mendampinginya. Diakui atau tidak, Edie sangat berterima kasih pada wanita terkasihnya itu.Sudah sejak lama Jasmine merupakan sosok yang istimewa di hatinya. Dulu ia adalah sahabat, penyemangat dan pendukung terbesarnya. Kini, Jasmine adalah nafas dan masa depannya. Kehadiran Jasmine disisinya kini memberikan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masalah yang tengah menderanya.Tak perduli benar atau salah, kecelakaan itu sudah terjadi. Dan ia masuk dalam lingkaran penyebab malapetaka itu. Jasmine meyakinkan dirinya untuk menghadapi semuanya dengan t
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.“Mereka belum menemukannya.”Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.“Bapak ba
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Miranda pada Edward. “Apa semua lancar?”Malam itu Miranda sengaja mengajak suami dan anaknya makan malam disebuah restoran. Bukan hal mudah mengajak Edie yang masih marah besar pada mereka berdua. Namun, akhirnya Edie luluh juga setelah ia menungguinya dikantor dan tidak mau pergi sebelum berhasil menemui anaknya itu. Ia mengenal Edie dengan baik. Berbeda dengan Akmal, Edie adalah anak yang berhati lembut dan tidak tegaan. Dipungkiri atau tidak, Miranda tahu Akmal menyimpan sebuah sifat kejam jauh disudut hatinya—bahkan setelah diterapi selama bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan ayahnya masih mengendap didasar hatinya. Hanya saja ia tidak tahu Akmal akan bertindak sejauh itu pada wanita yang dicintainya.Wanita yang dicintai kedua anaknya, batin Miranda sedih.“Kenapa tiba-tiba mengajak makan direstoran?” pertanyaan malas Edie membangunkan Miranda dari lamuna
“Ibu menyuruhmu kesini?” tanya Jasmine ketika malam itu Anton muncul di apartemennya.“Aku ingin kesini.”“Proyek di Papua sudah selesai?”“Masih akan butuh waktu lama. Tapi aku libur seminggu.” Anton langsung menuju kulkas dan memindai isi kulkas. Tidak apapun disana, batinnya. Ia mengambil sebotol air putih dan memandang kakaknya. “Kau baik-baik saja?”Jasmine mendesah lelah, “Kau sudah dengar?”Anton mengangguk. Ia menaruh botol itu di meja makan dan mendekati kakaknya itu. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku.”Jasmine sedikit terkejut namun membalas pelukan adiknya, sedikit malu namun juga bersyukur dengan keberadaan adiknya disana. “Kenapa kau minta maaf?”Anton melepaskan pelukannya dan mengamati muka kakaknya yang terlihat lebih tirus dibandingkan saat berkunjung kerumah tempo hari.“Dulu, aku