“Masuklah.”
Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.
Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.
“Ibu memanggil saya?”
“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.
Edie mengangguk kecil, “Ya.”
“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”
Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.”
“Dia atasanmu.”
“Ya, saya tahu.”
“Bagaima
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.”“Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaiman
Ada beberapa orang yang tidak berubah. Sultan adalah salah satunya. Ia masih tetap terlihat gagah dan tampan seperti saat mereka masih SMU. Untuk seorang lelaki kulitnya tampak sangat halus dan terawat. Seperti dulu, ia juga masih mengenakan baju dan sepatu mahal. Kemejanya digulung hingga ke siku, memperlihatkan jam tangan merk mahal yang harganya hingga puluhan juta. Satu-satunya yang berubah darinya adalah pertambahan usia yang membuatnya tampak lebih dewasa.Profesinya sebagai seorang dokter sekaligus kepala Rumah Sakit hanyalah membuat pamornya sebagai calon suami ideal menjadi setinggi langit.“Kau terlihat cantik, Jasmine,” kata Sultan setelah basa basi dengan menanyakan kabar masing-masing.Jasmine tersenyum canggung. “Terima kasih. Jadi, bagaimana kondisi ibuku?”“Yah, kurasa akan baik-baik saja selama ibu tidak melewatkan obatnya. Juga akan sangat membantunya jika ibu mau lebih santai dan tidak t
Sambil tetap menelpon Jasmine berlari kearah pasar minggu yang berada sekitar satu kilometer dari rumahnya. “Kemana sih? Kenapa tidak mengangkat telpon?”Jasmine mengedarkan pandangannya mencari-cari diantara lalu lalang orang-orang yang ramai.Ia kembali berlari-lari kecil sambil berusaha menelpon Edie. Apa yang dikatakan ibunya pada Edie? Jasmine memejamkan matanya, ia bahkan bisa membayangkan apa saja yang akan dikatakan ibunya pada Edie. Apa Edie akan tersinggung dan marah?Ia tak pernah melihat Edie marah hingga akhir-akhir ini. Setelah peristiwa di hotel itu, ia beberapa kali melihat Edie menunjukkan emosinya. Dan berbarengan dengan itu, emosi dihati Jasmine juga mulai jungkir balik tidak keruan.Jasmine terus berlari hingga ia sampai di taman bermain anak-anak. Disalah satu bangku batu bata yang terdapat disisi taman, Edie tampak duduk dan menatap serius pada pasangan muda dengan dua orang anak kecil yang tengah main
“Oh, diamlah,” tukas Jasmine, menepis debar-debar dihatinya.Edie nyengir dan meraih tangan Jasmine. Menggandeng gadis itu melewati kerumuman pengunjung yang ramai. Di belakangnya, Jasmine menatap tangan mereka yang bertautan. Jemari Edie menggenggam kuat jemarinya yang pucat. Hati Jasmine menghangat. Diam-diam ia menatap postur Edie dari belakang dan bertanya-tanya.Bisakah ia mengembalikan hatinya seperti dulu? Bisakah ia menatap Edie tanpa debar-debar jantungnya yang tidak masuk akal?Edie seringkali datang berkunjung ke rumahnya, tapi biasanya pemuda itu lebih banyak diam. Setiap kali datang Edie akan membantu Jasmine melakukan pekerjaan rumah yang tidak sempat dilakukan Jasmine. Mulai dari mengecat, membenarkan genteng, mengecek listrik dan semuanya. Beberapa kali Jasmine pulang kerumah dan menemukan Edie sudah selesai membersihkan seluruh rumput dipekarangannya.Edie tak pernah mau menerima bayaran uang dariny
Jasmine termangu. Ingatannya melayang saat bagaimana Edie menolongnya tempo hari, juga saat menghiburnya, memeluknya. Saat itu ia mulai menyadari cara pandang dirinya pada Edie berubah. Seolah untuk pertama kalinya ia melihat, sekali lagi ia bertemu dengan Edie. Edie yang sama namun juga berbeda. Tapi… apakah Edie merasakan itu?“Aku… aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan.”Edie menatapnya lama sebelum bangkit. “Aku akan bayar dulu.”“Aku akan membayarnya.”Edie menahan tangan Jasmine dan menggeleng, “Aku bilang aku yang mentraktirmu.”Jasmine hanya mengawasi pemuda itu membayar makanan mereka dengan perasaan tidak keruan. Tiba-tiba saja Edie terlihat menonjol diantara semua orang. Posturnya yang tinggi dan wajahnya yang tampan membuatnya menjadi pusat perhatian gadis-gadis yang kebetulan lewat didekat mereka.Setelah dipikir-pikir, Edie selalu menja
Edie membuka pintu mobil dan melesakkan dirinya ke belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya frustasi. Ada perbedaan antara jatuh cinta sepihak dengan cinta yang berbalas. Dulu, saat ia mencintai Jasmine dengan sembunyi-sembunyi ia cukup puas dengan melihat gadis itu dari jauh, atau diam disisinya dan menemaninya. Ia sudah merasa senang bila ia sudah bertemu gadis itu dan melihatnya baik-baik saja. Tapi sekarang, saat ia tahu Jasmine juga memiliki perasaan khusus padanya, jauh lebih sulit baginya untuk menahan diri dari keinginan menyentuh gadis itu.Ditariknya nafas dalam-dalam. Lalu diperhatikannya Jasmine yang masih berdiri di sisi mobil. Hatinya selalu terbelah dua saat memikirkan Jasmine. Ia tahu Jasmine terlarang untuknya. Ada saat-saat dimana ia memantapkan tekad untuk pergi menjauh, namun setiap kali mereka bersama, hal itu seringkali terlupa olehnya. Ia tak bisa mencegah dirinya untuk mencintai dan menyayangi gadis itu setulus hatinya.Jasmine
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Siang itu, Edie pergi ke Rumah Sakit untuk mengunjungi korban runtuhnya bangunan mall. Awalnya ia akan berangkat sendiri bersama Mia, sekretarisnya. Namun Jasmine bersikeras untuk ikut dan mendampinginya. Ia bahkan mengajukan cuti tiga hari untuk mendampinginya. Diakui atau tidak, Edie sangat berterima kasih pada wanita terkasihnya itu.Sudah sejak lama Jasmine merupakan sosok yang istimewa di hatinya. Dulu ia adalah sahabat, penyemangat dan pendukung terbesarnya. Kini, Jasmine adalah nafas dan masa depannya. Kehadiran Jasmine disisinya kini memberikan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masalah yang tengah menderanya.Tak perduli benar atau salah, kecelakaan itu sudah terjadi. Dan ia masuk dalam lingkaran penyebab malapetaka itu. Jasmine meyakinkan dirinya untuk menghadapi semuanya dengan t
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.“Mereka belum menemukannya.”Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.“Bapak ba
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Miranda pada Edward. “Apa semua lancar?”Malam itu Miranda sengaja mengajak suami dan anaknya makan malam disebuah restoran. Bukan hal mudah mengajak Edie yang masih marah besar pada mereka berdua. Namun, akhirnya Edie luluh juga setelah ia menungguinya dikantor dan tidak mau pergi sebelum berhasil menemui anaknya itu. Ia mengenal Edie dengan baik. Berbeda dengan Akmal, Edie adalah anak yang berhati lembut dan tidak tegaan. Dipungkiri atau tidak, Miranda tahu Akmal menyimpan sebuah sifat kejam jauh disudut hatinya—bahkan setelah diterapi selama bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan ayahnya masih mengendap didasar hatinya. Hanya saja ia tidak tahu Akmal akan bertindak sejauh itu pada wanita yang dicintainya.Wanita yang dicintai kedua anaknya, batin Miranda sedih.“Kenapa tiba-tiba mengajak makan direstoran?” pertanyaan malas Edie membangunkan Miranda dari lamuna
“Ibu menyuruhmu kesini?” tanya Jasmine ketika malam itu Anton muncul di apartemennya.“Aku ingin kesini.”“Proyek di Papua sudah selesai?”“Masih akan butuh waktu lama. Tapi aku libur seminggu.” Anton langsung menuju kulkas dan memindai isi kulkas. Tidak apapun disana, batinnya. Ia mengambil sebotol air putih dan memandang kakaknya. “Kau baik-baik saja?”Jasmine mendesah lelah, “Kau sudah dengar?”Anton mengangguk. Ia menaruh botol itu di meja makan dan mendekati kakaknya itu. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku.”Jasmine sedikit terkejut namun membalas pelukan adiknya, sedikit malu namun juga bersyukur dengan keberadaan adiknya disana. “Kenapa kau minta maaf?”Anton melepaskan pelukannya dan mengamati muka kakaknya yang terlihat lebih tirus dibandingkan saat berkunjung kerumah tempo hari.“Dulu, aku