Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.
Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.
Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.”“Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaiman
Ada beberapa orang yang tidak berubah. Sultan adalah salah satunya. Ia masih tetap terlihat gagah dan tampan seperti saat mereka masih SMU. Untuk seorang lelaki kulitnya tampak sangat halus dan terawat. Seperti dulu, ia juga masih mengenakan baju dan sepatu mahal. Kemejanya digulung hingga ke siku, memperlihatkan jam tangan merk mahal yang harganya hingga puluhan juta. Satu-satunya yang berubah darinya adalah pertambahan usia yang membuatnya tampak lebih dewasa.Profesinya sebagai seorang dokter sekaligus kepala Rumah Sakit hanyalah membuat pamornya sebagai calon suami ideal menjadi setinggi langit.“Kau terlihat cantik, Jasmine,” kata Sultan setelah basa basi dengan menanyakan kabar masing-masing.Jasmine tersenyum canggung. “Terima kasih. Jadi, bagaimana kondisi ibuku?”“Yah, kurasa akan baik-baik saja selama ibu tidak melewatkan obatnya. Juga akan sangat membantunya jika ibu mau lebih santai dan tidak t
Sambil tetap menelpon Jasmine berlari kearah pasar minggu yang berada sekitar satu kilometer dari rumahnya. “Kemana sih? Kenapa tidak mengangkat telpon?”Jasmine mengedarkan pandangannya mencari-cari diantara lalu lalang orang-orang yang ramai.Ia kembali berlari-lari kecil sambil berusaha menelpon Edie. Apa yang dikatakan ibunya pada Edie? Jasmine memejamkan matanya, ia bahkan bisa membayangkan apa saja yang akan dikatakan ibunya pada Edie. Apa Edie akan tersinggung dan marah?Ia tak pernah melihat Edie marah hingga akhir-akhir ini. Setelah peristiwa di hotel itu, ia beberapa kali melihat Edie menunjukkan emosinya. Dan berbarengan dengan itu, emosi dihati Jasmine juga mulai jungkir balik tidak keruan.Jasmine terus berlari hingga ia sampai di taman bermain anak-anak. Disalah satu bangku batu bata yang terdapat disisi taman, Edie tampak duduk dan menatap serius pada pasangan muda dengan dua orang anak kecil yang tengah main
“Oh, diamlah,” tukas Jasmine, menepis debar-debar dihatinya.Edie nyengir dan meraih tangan Jasmine. Menggandeng gadis itu melewati kerumuman pengunjung yang ramai. Di belakangnya, Jasmine menatap tangan mereka yang bertautan. Jemari Edie menggenggam kuat jemarinya yang pucat. Hati Jasmine menghangat. Diam-diam ia menatap postur Edie dari belakang dan bertanya-tanya.Bisakah ia mengembalikan hatinya seperti dulu? Bisakah ia menatap Edie tanpa debar-debar jantungnya yang tidak masuk akal?Edie seringkali datang berkunjung ke rumahnya, tapi biasanya pemuda itu lebih banyak diam. Setiap kali datang Edie akan membantu Jasmine melakukan pekerjaan rumah yang tidak sempat dilakukan Jasmine. Mulai dari mengecat, membenarkan genteng, mengecek listrik dan semuanya. Beberapa kali Jasmine pulang kerumah dan menemukan Edie sudah selesai membersihkan seluruh rumput dipekarangannya.Edie tak pernah mau menerima bayaran uang dariny
Jasmine termangu. Ingatannya melayang saat bagaimana Edie menolongnya tempo hari, juga saat menghiburnya, memeluknya. Saat itu ia mulai menyadari cara pandang dirinya pada Edie berubah. Seolah untuk pertama kalinya ia melihat, sekali lagi ia bertemu dengan Edie. Edie yang sama namun juga berbeda. Tapi… apakah Edie merasakan itu?“Aku… aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan.”Edie menatapnya lama sebelum bangkit. “Aku akan bayar dulu.”“Aku akan membayarnya.”Edie menahan tangan Jasmine dan menggeleng, “Aku bilang aku yang mentraktirmu.”Jasmine hanya mengawasi pemuda itu membayar makanan mereka dengan perasaan tidak keruan. Tiba-tiba saja Edie terlihat menonjol diantara semua orang. Posturnya yang tinggi dan wajahnya yang tampan membuatnya menjadi pusat perhatian gadis-gadis yang kebetulan lewat didekat mereka.Setelah dipikir-pikir, Edie selalu menja
Edie membuka pintu mobil dan melesakkan dirinya ke belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya frustasi. Ada perbedaan antara jatuh cinta sepihak dengan cinta yang berbalas. Dulu, saat ia mencintai Jasmine dengan sembunyi-sembunyi ia cukup puas dengan melihat gadis itu dari jauh, atau diam disisinya dan menemaninya. Ia sudah merasa senang bila ia sudah bertemu gadis itu dan melihatnya baik-baik saja. Tapi sekarang, saat ia tahu Jasmine juga memiliki perasaan khusus padanya, jauh lebih sulit baginya untuk menahan diri dari keinginan menyentuh gadis itu.Ditariknya nafas dalam-dalam. Lalu diperhatikannya Jasmine yang masih berdiri di sisi mobil. Hatinya selalu terbelah dua saat memikirkan Jasmine. Ia tahu Jasmine terlarang untuknya. Ada saat-saat dimana ia memantapkan tekad untuk pergi menjauh, namun setiap kali mereka bersama, hal itu seringkali terlupa olehnya. Ia tak bisa mencegah dirinya untuk mencintai dan menyayangi gadis itu setulus hatinya.Jasmine
Edie masuk ke apartemennya. Ia memijit-mijit tengkuknya yang pegal dan menaruh tasnya disofa begitu saja. Ia masuk ke kamarnya, mengambil ponsel dari atas nakas disisi tempat tidurnya. Ia menyalakannya dan membaca pesan-pesan yang masuk. Kemudian ia menghubungi seseorang.“Mia,” sapanya begitu panggilannya diterima.“Pak Edward, maafkan saya,” kata Mia sekretarisnya.“Ya, Cindy harus opname?”“Iya pak. Saya terpaksa ambil cuti beberapa hari. Tapi begitu bisa, saya akan secepatnya kembali.”“Oke, tidak apa-apa,” sahut Edie seraya keluar kamar lagi dan menuju dapur. Ia membuka kulkas. “Bagaimana kondisinya sekarang?”“Ini sudah mendapatkan obat dan infus sejak semalam jadi sudah lebih tenang dan bisa tidur.”“Baiklah. Liburlah sampai Cindi membaik.”“Terima kasih pak. Untuk baha
Jasmine melirik jam dinding dikantornya.Sudah jam sepuluh lewat dan Edie belum nongol sama sekali diruangannya. Padahal biasanya jam sembilan dia sudah berada dikantornya.Apa Edie benar-benar marah padanya? Sepanjang ingatannya belum pernah Edie bicara begitu banyak seperti semalam.Besok usiamu sudah bertambah tua sehari lagi, daripada menyia-nyiakan waktu, terlalu banyak pertimbangan yang membuatmu susah sendiri, lebih baik segera tetapkan hati dan mulailah mencintaiku Jasmine menghela nafas panjang dan meluruskan tubuhnya. Setelah dipikir-pikir lagi kata-katanya memang sedikit keterlaluan. Selama ini Edie telah berbuat banyak padanya. Perkenalan mereka selama delapan tahun ini telah menjadikan mereka sebagai teman, saudara, dan juga penjaganya. Tanpa disadarinya, Edie selalu berada disisinya.Tapi… astaga. Tak pernah terbersit dalam pikirannya jika Edie menyukainya. Bukan sekedar menyukainya, melainkan suka