“Mia,” sapanya begitu panggilannya diterima.
“Pak Edward, maafkan saya,” kata Mia sekretarisnya.
“Ya, Cindy harus opname?”
“Iya pak. Saya terpaksa ambil cuti beberapa hari. Tapi begitu bisa, saya akan secepatnya kembali.”
“Oke, tidak apa-apa,” sahut Edie seraya keluar kamar lagi dan menuju dapur. Ia membuka kulkas. “Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Ini sudah mendapatkan obat dan infus sejak semalam jadi sudah lebih tenang dan bisa tidur.”
“Baiklah. Liburlah sampai Cindi membaik.”
“Terima kasih pak. Untuk baha
Jasmine melirik jam dinding dikantornya.Sudah jam sepuluh lewat dan Edie belum nongol sama sekali diruangannya. Padahal biasanya jam sembilan dia sudah berada dikantornya.Apa Edie benar-benar marah padanya? Sepanjang ingatannya belum pernah Edie bicara begitu banyak seperti semalam.Besok usiamu sudah bertambah tua sehari lagi, daripada menyia-nyiakan waktu, terlalu banyak pertimbangan yang membuatmu susah sendiri, lebih baik segera tetapkan hati dan mulailah mencintaiku Jasmine menghela nafas panjang dan meluruskan tubuhnya. Setelah dipikir-pikir lagi kata-katanya memang sedikit keterlaluan. Selama ini Edie telah berbuat banyak padanya. Perkenalan mereka selama delapan tahun ini telah menjadikan mereka sebagai teman, saudara, dan juga penjaganya. Tanpa disadarinya, Edie selalu berada disisinya.Tapi… astaga. Tak pernah terbersit dalam pikirannya jika Edie menyukainya. Bukan sekedar menyukainya, melainkan suka
Edie mengakhiri seminar hari itu dan berjalan bersama, Mia, yang datang tadi pagi-pagi sekali langsung dari rumah sakit setelah menunggui putrinya yang sedang sakit.“Mia,” kata Edie begitu mereka tiba dilantai tujuh di hotel dimana mereka menginap. “Kau istirahat saja dulu. Nanti setelah makan malam, kita akan kerja lagi.”“Tapi ada tambahan materi yang cukup banyak untuk besok. Bukannya kita harus membuatnya sekarang?”“Aku akan membuatnya sendiri nanti. Kemudian akan aku serahkan padamu via email saja. Kau baru saja begadang dirumah sakit. Aku sangat berterima kasih kau mau datang kemari pagi-pagi sekali. Kalau tidak aku akan kerepotan.”“Baiklah, terima kasih, pak. Oh, ya. Tadi ada telpon dari pak Julian dan meminta bertemu dengan bapak secepatnya. Beliau ingin membicarakan kelanjutan pembangunan mall itu.”Edie menghela nafas enggan, “Dia benar-benar membuatku pusi
Jasmine menatap rumah Edie yang tampak sunyi. Tidak tampak tanda-tanda ada penghuninya. Lampu teras juga masih menyala padahal hari sudah cukup siang.Jasmine tidak tahu apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu, namun setidaknya ia harus tahu keadaan Edie. Sudah beberapa hari ia berusaha menghubunginya namun nomornya selalu tidak aktif.Tidak tahan lagi, hari ini pagi-pagi Jasmine sudah berangkat dan mampir kerumah Edie. Tapi rumahnya juga tampak sepi. Ia beberapa kali mengetuk pintu tanpa ada jawaban.“Edie? Kau didalam?”“Mencari siapa neng?”Jasmine menoleh, mendapati seorang ibu yang membawa kantong belanjaan dibelakangnya.“Saya mencari Edie, bu. Yang tinggal di sini.”“Oh, mas Edie? Sudah agak lama saya tidak melihatnya. Ini memang rumahnya. Tapi sebenarnya rumah ini jarang dihuni.”Alis Jasmine terangkat penuh tanya. “Benarkah?”“Say
Hujan turun deras sekali disiang hari dan bertahan hingga sore hari. Jasmine merasa tubuhnya menggigil kedinginan saat keluar dari mobilnya dan naik ke apartemennya.Ia tahu bukan semata-mata karena hujan yang membuatnya menggigil. Harinya seperti melaju di atas roller coaster. Suasana hatinya naik turun karena memikirkan Edie. Disatu sisi, hatinya berdebar kencang dan berbunga-bunga karena pemuda itu. Namun disisi lain, saat ia ingat perbedaan mereka ada perasaan miris yang mengusik hatinya.Karena itu setelah menyelesaikan pekerjaannya ia memutuskan untuk segera pulang. Ada beberapa hal yang harus dikerjakannya dirumah, selain ia juga akan memikirkan semuanya dengan lebih jernih. Ia harus membuat keputusan terbaik untuk mereka berdua sebelum segalanya terlanjur jauh untuk mereka.Jasmine keluar dari lift dan terpaku. Astaga, jantung tuanya ini bahkan tidak menunggu lebih lama untuk berderap cepat saat melihat sosok yang menunggunya tepat
“Selamat pagi,” sapa Edie keesokan harinya.Dengan jantung berdebar, Jasmine mengangkat wajah dari laptopnya dan menemukan Edie melangkah masuk kedalam ruangannya.“Selamat pagi,” sahutnya.Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Edie tampak formal dan sopan terhadapnya. Ia menaruh setumpuk surat dan paket di meja dan berdiri disana. “Ada yang harus saya kerjakan?”Jasmine hanya mengamati Edie. “Haruskah kau memasang topeng itu sekarang?”Edie tersenyum lebar. “Kau pikir tidak berat melakukan ini setiap pagi?”Jasmine tersenyum, “Benarkah?”“Mau tahu apa sebenarnya yang ingin aku lakukan tiap pagi setiap kali melihatmu disini?”Jasmine melihat sorot nakal dimata Edie. Ingatannya langsung tertuju pada ciuman panas mereka semalam. Astaga, ia tidak pernah menyangka ciuman akan membuatnya begitu bergairah. Kalau saja Edie tidak menahan diri
“Pak Edward yang minggu kemarin memberikan seminar property di Bali, bukan?” Bapak itu menatap Edie ragu-ragu. “Saya sangat menikmati seminar itu dan…apakah saya salah? Sekilas memang tampak mirip tapi…”Jasmine dan Edie berpandangan. Jasmine mengangkat alisnya dan tersenyum. Sementara Edie merasa kakinya terasa mengambang diatas tanah.“Maaf, sepertinya bapak salah orang,” kata Jasmine menjawab ramah. “Dia bernama Edie. Bukan.... Edward.”“Oh, maaf kalau begitu.” Bapak-bapak itu pun berpamitan dan pergi.“Wah.... Edward? Apakah kau mirip orang bule?”Edie berdeham dan meminum air putihnya hingga tandas. Ia tersenyum kecut. Sementara Jasmine memperhatikan bapak-bapak yang duduk di meja tidak terlalu jauh dari mereka.“Kurasa kau benar-benar mirip dengan orang yang dimaksud bapak itu. Dia melihat kemari terus. Ah, aku tidak bi
“Apa ibu sudah baikan? Kenapa kau malah mengajaknya kemari? Ini bahkan sudah hampir tengah malam,” kata Jasmine saat menyiapkan minuman bersama Julia untuk mereka semua.Edie langsung mengantarnya pulang begitu ia selesai menerima telpon dari Julia. Lelaki itu mampir sebentar untuk menyapa ibu dan Julia sebelum berpamitan, memberi kesempatan Jasmine untuk bersama keluarganya.“Ibu yang mengajak kemari. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin dia minta diantar kesini. Hanya saja aku baru bisa mengantarnya hari ini. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu.”Jasmine menatap kakaknya kaku, “Ada masalah apa?”“Akhir-akhir ini ibu tidak bisa tidur dengan baik, Jasmine. Setelah kau pergi Ibu sering berdiam diri dan melamun. Sepertinya banyak yang difikirkannya. Tapi ibu tak mau cerita apapun pada kami.” Julia menghela nafas panjang. “Tak perduli bagaimanapun ketidakcocokan kalian, kau tetap anaknya.
“Ini hampir tengah malam, kenapa mama ada disini?” tanya Edie, saat menemukan ibunya tengah duduk diruang tengah sambil memindah-mindah channel televisi.“Kau bersama perempuan itu?”Tanpa mengatakan apapun, Edie masuk kekamarnya untuk melepaskan soft lensnya dan menggantinya dengan kaca mata minus. Ia juga mengganti kemejanya dengan kaus sebelum keluar lagi.“Mama ingin minum sesuatu?”“Kau menyukainya?”Edie menghela nafas panjang. “Bukankah papa mengajak mama tinggal di Amerika lagi?”“Kau akan meninggalkan dia bukan?”Edie tidak menjawab.“Katakan kau akan meninggalkan dia!”Edie masih membisu. Malam ini ia berhasil membuat gadis itu tersenyum, membuatnya tertawa. Dan demi apapun ia ingin lebih lama lagi membuat gadis itu tertawa dan bahagia. Ia benar-benar tidak siap melihat gadis itu menangis lagi.
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Siang itu, Edie pergi ke Rumah Sakit untuk mengunjungi korban runtuhnya bangunan mall. Awalnya ia akan berangkat sendiri bersama Mia, sekretarisnya. Namun Jasmine bersikeras untuk ikut dan mendampinginya. Ia bahkan mengajukan cuti tiga hari untuk mendampinginya. Diakui atau tidak, Edie sangat berterima kasih pada wanita terkasihnya itu.Sudah sejak lama Jasmine merupakan sosok yang istimewa di hatinya. Dulu ia adalah sahabat, penyemangat dan pendukung terbesarnya. Kini, Jasmine adalah nafas dan masa depannya. Kehadiran Jasmine disisinya kini memberikan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masalah yang tengah menderanya.Tak perduli benar atau salah, kecelakaan itu sudah terjadi. Dan ia masuk dalam lingkaran penyebab malapetaka itu. Jasmine meyakinkan dirinya untuk menghadapi semuanya dengan t
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.“Mereka belum menemukannya.”Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.“Bapak ba
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Miranda pada Edward. “Apa semua lancar?”Malam itu Miranda sengaja mengajak suami dan anaknya makan malam disebuah restoran. Bukan hal mudah mengajak Edie yang masih marah besar pada mereka berdua. Namun, akhirnya Edie luluh juga setelah ia menungguinya dikantor dan tidak mau pergi sebelum berhasil menemui anaknya itu. Ia mengenal Edie dengan baik. Berbeda dengan Akmal, Edie adalah anak yang berhati lembut dan tidak tegaan. Dipungkiri atau tidak, Miranda tahu Akmal menyimpan sebuah sifat kejam jauh disudut hatinya—bahkan setelah diterapi selama bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan ayahnya masih mengendap didasar hatinya. Hanya saja ia tidak tahu Akmal akan bertindak sejauh itu pada wanita yang dicintainya.Wanita yang dicintai kedua anaknya, batin Miranda sedih.“Kenapa tiba-tiba mengajak makan direstoran?” pertanyaan malas Edie membangunkan Miranda dari lamuna
“Ibu menyuruhmu kesini?” tanya Jasmine ketika malam itu Anton muncul di apartemennya.“Aku ingin kesini.”“Proyek di Papua sudah selesai?”“Masih akan butuh waktu lama. Tapi aku libur seminggu.” Anton langsung menuju kulkas dan memindai isi kulkas. Tidak apapun disana, batinnya. Ia mengambil sebotol air putih dan memandang kakaknya. “Kau baik-baik saja?”Jasmine mendesah lelah, “Kau sudah dengar?”Anton mengangguk. Ia menaruh botol itu di meja makan dan mendekati kakaknya itu. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku.”Jasmine sedikit terkejut namun membalas pelukan adiknya, sedikit malu namun juga bersyukur dengan keberadaan adiknya disana. “Kenapa kau minta maaf?”Anton melepaskan pelukannya dan mengamati muka kakaknya yang terlihat lebih tirus dibandingkan saat berkunjung kerumah tempo hari.“Dulu, aku