“Selamat pagi,” sapa Edie keesokan harinya.
Dengan jantung berdebar, Jasmine mengangkat wajah dari laptopnya dan menemukan Edie melangkah masuk kedalam ruangannya.
“Selamat pagi,” sahutnya.
Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Edie tampak formal dan sopan terhadapnya. Ia menaruh setumpuk surat dan paket di meja dan berdiri disana. “Ada yang harus saya kerjakan?”
Jasmine hanya mengamati Edie. “Haruskah kau memasang topeng itu sekarang?”
Edie tersenyum lebar. “Kau pikir tidak berat melakukan ini setiap pagi?”
Jasmine tersenyum, “Benarkah?”
“Mau tahu apa sebenarnya yang ingin aku lakukan tiap pagi setiap kali melihatmu disini?”
Jasmine melihat sorot nakal dimata Edie. Ingatannya langsung tertuju pada ciuman panas mereka semalam. Astaga, ia tidak pernah menyangka ciuman akan membuatnya begitu bergairah. Kalau saja Edie tidak menahan diri
“Pak Edward yang minggu kemarin memberikan seminar property di Bali, bukan?” Bapak itu menatap Edie ragu-ragu. “Saya sangat menikmati seminar itu dan…apakah saya salah? Sekilas memang tampak mirip tapi…”Jasmine dan Edie berpandangan. Jasmine mengangkat alisnya dan tersenyum. Sementara Edie merasa kakinya terasa mengambang diatas tanah.“Maaf, sepertinya bapak salah orang,” kata Jasmine menjawab ramah. “Dia bernama Edie. Bukan.... Edward.”“Oh, maaf kalau begitu.” Bapak-bapak itu pun berpamitan dan pergi.“Wah.... Edward? Apakah kau mirip orang bule?”Edie berdeham dan meminum air putihnya hingga tandas. Ia tersenyum kecut. Sementara Jasmine memperhatikan bapak-bapak yang duduk di meja tidak terlalu jauh dari mereka.“Kurasa kau benar-benar mirip dengan orang yang dimaksud bapak itu. Dia melihat kemari terus. Ah, aku tidak bi
“Apa ibu sudah baikan? Kenapa kau malah mengajaknya kemari? Ini bahkan sudah hampir tengah malam,” kata Jasmine saat menyiapkan minuman bersama Julia untuk mereka semua.Edie langsung mengantarnya pulang begitu ia selesai menerima telpon dari Julia. Lelaki itu mampir sebentar untuk menyapa ibu dan Julia sebelum berpamitan, memberi kesempatan Jasmine untuk bersama keluarganya.“Ibu yang mengajak kemari. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin dia minta diantar kesini. Hanya saja aku baru bisa mengantarnya hari ini. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu.”Jasmine menatap kakaknya kaku, “Ada masalah apa?”“Akhir-akhir ini ibu tidak bisa tidur dengan baik, Jasmine. Setelah kau pergi Ibu sering berdiam diri dan melamun. Sepertinya banyak yang difikirkannya. Tapi ibu tak mau cerita apapun pada kami.” Julia menghela nafas panjang. “Tak perduli bagaimanapun ketidakcocokan kalian, kau tetap anaknya.
“Ini hampir tengah malam, kenapa mama ada disini?” tanya Edie, saat menemukan ibunya tengah duduk diruang tengah sambil memindah-mindah channel televisi.“Kau bersama perempuan itu?”Tanpa mengatakan apapun, Edie masuk kekamarnya untuk melepaskan soft lensnya dan menggantinya dengan kaca mata minus. Ia juga mengganti kemejanya dengan kaus sebelum keluar lagi.“Mama ingin minum sesuatu?”“Kau menyukainya?”Edie menghela nafas panjang. “Bukankah papa mengajak mama tinggal di Amerika lagi?”“Kau akan meninggalkan dia bukan?”Edie tidak menjawab.“Katakan kau akan meninggalkan dia!”Edie masih membisu. Malam ini ia berhasil membuat gadis itu tersenyum, membuatnya tertawa. Dan demi apapun ia ingin lebih lama lagi membuat gadis itu tertawa dan bahagia. Ia benar-benar tidak siap melihat gadis itu menangis lagi.
Edie tidak perlu mendengar apapun. Hanya dengan melihat raut wajah Jasmine saja ia tahu apa yang telah menimpanya. Wajah gadis itu benar-benar memutih. “Tolong bilang ini tidak seperti yang aku pikirkan,” bisik Jasmine. Sesaat ia tampak kebingungan, saat berikutnya antisipasi dan teror memenuhi pancaran dimatanya.“Jasmine…” Edie maju selangkah, berusaha meraih Jasmine. Namun gadis itu dengan cepat mundur.“Siapa kau?” suara Jasmine pecah. “Siapa kau?!” “Siapa, Edward?”Suara terkesiap terlontar dari tenggorokan Jasmine saat matanya bersiborok dengan wanita yang muncul di belakang Edie. Seperti melihat hantu, Jasmine semakin jauh melangkah mundur.“Jasmine...”Edward mengulurkan tangannya, namun sesuatu dari gerakan Jasmine menghentikan dirinya. Gadis itu benar-benar ketakutan.“Kau … Edward? Kalian…&rd
Entah sudah berapa lama Jasmine menangis dalam kegelapan malam. Ia menghentikan mobilnya begitu saja ditepi jalan tanpa tahu dimana dirinya dan melanjutkan tangisannyaKenapa malam yang berawal dengan indah berakhir dengan begitu menyakitkan? Edie, Edward… ya Tuhan.Akmal beberapa kali menyebutkan nama adiknya yang tinggal diluar negeri waktu itu, namun belum sekalipun ia bertemu dengannya. Ia tak pernah menduga kalau anak SMU lugu yang datang kerumahnya delapan tahun yang lalu itu adalah Edward.Sekarang ia mengerti kenapa Edie tidak suka membicarakan kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Awalnya Jasmine mengira Edie berasal dari keluarga broken home. Sekarang ia baru tahu kalau Edie memang tidak bisa menceritakan keluarganya tanpa ketahuan jati dirinya.Dan bagaimana dengan kencan mereka? Semuanya terasa begitu manis hingga nyaris menyakitkan.…kalau aku membuat kesalahan besar. Kesalahan yang sangat besar
Edie mencengkeram kemudi mobil hingga buku-buku jarinya memutih, “Sebaiknya kau tidak mengatakan hal-hal yang akan kau sesali.”“Yang paling kusesalkan adalah membiarkanmu masuk dalam hidupku!” jerit Jasmine. Ia mengusap rambutnya dengan gusar.Jasmine memutar tubuhnya sejauh mungkin, mengangkat kedua kakinya dan menatap keluar jendela. Dengan kesal ia mengusap matanya yang kembali berair. Ia sudah menangis selama tiga hari tiga malam, kenapa air matanya belum kering juga?Edie mengawasinya dengan sendu. Ia tahu masalah ini tidak akan bisa dilewati Jasmine dengan mudah. Tak ada hal apapun yang bisa membuat masalah ini menjadi lebih mudah. Tak ada yang bisa menghindarkan Jasmine dari rasa sakit hati yang amat sangat.Selama delapan tahun ia mengemban misi dari ibunya untuk membalaskan dendam putra kesayangan keluarga mereka pada wanita yang telah menyakitinya. Sebuah misi yang sangat sulit mengingat ia nyaris lan
“Tok, tok, tok. Boleh masuk?”Jasmine mendongak dari berkas-berkas yang sedang dilihatnya—atau pura-pura dilihatnya. Maya berdiri diambang pintu dengan senyum cerahnya.“Masuklah.”“Mau makan siang bareng dikantin?”Jasmine meluruskan punggungnya.“Atau di café depan? Kau suka makanan disana kan?”Jasmine sudah beberapa kali makan di café depan pabrik bersama Edie. “Aku sedang tidak ingin makan.”“Ternyata benar yang dikatakannya,” guman Maya seraya menaruh sebuah kantong kertas didepan Jasmine.“Apa ini?” Jasmine membukanya. Dua buah cup cake coklat dan vanilla.“Makanlah itu.”“Terima kasih.”“Ngomong-ngomong, kau film horor apa yang pernah kau tonton?”Film terakhir yang ditontonnya adalah sebuah film komedi romantis bersama Edie, b
Siang itu, di cafetaria perusahaan. Hampir semua orang terpaku menatap televisi besar berukuran tujuh puluh inchi yang berada disalah satu sisi ruangan. Di televisi sedang ada liputan pembangunan mall di pusat kota yang dirancang oleh Edward Sandyano Sasongko.“Astaga, bagaimana mungkin ia mendadak berubah jadi seorang arsitek?” guman Hadi sambil minum es tehnya. “Kita tidak tahu ada anak orang yang sangat kaya dan terkenal disekeliling kita.”“Ohh… kenapa aku tidak menyadarinya?” kata Vita yang duduk dimeja sebelahnya bersama Maya penuh penyesalan. “Seharusnya aku percaya saja pada hatiku dan tetap mengejarnya.”Maya mengangkat alisnya dan terkekeh.Hadi meliriknya dengan pandangan mencemooh, “Kau pikir kau masih punya kesempatan?” katanya.“Memang kenapa?” timpal Vita. “Namanya juga usaha. Dia tampan sekali.”“Dan terl