Edie mencengkeram kemudi mobil hingga buku-buku jarinya memutih, “Sebaiknya kau tidak mengatakan hal-hal yang akan kau sesali.”
“Yang paling kusesalkan adalah membiarkanmu masuk dalam hidupku!” jerit Jasmine. Ia mengusap rambutnya dengan gusar.
Jasmine memutar tubuhnya sejauh mungkin, mengangkat kedua kakinya dan menatap keluar jendela. Dengan kesal ia mengusap matanya yang kembali berair. Ia sudah menangis selama tiga hari tiga malam, kenapa air matanya belum kering juga?
Edie mengawasinya dengan sendu. Ia tahu masalah ini tidak akan bisa dilewati Jasmine dengan mudah. Tak ada hal apapun yang bisa membuat masalah ini menjadi lebih mudah. Tak ada yang bisa menghindarkan Jasmine dari rasa sakit hati yang amat sangat.
Selama delapan tahun ia mengemban misi dari ibunya untuk membalaskan dendam putra kesayangan keluarga mereka pada wanita yang telah menyakitinya. Sebuah misi yang sangat sulit mengingat ia nyaris lan
“Tok, tok, tok. Boleh masuk?”Jasmine mendongak dari berkas-berkas yang sedang dilihatnya—atau pura-pura dilihatnya. Maya berdiri diambang pintu dengan senyum cerahnya.“Masuklah.”“Mau makan siang bareng dikantin?”Jasmine meluruskan punggungnya.“Atau di café depan? Kau suka makanan disana kan?”Jasmine sudah beberapa kali makan di café depan pabrik bersama Edie. “Aku sedang tidak ingin makan.”“Ternyata benar yang dikatakannya,” guman Maya seraya menaruh sebuah kantong kertas didepan Jasmine.“Apa ini?” Jasmine membukanya. Dua buah cup cake coklat dan vanilla.“Makanlah itu.”“Terima kasih.”“Ngomong-ngomong, kau film horor apa yang pernah kau tonton?”Film terakhir yang ditontonnya adalah sebuah film komedi romantis bersama Edie, b
Siang itu, di cafetaria perusahaan. Hampir semua orang terpaku menatap televisi besar berukuran tujuh puluh inchi yang berada disalah satu sisi ruangan. Di televisi sedang ada liputan pembangunan mall di pusat kota yang dirancang oleh Edward Sandyano Sasongko.“Astaga, bagaimana mungkin ia mendadak berubah jadi seorang arsitek?” guman Hadi sambil minum es tehnya. “Kita tidak tahu ada anak orang yang sangat kaya dan terkenal disekeliling kita.”“Ohh… kenapa aku tidak menyadarinya?” kata Vita yang duduk dimeja sebelahnya bersama Maya penuh penyesalan. “Seharusnya aku percaya saja pada hatiku dan tetap mengejarnya.”Maya mengangkat alisnya dan terkekeh.Hadi meliriknya dengan pandangan mencemooh, “Kau pikir kau masih punya kesempatan?” katanya.“Memang kenapa?” timpal Vita. “Namanya juga usaha. Dia tampan sekali.”“Dan terl
Sudah hampir tengah malam saat Jasmine tiba kembali ke apartemennya. Sebenarnya tak ada masalah penting dikantor maupun di pabrik. Sejujurnya, hari ini lebih longgar daripada biasanya. Hanya pengecekan rutin biasa yang bahkan sebenarnya bisa dikerjakan oleh para engineernya. Apalagi, akhir-akhir ini Hadi—si bangsat itu bekerja dengan sangat baik. Ia nyaris tak pernah menagih laporan dari engineernya itu dan saat ia membutuhkan semua sudah tercetak rapi di meja kerjanya.Namun membayangkan pulang ke apartemennya sore hari rasanya berat sekali. Jadi ia tetap mencari kesibukan dikantor maupun di pabrik sebelum kemudian pulang disaat ia sudah benar-benar capek dan mengantuk. Itu akan membuatnya sedikit lebih mudah karena kemudian ia akan langsung tertidur tanpa memikirkan apapun. Itu adalah teorinya. Kenyataannya ia sering bangun menjelang dini hari dan kembali mengingat semuanya. Jasmine masuk kedalam lift dengan gontai. Ia menguap dan menyandar
“Ibu menyuruhmu kesini?” tanya Jasmine ketika malam itu Anton muncul di apartemennya.“Aku ingin kesini.”“Proyek di Papua sudah selesai?”“Masih akan butuh waktu lama. Tapi aku libur seminggu.” Anton langsung menuju kulkas dan memindai isi kulkas. Tidak apapun disana, batinnya. Ia mengambil sebotol air putih dan memandang kakaknya. “Kau baik-baik saja?”Jasmine mendesah lelah, “Kau sudah dengar?”Anton mengangguk. Ia menaruh botol itu di meja makan dan mendekati kakaknya itu. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku.”Jasmine sedikit terkejut namun membalas pelukan adiknya, sedikit malu namun juga bersyukur dengan keberadaan adiknya disana. “Kenapa kau minta maaf?”Anton melepaskan pelukannya dan mengamati muka kakaknya yang terlihat lebih tirus dibandingkan saat berkunjung kerumah tempo hari.“Dulu, aku
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Miranda pada Edward. “Apa semua lancar?”Malam itu Miranda sengaja mengajak suami dan anaknya makan malam disebuah restoran. Bukan hal mudah mengajak Edie yang masih marah besar pada mereka berdua. Namun, akhirnya Edie luluh juga setelah ia menungguinya dikantor dan tidak mau pergi sebelum berhasil menemui anaknya itu. Ia mengenal Edie dengan baik. Berbeda dengan Akmal, Edie adalah anak yang berhati lembut dan tidak tegaan. Dipungkiri atau tidak, Miranda tahu Akmal menyimpan sebuah sifat kejam jauh disudut hatinya—bahkan setelah diterapi selama bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan ayahnya masih mengendap didasar hatinya. Hanya saja ia tidak tahu Akmal akan bertindak sejauh itu pada wanita yang dicintainya.Wanita yang dicintai kedua anaknya, batin Miranda sedih.“Kenapa tiba-tiba mengajak makan direstoran?” pertanyaan malas Edie membangunkan Miranda dari lamuna
“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.“Mereka belum menemukannya.”Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.“Bapak ba
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld