Jasmine melirik jam dinding dikantornya.
Sudah jam sepuluh lewat dan Edie belum nongol sama sekali diruangannya. Padahal biasanya jam sembilan dia sudah berada dikantornya.
Apa Edie benar-benar marah padanya? Sepanjang ingatannya belum pernah Edie bicara begitu banyak seperti semalam.
Besok usiamu sudah bertambah tua sehari lagi, daripada menyia-nyiakan waktu, terlalu banyak pertimbangan yang membuatmu susah sendiri, lebih baik segera tetapkan hati dan mulailah mencintaiku
Jasmine menghela nafas panjang dan meluruskan tubuhnya. Setelah dipikir-pikir lagi kata-katanya memang sedikit keterlaluan. Selama ini Edie telah berbuat banyak padanya. Perkenalan mereka selama delapan tahun ini telah menjadikan mereka sebagai teman, saudara, dan juga penjaganya. Tanpa disadarinya, Edie selalu berada disisinya.
Tapi… astaga. Tak pernah terbersit dalam pikirannya jika Edie menyukainya. Bukan sekedar menyukainya, melainkan suka
Edie mengakhiri seminar hari itu dan berjalan bersama, Mia, yang datang tadi pagi-pagi sekali langsung dari rumah sakit setelah menunggui putrinya yang sedang sakit.“Mia,” kata Edie begitu mereka tiba dilantai tujuh di hotel dimana mereka menginap. “Kau istirahat saja dulu. Nanti setelah makan malam, kita akan kerja lagi.”“Tapi ada tambahan materi yang cukup banyak untuk besok. Bukannya kita harus membuatnya sekarang?”“Aku akan membuatnya sendiri nanti. Kemudian akan aku serahkan padamu via email saja. Kau baru saja begadang dirumah sakit. Aku sangat berterima kasih kau mau datang kemari pagi-pagi sekali. Kalau tidak aku akan kerepotan.”“Baiklah, terima kasih, pak. Oh, ya. Tadi ada telpon dari pak Julian dan meminta bertemu dengan bapak secepatnya. Beliau ingin membicarakan kelanjutan pembangunan mall itu.”Edie menghela nafas enggan, “Dia benar-benar membuatku pusi
Jasmine menatap rumah Edie yang tampak sunyi. Tidak tampak tanda-tanda ada penghuninya. Lampu teras juga masih menyala padahal hari sudah cukup siang.Jasmine tidak tahu apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu, namun setidaknya ia harus tahu keadaan Edie. Sudah beberapa hari ia berusaha menghubunginya namun nomornya selalu tidak aktif.Tidak tahan lagi, hari ini pagi-pagi Jasmine sudah berangkat dan mampir kerumah Edie. Tapi rumahnya juga tampak sepi. Ia beberapa kali mengetuk pintu tanpa ada jawaban.“Edie? Kau didalam?”“Mencari siapa neng?”Jasmine menoleh, mendapati seorang ibu yang membawa kantong belanjaan dibelakangnya.“Saya mencari Edie, bu. Yang tinggal di sini.”“Oh, mas Edie? Sudah agak lama saya tidak melihatnya. Ini memang rumahnya. Tapi sebenarnya rumah ini jarang dihuni.”Alis Jasmine terangkat penuh tanya. “Benarkah?”“Say
Hujan turun deras sekali disiang hari dan bertahan hingga sore hari. Jasmine merasa tubuhnya menggigil kedinginan saat keluar dari mobilnya dan naik ke apartemennya.Ia tahu bukan semata-mata karena hujan yang membuatnya menggigil. Harinya seperti melaju di atas roller coaster. Suasana hatinya naik turun karena memikirkan Edie. Disatu sisi, hatinya berdebar kencang dan berbunga-bunga karena pemuda itu. Namun disisi lain, saat ia ingat perbedaan mereka ada perasaan miris yang mengusik hatinya.Karena itu setelah menyelesaikan pekerjaannya ia memutuskan untuk segera pulang. Ada beberapa hal yang harus dikerjakannya dirumah, selain ia juga akan memikirkan semuanya dengan lebih jernih. Ia harus membuat keputusan terbaik untuk mereka berdua sebelum segalanya terlanjur jauh untuk mereka.Jasmine keluar dari lift dan terpaku. Astaga, jantung tuanya ini bahkan tidak menunggu lebih lama untuk berderap cepat saat melihat sosok yang menunggunya tepat
“Selamat pagi,” sapa Edie keesokan harinya.Dengan jantung berdebar, Jasmine mengangkat wajah dari laptopnya dan menemukan Edie melangkah masuk kedalam ruangannya.“Selamat pagi,” sahutnya.Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Edie tampak formal dan sopan terhadapnya. Ia menaruh setumpuk surat dan paket di meja dan berdiri disana. “Ada yang harus saya kerjakan?”Jasmine hanya mengamati Edie. “Haruskah kau memasang topeng itu sekarang?”Edie tersenyum lebar. “Kau pikir tidak berat melakukan ini setiap pagi?”Jasmine tersenyum, “Benarkah?”“Mau tahu apa sebenarnya yang ingin aku lakukan tiap pagi setiap kali melihatmu disini?”Jasmine melihat sorot nakal dimata Edie. Ingatannya langsung tertuju pada ciuman panas mereka semalam. Astaga, ia tidak pernah menyangka ciuman akan membuatnya begitu bergairah. Kalau saja Edie tidak menahan diri
“Pak Edward yang minggu kemarin memberikan seminar property di Bali, bukan?” Bapak itu menatap Edie ragu-ragu. “Saya sangat menikmati seminar itu dan…apakah saya salah? Sekilas memang tampak mirip tapi…”Jasmine dan Edie berpandangan. Jasmine mengangkat alisnya dan tersenyum. Sementara Edie merasa kakinya terasa mengambang diatas tanah.“Maaf, sepertinya bapak salah orang,” kata Jasmine menjawab ramah. “Dia bernama Edie. Bukan.... Edward.”“Oh, maaf kalau begitu.” Bapak-bapak itu pun berpamitan dan pergi.“Wah.... Edward? Apakah kau mirip orang bule?”Edie berdeham dan meminum air putihnya hingga tandas. Ia tersenyum kecut. Sementara Jasmine memperhatikan bapak-bapak yang duduk di meja tidak terlalu jauh dari mereka.“Kurasa kau benar-benar mirip dengan orang yang dimaksud bapak itu. Dia melihat kemari terus. Ah, aku tidak bi
“Apa ibu sudah baikan? Kenapa kau malah mengajaknya kemari? Ini bahkan sudah hampir tengah malam,” kata Jasmine saat menyiapkan minuman bersama Julia untuk mereka semua.Edie langsung mengantarnya pulang begitu ia selesai menerima telpon dari Julia. Lelaki itu mampir sebentar untuk menyapa ibu dan Julia sebelum berpamitan, memberi kesempatan Jasmine untuk bersama keluarganya.“Ibu yang mengajak kemari. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin dia minta diantar kesini. Hanya saja aku baru bisa mengantarnya hari ini. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu.”Jasmine menatap kakaknya kaku, “Ada masalah apa?”“Akhir-akhir ini ibu tidak bisa tidur dengan baik, Jasmine. Setelah kau pergi Ibu sering berdiam diri dan melamun. Sepertinya banyak yang difikirkannya. Tapi ibu tak mau cerita apapun pada kami.” Julia menghela nafas panjang. “Tak perduli bagaimanapun ketidakcocokan kalian, kau tetap anaknya.
“Ini hampir tengah malam, kenapa mama ada disini?” tanya Edie, saat menemukan ibunya tengah duduk diruang tengah sambil memindah-mindah channel televisi.“Kau bersama perempuan itu?”Tanpa mengatakan apapun, Edie masuk kekamarnya untuk melepaskan soft lensnya dan menggantinya dengan kaca mata minus. Ia juga mengganti kemejanya dengan kaus sebelum keluar lagi.“Mama ingin minum sesuatu?”“Kau menyukainya?”Edie menghela nafas panjang. “Bukankah papa mengajak mama tinggal di Amerika lagi?”“Kau akan meninggalkan dia bukan?”Edie tidak menjawab.“Katakan kau akan meninggalkan dia!”Edie masih membisu. Malam ini ia berhasil membuat gadis itu tersenyum, membuatnya tertawa. Dan demi apapun ia ingin lebih lama lagi membuat gadis itu tertawa dan bahagia. Ia benar-benar tidak siap melihat gadis itu menangis lagi.
Edie tidak perlu mendengar apapun. Hanya dengan melihat raut wajah Jasmine saja ia tahu apa yang telah menimpanya. Wajah gadis itu benar-benar memutih. “Tolong bilang ini tidak seperti yang aku pikirkan,” bisik Jasmine. Sesaat ia tampak kebingungan, saat berikutnya antisipasi dan teror memenuhi pancaran dimatanya.“Jasmine…” Edie maju selangkah, berusaha meraih Jasmine. Namun gadis itu dengan cepat mundur.“Siapa kau?” suara Jasmine pecah. “Siapa kau?!” “Siapa, Edward?”Suara terkesiap terlontar dari tenggorokan Jasmine saat matanya bersiborok dengan wanita yang muncul di belakang Edie. Seperti melihat hantu, Jasmine semakin jauh melangkah mundur.“Jasmine...”Edward mengulurkan tangannya, namun sesuatu dari gerakan Jasmine menghentikan dirinya. Gadis itu benar-benar ketakutan.“Kau … Edward? Kalian…&rd