Jasmine menatap rumah Edie yang tampak sunyi. Tidak tampak tanda-tanda ada penghuninya. Lampu teras juga masih menyala padahal hari sudah cukup siang.
Jasmine tidak tahu apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu, namun setidaknya ia harus tahu keadaan Edie. Sudah beberapa hari ia berusaha menghubunginya namun nomornya selalu tidak aktif.
Tidak tahan lagi, hari ini pagi-pagi Jasmine sudah berangkat dan mampir kerumah Edie. Tapi rumahnya juga tampak sepi. Ia beberapa kali mengetuk pintu tanpa ada jawaban.
“Edie? Kau didalam?”
“Mencari siapa neng?”
Jasmine menoleh, mendapati seorang ibu yang membawa kantong belanjaan dibelakangnya.
“Saya mencari Edie, bu. Yang tinggal di sini.”
“Oh, mas Edie? Sudah agak lama saya tidak melihatnya. Ini memang rumahnya. Tapi sebenarnya rumah ini jarang dihuni.”
Alis Jasmine terangkat penuh tanya. “Benarkah?”
“Say
Hujan turun deras sekali disiang hari dan bertahan hingga sore hari. Jasmine merasa tubuhnya menggigil kedinginan saat keluar dari mobilnya dan naik ke apartemennya.Ia tahu bukan semata-mata karena hujan yang membuatnya menggigil. Harinya seperti melaju di atas roller coaster. Suasana hatinya naik turun karena memikirkan Edie. Disatu sisi, hatinya berdebar kencang dan berbunga-bunga karena pemuda itu. Namun disisi lain, saat ia ingat perbedaan mereka ada perasaan miris yang mengusik hatinya.Karena itu setelah menyelesaikan pekerjaannya ia memutuskan untuk segera pulang. Ada beberapa hal yang harus dikerjakannya dirumah, selain ia juga akan memikirkan semuanya dengan lebih jernih. Ia harus membuat keputusan terbaik untuk mereka berdua sebelum segalanya terlanjur jauh untuk mereka.Jasmine keluar dari lift dan terpaku. Astaga, jantung tuanya ini bahkan tidak menunggu lebih lama untuk berderap cepat saat melihat sosok yang menunggunya tepat
“Selamat pagi,” sapa Edie keesokan harinya.Dengan jantung berdebar, Jasmine mengangkat wajah dari laptopnya dan menemukan Edie melangkah masuk kedalam ruangannya.“Selamat pagi,” sahutnya.Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Edie tampak formal dan sopan terhadapnya. Ia menaruh setumpuk surat dan paket di meja dan berdiri disana. “Ada yang harus saya kerjakan?”Jasmine hanya mengamati Edie. “Haruskah kau memasang topeng itu sekarang?”Edie tersenyum lebar. “Kau pikir tidak berat melakukan ini setiap pagi?”Jasmine tersenyum, “Benarkah?”“Mau tahu apa sebenarnya yang ingin aku lakukan tiap pagi setiap kali melihatmu disini?”Jasmine melihat sorot nakal dimata Edie. Ingatannya langsung tertuju pada ciuman panas mereka semalam. Astaga, ia tidak pernah menyangka ciuman akan membuatnya begitu bergairah. Kalau saja Edie tidak menahan diri
“Pak Edward yang minggu kemarin memberikan seminar property di Bali, bukan?” Bapak itu menatap Edie ragu-ragu. “Saya sangat menikmati seminar itu dan…apakah saya salah? Sekilas memang tampak mirip tapi…”Jasmine dan Edie berpandangan. Jasmine mengangkat alisnya dan tersenyum. Sementara Edie merasa kakinya terasa mengambang diatas tanah.“Maaf, sepertinya bapak salah orang,” kata Jasmine menjawab ramah. “Dia bernama Edie. Bukan.... Edward.”“Oh, maaf kalau begitu.” Bapak-bapak itu pun berpamitan dan pergi.“Wah.... Edward? Apakah kau mirip orang bule?”Edie berdeham dan meminum air putihnya hingga tandas. Ia tersenyum kecut. Sementara Jasmine memperhatikan bapak-bapak yang duduk di meja tidak terlalu jauh dari mereka.“Kurasa kau benar-benar mirip dengan orang yang dimaksud bapak itu. Dia melihat kemari terus. Ah, aku tidak bi
“Apa ibu sudah baikan? Kenapa kau malah mengajaknya kemari? Ini bahkan sudah hampir tengah malam,” kata Jasmine saat menyiapkan minuman bersama Julia untuk mereka semua.Edie langsung mengantarnya pulang begitu ia selesai menerima telpon dari Julia. Lelaki itu mampir sebentar untuk menyapa ibu dan Julia sebelum berpamitan, memberi kesempatan Jasmine untuk bersama keluarganya.“Ibu yang mengajak kemari. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin dia minta diantar kesini. Hanya saja aku baru bisa mengantarnya hari ini. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu.”Jasmine menatap kakaknya kaku, “Ada masalah apa?”“Akhir-akhir ini ibu tidak bisa tidur dengan baik, Jasmine. Setelah kau pergi Ibu sering berdiam diri dan melamun. Sepertinya banyak yang difikirkannya. Tapi ibu tak mau cerita apapun pada kami.” Julia menghela nafas panjang. “Tak perduli bagaimanapun ketidakcocokan kalian, kau tetap anaknya.
“Ini hampir tengah malam, kenapa mama ada disini?” tanya Edie, saat menemukan ibunya tengah duduk diruang tengah sambil memindah-mindah channel televisi.“Kau bersama perempuan itu?”Tanpa mengatakan apapun, Edie masuk kekamarnya untuk melepaskan soft lensnya dan menggantinya dengan kaca mata minus. Ia juga mengganti kemejanya dengan kaus sebelum keluar lagi.“Mama ingin minum sesuatu?”“Kau menyukainya?”Edie menghela nafas panjang. “Bukankah papa mengajak mama tinggal di Amerika lagi?”“Kau akan meninggalkan dia bukan?”Edie tidak menjawab.“Katakan kau akan meninggalkan dia!”Edie masih membisu. Malam ini ia berhasil membuat gadis itu tersenyum, membuatnya tertawa. Dan demi apapun ia ingin lebih lama lagi membuat gadis itu tertawa dan bahagia. Ia benar-benar tidak siap melihat gadis itu menangis lagi.
Edie tidak perlu mendengar apapun. Hanya dengan melihat raut wajah Jasmine saja ia tahu apa yang telah menimpanya. Wajah gadis itu benar-benar memutih. “Tolong bilang ini tidak seperti yang aku pikirkan,” bisik Jasmine. Sesaat ia tampak kebingungan, saat berikutnya antisipasi dan teror memenuhi pancaran dimatanya.“Jasmine…” Edie maju selangkah, berusaha meraih Jasmine. Namun gadis itu dengan cepat mundur.“Siapa kau?” suara Jasmine pecah. “Siapa kau?!” “Siapa, Edward?”Suara terkesiap terlontar dari tenggorokan Jasmine saat matanya bersiborok dengan wanita yang muncul di belakang Edie. Seperti melihat hantu, Jasmine semakin jauh melangkah mundur.“Jasmine...”Edward mengulurkan tangannya, namun sesuatu dari gerakan Jasmine menghentikan dirinya. Gadis itu benar-benar ketakutan.“Kau … Edward? Kalian…&rd
Entah sudah berapa lama Jasmine menangis dalam kegelapan malam. Ia menghentikan mobilnya begitu saja ditepi jalan tanpa tahu dimana dirinya dan melanjutkan tangisannyaKenapa malam yang berawal dengan indah berakhir dengan begitu menyakitkan? Edie, Edward… ya Tuhan.Akmal beberapa kali menyebutkan nama adiknya yang tinggal diluar negeri waktu itu, namun belum sekalipun ia bertemu dengannya. Ia tak pernah menduga kalau anak SMU lugu yang datang kerumahnya delapan tahun yang lalu itu adalah Edward.Sekarang ia mengerti kenapa Edie tidak suka membicarakan kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Awalnya Jasmine mengira Edie berasal dari keluarga broken home. Sekarang ia baru tahu kalau Edie memang tidak bisa menceritakan keluarganya tanpa ketahuan jati dirinya.Dan bagaimana dengan kencan mereka? Semuanya terasa begitu manis hingga nyaris menyakitkan.…kalau aku membuat kesalahan besar. Kesalahan yang sangat besar
Edie mencengkeram kemudi mobil hingga buku-buku jarinya memutih, “Sebaiknya kau tidak mengatakan hal-hal yang akan kau sesali.”“Yang paling kusesalkan adalah membiarkanmu masuk dalam hidupku!” jerit Jasmine. Ia mengusap rambutnya dengan gusar.Jasmine memutar tubuhnya sejauh mungkin, mengangkat kedua kakinya dan menatap keluar jendela. Dengan kesal ia mengusap matanya yang kembali berair. Ia sudah menangis selama tiga hari tiga malam, kenapa air matanya belum kering juga?Edie mengawasinya dengan sendu. Ia tahu masalah ini tidak akan bisa dilewati Jasmine dengan mudah. Tak ada hal apapun yang bisa membuat masalah ini menjadi lebih mudah. Tak ada yang bisa menghindarkan Jasmine dari rasa sakit hati yang amat sangat.Selama delapan tahun ia mengemban misi dari ibunya untuk membalaskan dendam putra kesayangan keluarga mereka pada wanita yang telah menyakitinya. Sebuah misi yang sangat sulit mengingat ia nyaris lan