Suara pekikan riuh rendah membangunkan Jasmine dari tidurnya yang nyenyak. Jasmine meraba-raba dan menemukan hapenya diatas meja. Ia memaksa dirinya membuka mata untuk melihat jam. Sudah jam enam lewat!
Jasmine menggeliat dan duduk. Perlahan ia membuka matanya. Ia sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu. Biasanya jam berapapun ia tidur ia akan selalu terbangun jam empat pagi dan ia tidak akan bisa tidur lagi.
Jasmine merapikan rambutnya dan tertegun. Bukankah semalam ia tidur ditaman belakang? Mata Jasmine benar-benar terbuka sekarang. Bagaimana ia bisa terbangun dikamarnya?
Kening Jasmine mengernyit, apa ia berjalan sambil tidur ke kamarnya?
Atau perbincangannya dengan Edie semalam hanya mimpi?
“Itu bukan mimpi,” gelengnya.
Lalu bagaimana ia bisa tidur dikamarnya? Jasmine berfikir dan sebuah kilasan ingatan samar berkelebat dalam benaknya. Seseorang mengangkat dan menggendongnya. Dan ia mengalungkan kedu
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.” “Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaima
Delapan tahun yang lalu…Jasmine berusaha keras mengusap kaca helmnya dengan sia-sia. Hujan begitu deras sore itu, hingga Jasmine nyaris tak dapat melihat jalan didepannya dari balik kaca helmnya. Hujan bercampur angin terus mengguyur mulai siang hari hingga sore hari, membuat udara begitu dingin. Jas hujannya benar-benar tidak mampu melindungi dirinya dari derasnya air dan dinginnya angin. Ia hanya ingin secepatnya tiba dirumahnya dan membuat teh panas. Kemudian ia akan bergelung dibawah selimutnya yang tebal sambil menonton tivi.Hanya membayangkan itu saja sudah menambah semangatnya dan ia memacu motornya lebih kencang lagi. Perjalanan dari kantor ke rumah yang biasanya bisa ia tempuh dalam waktu dua puluh menit kini menjadi hampir satu jam karena ia harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati. Ia benar-benar merasa lega ketika akhirnya ia berbelok memasuki halaman rumahnya. Tanpa berhenti ia langsung mengendarai motornya naik keteras rumahn
Dari balik pintu kaca lebar yang memisahkan dapur dan taman belakang, Edie memperhatikan Jasmine yang tengah menyiram bunga. Tangannya memegang selang dan mengarahkan ke sebuah pot bunga namun airnya meluber kemana-mana. Untuk kesekian kalinya, Edie terpaku pada punggung yang tampak kecil dan rapuh itu. Setiap kali itu pula, ia tak pernah lupa bagaimana luka-luka itu berada disana.Ia telah sangat-sangat ceroboh dengan jatuh cinta pada wanita ini. Mengabaikan logikanya, ia menyerobot masuk kedalam hidupnya begitu ada kesempatan. Ia tahu ini salah, tapi ia sungguh tidak mampu menahan dirinya.Mengetahui bahwa Jasmine membalas perasaannya—yah ia mendapatkan peringkat terbaik di universitas Indonesia bukan karena ia bodoh. Ia tahu saat gadis itu mulai menyukainya sebagai lelaki. Ia tahu dengan pasti kapan Jasmine mulai menatapnya dengan tatapan seorang wanita pada seorang pria. Sebagaimana ia juga tahu bagaimana Jasmine berusaha keras untuk mengenyahka
“Masuklah.”Edie membuka pintu kamar Joana dan melangkah masuk. Wanita itu sedang duduk di sisi tempat tidur, menghadap langsung kearahnya. Ia melambaikan tangannya, menyuruh Edie duduk disatu-satunya kursi kayu yang ada di kamar itu. Aroma minyak kayu putih dan obat-obatan menguar diseluruh penjuru kamar.Sekilas Edie melihat meja nakas yang berada disisi tempat tidur Joana. Ada sebuah kotak plastik berwarna putih dimana disana ada banyak sekali obat-obatan.“Ibu memanggil saya?”“Apa kau benar-benar mencintai Jasmine?” tanya Joana tanpa menjawab pertanyaan Edie.Edie mengangguk kecil, “Ya.”“Dia bilang tidak berhubungan denganmu.”Edie berfikir, apakah akan baik-baik saja dia mengatakannya sekarang? “Sebenarnya saya yang menyukainya terlebih dahulu.”“Dia atasanmu.”“Ya, saya tahu.”“Bagaiman
Ada beberapa orang yang tidak berubah. Sultan adalah salah satunya. Ia masih tetap terlihat gagah dan tampan seperti saat mereka masih SMU. Untuk seorang lelaki kulitnya tampak sangat halus dan terawat. Seperti dulu, ia juga masih mengenakan baju dan sepatu mahal. Kemejanya digulung hingga ke siku, memperlihatkan jam tangan merk mahal yang harganya hingga puluhan juta. Satu-satunya yang berubah darinya adalah pertambahan usia yang membuatnya tampak lebih dewasa.Profesinya sebagai seorang dokter sekaligus kepala Rumah Sakit hanyalah membuat pamornya sebagai calon suami ideal menjadi setinggi langit.“Kau terlihat cantik, Jasmine,” kata Sultan setelah basa basi dengan menanyakan kabar masing-masing.Jasmine tersenyum canggung. “Terima kasih. Jadi, bagaimana kondisi ibuku?”“Yah, kurasa akan baik-baik saja selama ibu tidak melewatkan obatnya. Juga akan sangat membantunya jika ibu mau lebih santai dan tidak t
Sambil tetap menelpon Jasmine berlari kearah pasar minggu yang berada sekitar satu kilometer dari rumahnya. “Kemana sih? Kenapa tidak mengangkat telpon?”Jasmine mengedarkan pandangannya mencari-cari diantara lalu lalang orang-orang yang ramai.Ia kembali berlari-lari kecil sambil berusaha menelpon Edie. Apa yang dikatakan ibunya pada Edie? Jasmine memejamkan matanya, ia bahkan bisa membayangkan apa saja yang akan dikatakan ibunya pada Edie. Apa Edie akan tersinggung dan marah?Ia tak pernah melihat Edie marah hingga akhir-akhir ini. Setelah peristiwa di hotel itu, ia beberapa kali melihat Edie menunjukkan emosinya. Dan berbarengan dengan itu, emosi dihati Jasmine juga mulai jungkir balik tidak keruan.Jasmine terus berlari hingga ia sampai di taman bermain anak-anak. Disalah satu bangku batu bata yang terdapat disisi taman, Edie tampak duduk dan menatap serius pada pasangan muda dengan dua orang anak kecil yang tengah main