~Sosok yang ia rindukan selama ini, ternyata menyimpan luka dan duka mendalam demi kebahagiaannya~
***
Si sopir itu hanya pasrah. Ia menahan rasa sakit bekas pukulan Pengacara Bahrun.
"Itu teguran untuk tidak bersikap semena-mena terhadap pelanggan. Faham?"
"Iya, maafkan saya. Kalau begitu, saya pamit pulang." Dengan muka sendu, si sopir membuka pintu mobil. Dan menyalakan mesinnya. Amanda menatapnya tak tega. Ia kemudian menghentikan mobilnya. Pengacara Bahrun kaget dengan keputusan Amanda yang sepihak.
"Kita harus menghargai pertolongan orang lain," ujar Amanda pada Pengacara Bahrun. Si sopir itu tersenyum. Ia mengizinkannya masuk ke mobil maka ia pun masuk. Pengacara Bahrun masih dalam tatapan nanarnya.
"Mas
~Ketika seseorang terjatuh dalam masalahnya, menangis adalah luapan emosinya dan merenung adalah solusi ketenangannya~ ***Pengacara Bahrun menenangkan Amanda dan memintanya langsung keluar saja ke kantor polisi. Amanda masih menangis dalam pelukannya. Ia tak tahu harus bagaimana menghiburnya."Manda, yang sabar ya...doakan saja semoga mama kamu cepat dikeluarkan dari penjara," katanya menenangkan.Ia lebih memilih menunggu taksi offline. Takutnya kalau dia memesan taksi online, si sopir itu malah yang nongol.Setengah jam berlalu, taksinya datang. Pengacara Bahrun perlahan memapahnya masuk ke dalam mobil. Ia kemudian duduk di sampingnya. Mobil berjalan menyapu jalanan yang pada saat itu memang tidak terlalu macet.
~Perkataan seseorang lebih tajam ketimbang perkataan diri sendiri. Lalu, mana yang lebih engkau prioritaskan?~ ***Psikiater prihatin melihat kesedihan Roy. Perawat yang berjaga di belakang para pasien segera memberikan suntik obat bius. Sedang perawat yang lainnya, membawa pasien ke kamarnya agar tidak ketakutan melihat keadaan Sinta. Psikiater itu menuntun Roy ke ruangan pribadinya. Ia tampak terpukul melihat keadaan Sinta semakin hari semakin tidak keruan."Aku tau Roy, kau pasti sedih melihat ibu Sinta selalu diwarnai kecemasan. Kau sabar saja. Lambat laun, ibumu akan mengetahui kebesaran hatimu," kata Psikiater menenangkan hatinya."Sampai kapan, dok? Dari dulu ibu lebih menyayangi Juna karena memang aku in
~Dia datang dalam mimpi. Bertemu keesokan hari. Berdebar di kemudian hari. Apakah ini namanya jatuh hati meski hanya pertemuan dini~ 🥀🥀🥀Senja memancarkan warnanya di pelupuk langit. Menghias suasana menjadi membukit. Merekam momen yang sudah lama belum bangkit. Berdebar menyaksikan saat ini. Mungkin suatu saat terbiasa memandang seperti ini.Gadis yang rambutnya tergerai berkilau. Harum memukau. Meratapi kehidupan demi pendidikan dengan merantau. Sambil mendorong pelan tas koper, ia langkahkan kaki menebar asa dan doa. Melepas ketegangan berupa keikhlasan. Ia siap menjalani hari-hari menjadi seorang Detektif. Menghimpun masalah, melacak, bahkan membuktikan dengan cara yang signifikan.
~Tatapan matamu mengartikan sebuah rasa. Kedekatan pada pandangan pertama itu, membuktikan kaulah masa lalu dalam mimpiku~ 🥀🥀🥀Makanan sudah disiapkan Mama sejak pagi buta sekali. Menu nasi goreng sudah menjadi andalan khas bagi keluarga Nadif. Baiklah, di meja makan hari ini, Amanda siap memperkenalkan keluarga besar yang jumlahnya tidak besar.Yang duduk di samping Amanda adalah Mamanya yang bernama Hamidah. Dia adalah wanita mandiri yang berkarir. Dia sudah melengkapi pendidikannya sebelum menikahi Papanya, Nadif. Lulus SMA, ia mengemban pendidikan di Universitas Wijaya dengan jurusan psikolog. Sikap bijaksananya membuktikan bahwa ia sudah pantas menjadi ibu sejati. Setelah lulus sarjana, ia memilih meniti karir di dunia periklanan dan model. Hebatnya lagi menjadi Brand Ambassador Glowing Skincar
~Pertemuan yang tidak sengaja ternyata sudah disengajakan oleh mimpi lewat perjalanan yang bukan kita impi~ 🥀🥀🥀 Setengah jam setelah perjalanan, mereka sampai di kantor Detektif Swasta. Sebelum masuk, Amanda menyalami tangan Papa berpamitan kemudian masuk ke kantor. Amanda disambut hangat oleh para kolega. Melambai tangan menebar senyum penuh semangat. Amanda masuk ke ruang pribadinya. Membuka laptop kerjanya hendak menyimpan segala bukti real berupa foto dan vidio saat di lapangan.Suara ketukan pintu terdengar. Amanda mengizinkannya masuk. Ternyata teman seperjuangannya, Alifa."Amanda, kita ada diskusi mendadak mengenai pelatihan pemula Detektif.""Oh ya terima kasih atas pemberitahuannya."Amanda d
~Termaktub indah kisah cinta yang menarik, penuh intrik dan berkarismatik. Bermodalkan pertemuan mimpi itu, cinta mereka berkembang menjadi nyata~ 🥀🥀🥀"Apa urusannya sama Kakak?" Ketus Arafa menutupi sesuatu."Arafa, pacarmu itu dituduh, jadi tolong bantu pacarmu," tegas Amanda menghadapi keangkuhan adiknya."Baik, baik, iya Kak. Roy terlibat dalam kasus kematian Bruno. Puas?" Jawaban yang menyakiti. Tanpa perasaan, dia menutup laptopnya, meletakkannnya di atas meja kemudian merebahkan tubuhnya tidur. Amanda hanya bisa menghela napas panjang. Pikiran Amanda tidak tenang. Takut Arafa terjadi sesuatu sete
~Masa lalu bergulir merangkai realita yang ada. Masa depan menjadi bayang-bayang mimpi semata~ 🥀🥀🥀Pulang ke rumah, Pengacara Bahrun tidak langsung mampir. Ia memutuskan langsung pulang karena takut orang tuanya khawatir. Amanda hanya menurut saja dan mengucapkan terima kasih padanya. Masuk rumah, Papa dan Mama nampak mesra menonton televisi."Aku pulang Ma Pa," seru Amanda. Ia langsung bersalaman pada mereka."Tumben pulang awal," ujar Papa."Iya Pa. Pekerjaanku hanya menyelidiki kasus kematian Bruno.""Amanda, sampai kapan kau menyelidiki masalah orang lain," sahut Mama.
~Apa yang kau inginkan pasti ada alasan tapi bagaimana dengan menginginkan tanpa ada alasan seperti aku ingin kau menjadi milikku~ ***"Kkk...kau..."Roy datang kembali. Memakai jas Detektif Jack's Angels. Amanda masih tak menyangka yang ada di depannya adalah Roy."Iya. Boleh aku duduk disini?"Mata Amanda masih terpaku. Syukurlah, Alifa selesai ke toilet. Ia juga ikut kaget melihat seorang pria yang sudah berani menduduki kursinya. Ia tidak bisa diam. Dengan cekatan, ia langsung mejewer telinga Roy."Siapa kau berani duduk di sebelah sahabatku." Celoteh Alifa dengan suara cemprengnya. Para kolega terbangun dan merasa terganggu dengan suaranya. Mereka dengan seksama melihat Alifa menjewer telinga seorang pria. Roy malu dibuatnya."Eh, iya iya aku duduk di belakang." Roy akhirnya berdiri."Tidak muat." Jutek Alif