Beranda / Romansa / Lebih dari selamanya / 2. Pandangan pertama

Share

2. Pandangan pertama

~Tatapan matamu mengartikan sebuah rasa. Kedekatan pada pandangan pertama itu, membuktikan kaulah masa lalu dalam mimpiku~

                           🥀🥀🥀

Makanan sudah disiapkan Mama sejak pagi buta sekali. Menu nasi goreng sudah menjadi andalan khas bagi keluarga Nadif. Baiklah, di meja makan hari ini, Amanda siap memperkenalkan keluarga besar yang jumlahnya tidak besar.

Yang duduk di samping Amanda adalah Mamanya yang bernama Hamidah. Dia adalah wanita mandiri yang berkarir. Dia sudah melengkapi pendidikannya sebelum menikahi Papanya, Nadif. Lulus SMA, ia mengemban pendidikan di Universitas Wijaya dengan jurusan psikolog. Sikap bijaksananya membuktikan bahwa ia sudah pantas menjadi ibu sejati. Setelah lulus sarjana, ia memilih meniti karir di dunia periklanan dan model. Hebatnya lagi menjadi Brand Ambassador Glowing Skincare. Sudah cantik, model juga pekerja keras pula.

Bagaimana Papa tidak bisa klepek-klepek sama Mama. Begitulah Perumpamaan Amanda terhadap mereka. Setelah menikahi Papa, Mama lebih fokus mengurus kedua anaknya, Amanda dan Arafa.

Yang di depan Amanda adalah Papanya, Papa Nadif. Dia pun sama sudah pernah melewati masa-masa mudanya dengan mengenyam banyak pendidikan. Lulus SMA, dia mengemban pendidikan yang sama dengan Mama. Tapi Papa lebih memilih jurusan Hakim. Lulus sarjana, Papa masih belum bosan untuk tetap melanjutkan pendidikannya ke S2. Itupun jurusannya juga masih tetap, jurusan Hakim. Begitu seterusnya sampai mendapatkan pekerjaan Hakim tetap di Mahkamah Agung Jakarta.

Waktu itu, saat Mama masih kuliah, pertemuan mereka sungguh unik. Salah satu teman mahasiswa Papa pernah melapor ke kantor polisi bahwa Mama pernah mencuri barang berharga di kampus. Mama tidak mengaku. Malah dia melaporkan temannya telah menfitnah laporan itu. Keadaan semakin runyam, akhirnya pihak polisi melakukan persidangan. Berbagai bukti telah diserahkan pada ketua hakim di pengadilan yang pada saat itu, ketua hakimnya adalah Papa.

"Menurut bukti yang Terdakwa serahkan, sudah menandakan bahwa terdakwa tidak bersalah," kata Papa menerima bukti yang Mama serahkan berupa cctv dan satpam sebagai saksi.

"Tapi Pak Hakim, semua sudah jelas. Dan saya punya buktinya."

"Coba serahkan dan jelaskan semuanya." Teman Mama menyerahkan bukti berupa buku kecil. Papa membukanya. Mendadak ekspresi Papa terkejut membaca buku kecil tersebut.

"Apa maksud buku ini?" Papa merasa tegang.

Teman Mama membuktikannya dengan membaca keras isi buku kecil tersebut.

"Baik, akan saya bacakan."

Mama ikut tegang mendengarnya seperti curiga dengan perilaku temannya itu.

"Di hampanya hamparan hatiku, tertulis namamu. "

Mama terbelalak. Dengan rona pipi memerah, ia hanya bisa terdiam terpaku.

"Terketuk Palu pertanda berdetak kencang jantungku. Wajah berkarisma dan tubuh gagah, menciptakan mimpi ingin selalu bersamamu. Hidupmu memilih untuk kepastian. Sama seperti diriku menunjukkan jati diriku yang apa adanya. Kau dan aku bagaikan bunga dan lebah sama-sama membutuhkan satu sama lain. Itulah chemistry kita dalam simbiosis mutualisme. Maka, sebut Hamidahmu seperti aku menyebut Nadifku."

Para Tamu yang menghadiri persidangan bertepuk tangan saling bersahut siul. Mereka sama-sama berdebar mendengarkan puisi hasil karya Mama.

"ini maksudnya apa?" Papa semakin tegang.

"Betulkan, Pak Nadif. Hamidah memang telah mencuri barang berharga di kampus. Dan barang berharganya adalah Pak Nadif."

Mereka dibuat saling merona.

"Terima...terima..." Para tamu kompak menyetujui cinta mereka.

Dari cerita cinta mereka sebenarnya sudah lama memendam rasa tapi tak tahu bagaimana bisa mengadili perasaan itu sendiri karena sudah seringnya mereka tidak komunikasi. Bisa komunikasi itupun kebetulan saat mendapat pekerjaan yang sama.

Dalam persidangan itu, Papa akhirnya memutuskan melamar Mama. Dengan tiga ketukan palu, cinta mereka sah dan tinggal menunggu kepastian tanggal pernikahannya.

N

itulah seulas kisah asmara antara Papa dan Mama.

Yang di samping kiriku adalah adikku namanya Arafa. Dia anak yang paling bandel dan malas kalau disuruh sekolah. Masih untung dia mendapat uang dari orang tua. Tidak susah payah mencari pekerjaan. Cukup belajar dengan rajin membuat Mama dan Papa bangga. Kenakalannya terbilang wajar dialami remaja masa kini. Tidak mengerjakan PR, tidur di kelas, kabur ke kantin pada saat jam kosong, gemar tidak mengerjakan tugas sekolah, yang paling parah, ia kepergok sedang pacaran di luar sekolah ketika jam pelajaran matematika yang dibencinya. Sudah capek Mama dan Papa datang ke sekolah mendapat kabar kalau dia dihukum diskors selama satu bulan. Sudah terlalu lama Arafa dimanja dengan segala apa yang mereka punya.

Hingga pada suatu hari, Arafa dipindahkan ke sekolah yang lebih ketat. Perilakunya masih tetap saja seperti itu.

"Sampai kapan kau seperti ini Arafa?" kemarahan Mama saat menjemput Arafa dan dipanggil lagi kepala sekolah agar selalu memantaunya.

"Aku maunya sama Roy. Dia segalanya bagiku Ma."

"Kalau mau sama Roy, ajak dia ke rumah. Mama mau ketemu sama dia."

Habis sudah riwayat Arafa. Roy yang selama ini ia cintai, bukan laki-laki sembarangan. Sampai saat ini, Arafa sama sekali belum mengajak Roy ke rumah. Itu yang membuat Mama semakin yakin laki-laki itu pengecut jika tidak mau serius dengan Arafa.

Itu juga ulasan kisah cinta Arafa. Bagaimana dengan Amanda?

Amanda juga sama seperti orang tuanya dulu. Menerima cinta dalam diam dan lebih mengorbankan pendidikan. Pendidikan lengkap sampai sarjana dan menjadi Detektif yang dibilang masih junior dan dalam tahap proses penetapan pekerjaan. Jadwal penyelidikan kasus kematian Bruno dilakukan hari ini.

"Kau hari ini ada jadwal penyelidikan?" Tanya Mama menuangkan nasi ke piring Papa.

"Iya Ma. Kasus Bruno yang ditemukan meinggal di sekitar sungai polo."

"Jadi detektif seru kali ya kak?" Arafa menyahut.

"Kalau mau jurusan itu, belajar yang rajin." Amanda membalasnya dengan teguran.

"Malaslah. Aku mau jadi model saja seperti Mama."

"Kalau mau jadi model, juga harus belajar," jawaban Mama yang sama dengan Amanda. Arafa dibuat bete sesaat.

"Iya, Arafa. Bentar lagi kau lulus SMA, harus memikirkan akan lanjut kemana." Papa menyetujui pendapat Mama.

"Aku mau menikah sama Roy, Pa." Arafa menjawab dengan enteng.

"Memangnya menikah itu mudah? bermesraan, bercanda ria, begitu? Menikah itu tidak hanya modal cinta." Papa menasehati.

"Dengerin tuh, semua itu butuh duit." Amanda menegaskan nasehat Papa.

"Arafa berangkat sekolah." Arafa menggebrak sendoknya ke meja. Tanpa pamit, ia menggendong tasnya dan langsung keluar. Mama, Papa dan Amanda hanya bisa bersabar menghadapi sikap keras kepalanya.

Sudah dirasa cukup memenuhi sarapan kali ini, Amanda berpamitan pada Mama untuk menjalankan tugasnya sebagai Detektif. Ia mencium lembut tangan Mama. Menebar senyum meninggalkannya. Ia berangkat ke kantor naik mobil milik Papa yang kebetulan arah mereka sama. Papa menghidupkan mesin. Mobil berjalan dengan kecepatan rata-rata.

Dalam perjalanan, Amanda masih memikirkan Arafa. Penasaran dengan latar belakang Roy yang sampai saat ini masih mengejarnya dan membuatnya menjadi buta akan rasa cintanya. Sebagai Detektif, ia perlu menginvestigasi kasus adiknya sendiri.

                          🌨🌨🌨

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status