~Apa yang kau inginkan pasti ada alasan tapi bagaimana dengan menginginkan tanpa ada alasan seperti aku ingin kau menjadi milikku~
***
"Kkk...kau..."
Roy datang kembali. Memakai jas Detektif Jack's Angels. Amanda masih tak menyangka yang ada di depannya adalah Roy.
"Iya. Boleh aku duduk disini?"
Mata Amanda masih terpaku. Syukurlah, Alifa selesai ke toilet. Ia juga ikut kaget melihat seorang pria yang sudah berani menduduki kursinya. Ia tidak bisa diam. Dengan cekatan, ia langsung mejewer telinga Roy.
"Siapa kau berani duduk di sebelah sahabatku." Celoteh Alifa dengan suara cemprengnya. Para kolega terbangun dan merasa terganggu dengan suaranya. Mereka dengan seksama melihat Alifa menjewer telinga seorang pria. Roy malu dibuatnya.
"Eh, iya iya aku duduk di belakang." Roy akhirnya berdiri.
"Tidak muat." Jutek Alifa.
"Muat kok aku kurus." Roy melihat tempat duduk paling belakang ternyata sudah penuh. Salah satu dari mereka yang berkaca mata melambaikan tangannya dan menyapanya dengan kalimat Hay. Roy menyeringai.
"Aku sudah bilang, ini sudah sesuai anggota. Lagian untuk apa kau ke bus ini? Salah bus? Dan kau mengenal Amanda?" Alifa nyerocos sampai Roy tak kuasa menjawabnya satu persatu.
"Aku mau daftar." Kata Roy menyimpulkan jawabannya.
"Mas, ini masih tanggal merah. Hari libur kami." Roy kebingungan menjawab apa. Berkali-kali ia memandang Amanda namun, ia cuek dan terus menatap jendela bus.
"Baiklah, kalau tidak ada tempat duduk buat aku, biar aku duduk di tempat yang lebih sejuk." Roy berharap Amanda menahannya pergi. Namun, ia tetap cuek. Alifa segera membersihkan tempat duduknya dan duduk dengan tenang. Sudah dilihatnya tenang, Pak Sopir melajukan busnya. Usut punya usut, seisi bus mengira kalau Roy benar-benar pergi nyatanya ia kekeh berjuang naik bus itu sampai-sampai rela duduk di atas bus.
"Yuhuuu....sejuk sekali disini..." Teriak Roy menyindir Alifa. Seisi bus langsung heboh dengan tingkah konyolnya.
"Menyebalkan sekali." Gumam Amanda menggertakan giginya sebal.
Ia terus bernyanyi tidak jelas di atas bus. Menghebohkan dirinya sendiri sampai orang-orang di pinggir jalan mengiranya dia orang gila.
Tiba di pantai Ancol, Roy bersemangat turun dari atas bus. Menbukakan pintu bus layaknya sudah pantas menjadi Kernet bus. Satu-persatu mereka turun menatapnya dingin. Roy bersikap bodo amat dan menunggu Amanda turun. Amanda sudah tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia pun segera turun. Mereka saling bertemu. Bertatap mata. Saat itulah, Amanda menyadari bahwa tatapan itu bukan milik Roy melainkan pria yang ada dalam mimpinya. Ya. Arjuna.
"Kau sama seperti dulu selalu bersikap dingin di hadapanku." Kata Roy menegaskan.
"Roy, kenapa kau mengikutiku?" Roy tidak menjawab. Ia terus menatap wajah Amanda. Kemudian tersenyum mendengus. Amanda mengernyitkan dahi heran.
"Sampai sekarang aku menyukai sifat dinginmu itu." Roy tersenyum menggoda. Amanda jadi semakin kesal. Para kolega yang melihatnya tak menyangka selama ini Amanda disukai pria romantis seperti Roy. Mereka menjadikan ini sebuah tontonan.
Roy meraih tangannya. Amanda dengan kesal menolak tangannya. Ia berharap dia kesal dengan sikap dinginnya. Malahan, dia tersenyum-senyum.
"Dasar gila." Umpat Amanda. Roy terus memandanginya. Risih dengan sikapnya dan ditonton teman-temannya, Amanda lebih memilih pergi tak mempedulikan sikap tidak jelasnya itu. Alih-alih, Roy semakin gemas dengan sikapnya. Justru ia mengambil kesempatan meraih tangannya dan menghentakkan badannya. Mereka terperangkap dalam lubang tatapan semakin dekat. Amanda tak bisa berkutik. Tangan kiri Roy memegang dinding bus menahannya pergi. Ia terperangkap dalam degup jantung semakin keras. Sesekali melihat teman-temannya terbawa melihat adegan mereka.
"Tatap wajahku selama ini, Amanda. Rasakan bawa kita pernah memiliki cinta."
Amanda mencoba menatapnya lama. Mengingat sepuluh tahun yang lalu pernah merasakan detak jantung yang sama. Berhadapan dengan pria yang sama. Pria tengil, menyebalkan, memiliki sifat kekanak-kanakan, adalah masa lalunya.
"Kemanapun kau pergi, aku akan terus mengejarmu meski kau ada di mars sekalipun." Kalimat Roy yang sengaja diucapkan sepuluh tahun yang lalu.
Amanda membalasnya dengan tersenyum licik. Ia menurunkan tangan Roy dengan perlahan.
"Jangan membuang waktumu untuk hal konyol seperti ini."
Roy tertegun, "itu juga jawabanmu sepuluh tahun yang lalu."
Amanda mengacuhkan perkataannya. Ia menatap sinis di hadapan para kolega.
"Ayo mendirikan tenda." Agatha menyelimur. Membubarkan mereka untuk segera mendirikan tenda sebelum senja menjemput malam. Mereka berbondong-bondong mengambil koper di bagasi. Amanda dengan gontai meninggalkan Roy. Ikut berpartisipasi mendirikan tenda bersama Alifa. Sekitar ada sepuluh tenda yang mereka dirikan. Lima untuk kolega wanita. Limanya lagi untuk kolega pria.
Salah satu pria sebut saja namanya Elang. Dia membuat api unggun di tengah-tengah tenda. Malam akan semakin berkarisma dengan kehadiran api unggun berlampionkan bintang. Roy merelakan dirinya membantu Elang membuat api unggun.
"Kau mengenal Amanda?" Bisik Elang takut Amanda kedengaran.
"Iya dia cinta pertamaku sepuluh tahun yang lalu..."
"Tapi, kenapa dia tidak mengenalmu?"
"Biasalah dia sangat pemalu."
"Pemalu? Dia ternyata punya malu juga. Menurutku, dia itu...." Elang melirik Amanda yang sedang merapikan tenda yang ada di dalam, takut dia mencurigainya. Kemudian berbisik ke telinga Roy, "Penyihir. Sangat menyeramkan."
Roy justru menertawakannya. Para kolega langsung menatap Roy heran. Amanda menatapnya curiga.
"Kau tidak tau?" Roy balas berbisik, "dia menolak perasaanku dengan berbagai cara, contohnya, menampar pipiku, menendang pantatku, tapi..." Roy sengaja membuatnya penasaran dan membuat Amanda semakin curiga.
"Tapi, apa?" Elang berbisik semakin penasaran.
"Menggigit bibirku."
"Apa???" Elang berteriak terkejut. Para kolega menatap mereka lagi. Amanda mengernyitkan dahi penasaran.
"Lebih menyeramkan?"
Tak bisa menghindari rasa penasaran, Amanda menghampiri mereka dengan wajah mistisnya itu. Elang langsung menjauh. Bersembunyi di belakang Roy.
"Kalau mau kerja yang serius jangan bercanda terus." Pekik Amanda dengan tatapan menyeramkan.
"Aku suka tatapanmu yang itu." Roy menggoda. Amanda tak mempedulikan. Ia kembali lagi ke tendanya.
"Hei, apa yang kau suka dari wajah nenek sihir itu?" Elang sampai heran Roy bisa tergila-gila dengan wanita menyeramkan itu.
"Semakin dia menyeramkan semakin aku yakin dia itu menggemaskan."
Elang hanya bisa menganga.
Di tenda, Alifa juga membahas kedatangan Roy yang mengaku mengenal Amanda sepuluh tahun yang lalu.
"Sudahlah. Dia itu pria aneh. Tidak perlu percaya sama pria berhidung belang." Ketus Amanda.
"Dari tatapannya dia seperti tulus mencintaimu." Alifa bisa mengartikannya.
"Jangan sok tahu. Tidur saja." Amanda terburu-buru merapikan tempat tidur. Merebahkan tubuhnya, menarik selimut karena udara pantai semakin malam semakin dingin.
Sekitar satu jam mereka selesai mendirikan tenda. Beristirahat di dalam tenda masing-masing. Jam tangan Amanda menunjukkan pukul sebelas. Ia tak bisa tidur. Maka, ia lebih memilih keluar melihat pantai yang tenang airnya. Bintang yang tetap merona di pelukan langit. Meski sudah memakai jaket, udara dingin tetap saja menggelitik tubuh. Seseorang tiba-tiba mengalungkan shall di lehernya. Seperti yang terjadi dalam mimpinya. Apakah ini mimpi?
Amanda menoleh ke bekalang. Lagi dan lagi Roy datang dengan senyum sok manisnya. Ia duduk di sampingnya.
"Kenapa belum tidur? Udara di pantai sangat dingin." Tutur Roy dengan tatapan penuh arti. Amanda menatapnya sangsi.
"Kenapa kau terus mengejarku? Haruskah aku memilihmu lalu mengabaikan perasaan orang lain?"
"Kau pernah menginginkan barang yang kau impikan?"
Amanda terus menatapnya. Mencoba memahami karakter dan perkataannya.
"Pasti kau sudah mendapatkannya. Sama seperti aku yang menginginkanmu menjadi milikku."
"Kau percaya takdir?" Amanda balik bertanya.
Roy mengangguk tersenyum.
"Kalau kau percaya, maka takdir mengizinkanmu untuk melupakan aku. Jadi, jangan temui aku lagi."
"Aku suka jawabanmu yang terus menolakku."
"Apakah kau tidak memikirkan adikku yang tergila-gila padamu? Kenapa kau memblokir nomornya? Sudah tidak cinta lagi?" Amanda tersenyum licik.
"Kau masih tidak memahami kedatanganku?"
"Bukan masih, tapi tidak lagi."
"Kenapa?"
"Kau juga tidak memahami perkataanku."
"Bukan tidak, tapi sangat."
"Kau yang tidak memahami betapa adikku sangat mencintaimu. Dia menangis seharian karena kau tidak memberinya kabar." Mata Amanda berkaca-kaca.
"Apa kabar dengan perasaanmu? Kabarku, aku tetap mencintaimu."
"Sebenarnya apa sih maumu, sekali lagi aku menegaskan, Aku sama sekali tidak mencintaimu. Puas?" Air mata Amanda mulai menetes.
"Jika kau berat mencintaiku, baiklah..." Roy meraih tangan Amanda. Menggenggam erat tangannya.
"Maukah kau menjadi selingkuhanku?"
Amanda menatapnya terkejut.
***
~Semakin menjauh semakin rasa penasaran bagaimana cara untuk bisa mendapatkanmu. Menolak bukanlah gagal. Justru aku belum sempurna untuk memilikimu~ ***"Kau sudah gila!" Gerutu Amanda."Bagaimana?" Roy mendesak. Amanda melepas shallnya dan melemparkannya di hadapan Roy."Adikku lebih mencintaimu dibandingkan aku." Amanda menatapnya nanar. Tanpa rasa kehangatan, ia pergi meninggalkannya. Menyisakan rasa kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Amanda kembali ke tenda merebahkan tubuhnya. Membiarkannya sendirian bernuansa dingin yang menyengat.Sepuluh tahun yang lalu, Roy mati-matian memperjuangkan cintanya. Wanita yang tidak pernah berubah dengan sikap dingin, cuek, kaku, jutek dan tidak pernah memahami perasaan orang lain.Di malam yang sesunyi ini, Roy menyembunyikan air
~Pelangi hadir mempermanis setelah hujan. Senja terlukis mengukir nama ketika langit mengizinkan menampakkan rupawannya~ ***"Mengenalmu saja tidak, kenapa aku harus memanggilmu Arjuna." Pekik Amanda."Baiklah, aku akan memprediksimu suatu hari nanti kau akan memanggilku Arjuna."Kebiasaan Amanda yang tak memahami perasaan orang lain, beralih pada Roy yang sengaja meninggalkannya di tepi pantai. Amanda menatap sendu ombak pantai. Ia masih terbayang tatapan mata itu dan membandingkannya dengan wajahnya. Mencoba memahami perasaannya.Amanda yang bisa merasakan liburan baru-baru ini bersama teman-temannya berbeda halnya dengan Arafa. Ia harus melewati beberapa ujian untuk kelulusannya serta upaya agar bisa masuk ke perkuliahan impian. Memasuki bulan maret, Arafa berjuang menyelesaikan u
~Mendekatimu adalah karunia sejak dahulu. Memilikimu adalah keistimewaan yang aku idamkan sampai sekarang. Pelan-pelan kau akan memahamiku~ ***Sang Gadis pujaan, alangkah indah wajahmu...Alangkah manis senyummu...Berwarna warni sekian sikapmu...Pelukismu agung menciptakan karyamu...Siapa gerangan yang berhak bersanding denganmu?Aku hanyalah Senja yang selalu takut mendekatimu...Berharap ketika kau membenciku...Pantaskah aku memperjuangkanmu?Puisi sang Senja yang sedang merindu. Ia tulis di sebuah kertas dengan pena pemberian raja sewaktu ia mengikuti sayembara puisi untuk sang putri. Ia sangat dekat dengan raja tapi tidak tahu maksud kedekatan itu karena memiliki perasaan dengan sang putri. Sayembara itu hanyalah hadiah berupa uang bagi rakyat jelata sepertinya. Ibunya menjadi dayang. A
~Hati tak dapat diselidiki tetapi harus dipahami seperti kisah yang pernah kita jalin dalam hidup ini. Bukan tentang mencintai melainkan ketulusan hati~ ***Liburan telah selesai. Para kolega mengemasi barang-barangnya. Menurunkan tendanya. Api unggun telah padam sejak tadi pagi. Roy yang mendadak ikut waktu itu, juga mengemasi barang-barang mereka. Ia tak membawa apa-apa. Hanya pinjam baju milik Elang. Sebagai balasannya, ia ikut mengemasi barangnya.Saat Amanda mengemasi barangnya, ia lupa masih menyimpan shall milik Roy. Ia terus menatap Roy. Akhirnya ia memberanikan diri mengembalikannya. Tangan Amanda menjulurkan sebuah shall di depan Roy. Ia amati shall tersebut. Kemudian menoleh pada Amanda dengan senyumannya."Kau ambil saja." Kata Roy."Kau yang lebih membutuhkan." Amanda menolak.
~Menyelidiki tanpa memahami akankah bisa bersatu kembali. Pertolongan pertama yang paling hakiki adalah mendekati~ ***Sarapan pagi kali ini terasa hampa tanpa kehadiran Mama dan Papa. Makanan lezat yang selalu tersaji di meja makan kini hambar. Suasana sarapan yang penuh cerita menjadi bosan. Tersisa Amanda dan Arafa yang berada di meja makan. Sebagai Kakak, Amanda yang menyajikan makanannya. Soal masak memasak memang ia tidak terlalu berbakat. Ia hanya ingin bisa seperti Mamanya. Dan suatu hari, pasti dia juga akan menjadi Mama.Amanda menuangkan lauk telor dadar sambal balado di atas piring milik Arafa."Kak, nanti malam ajari aku buat tes kuliah ya?" Pinta Arafa mulai melahap makanannya."Apa yang belum kau pahami?""Soal penalaran sama sebab akibat.""Oke, Kakak usahakan." Amanda bersedia.
~Kedua tangan merekat ketika saling memberi rasa hangat. inikah tanda rasa pemahaman yang selama ini ia pikat~ ***Mereka terus bertatap mata. Pengacara Bahrun yang merasa diacuhkan berpura-pura batuk. Mereka saling mengalihkan pandangan."Sudah selesai?" Pengacara Bahrun sungguh merusak suasana."Tidak usah jealous." Roy menyindir. Merasa disindir, Pengacara Bahrun tak mau kalah."Iya, aku memang jealous. Kau sudah merebut Amanda dariku." Pengacara Bahrun justru berterus terang. Hati Roy seketika itu membeludak. Menyembur kecemburuan yang berapi-api. Dia sungguh memantik emosi Roy."Kau yang sudah merebut karena dia masa laluku." Roy melototkan matanya pada Pengacara Bahrun."Oh, jadi kau mantannya." Pengacara Bahrun gemar sekali menyindir. Emosi Roy sudah tak bisa dik
~Mendekati dengan cara yang tak biasa bisa luar biasa jika dipahami secara detail dan pelukan hangatmu yang menjadi tanda kebesaran rasa pemahamanku terhadap perasaanmu~ ***"Ku lihat kalian serasi..." Arafa cekikikan meledek Roy."Kenapa bukan kau saja?" Roy membalikkan pertanyaannya."Aku tidak suka. Seleraku sangat tinggi." Kata Arafa berlagak sombong.Mereka saling berbincang seperti sudah saling mengenal satu sama lain. Amanda kembali ke ruang tamu membawakan tiga secangkir teh untuk minum-minum bersantai di pagi hari."Sedang membahas apa?" Amanda memberikan secangkirnya satu persatu."Ituloh Kak Ria sangat cantik. Arafa mau menjodohkannya dengan Kak Bahrun."Amanda menahan tawanya. Roy menatapnya pasrah."Kalau itu boleh-boleh sa
~Ketika dua cinta hadir, sangat terasa sayang mereka menggulir. Ciuman pada pipisepenuh hati menjadi bukti kepedulian mereka~ ***Tatapan mereka melekap indah. Merasuki sukma yang tersembunyi. Lingkar mata penuh kenangan. Ukir senyum yang memaparkan kerinduan. Ia sepakat memahami perasaannya. Jauh dari lubuk hati, ia menyesali masa kelam sepuluh tahun lalu. Apakah ia bisa memperbaiki itu semua?Mereka tersadar, dan saling bangkit dari tatapan. Roy segera meraih tangannya. Menggengam erat. Melintasi kerumunan pengunjung yang takjub melihat kemesraan mereka. Pelayan yang menggoda tadi menarik napas panjang karena telah keliru merusak hubugan mereka. Alkisah, mereka keluar dari klub malam. Berhenti di depan mobil menghirup napas sebanyak-banyaknya. Berada di klub malam, serasa di api neraka yang meluap-luap.
~Perkataan seseorang lebih tajam ketimbang perkataan diri sendiri. Lalu, mana yang lebih engkau prioritaskan?~ ***Psikiater prihatin melihat kesedihan Roy. Perawat yang berjaga di belakang para pasien segera memberikan suntik obat bius. Sedang perawat yang lainnya, membawa pasien ke kamarnya agar tidak ketakutan melihat keadaan Sinta. Psikiater itu menuntun Roy ke ruangan pribadinya. Ia tampak terpukul melihat keadaan Sinta semakin hari semakin tidak keruan."Aku tau Roy, kau pasti sedih melihat ibu Sinta selalu diwarnai kecemasan. Kau sabar saja. Lambat laun, ibumu akan mengetahui kebesaran hatimu," kata Psikiater menenangkan hatinya."Sampai kapan, dok? Dari dulu ibu lebih menyayangi Juna karena memang aku in
~Ketika seseorang terjatuh dalam masalahnya, menangis adalah luapan emosinya dan merenung adalah solusi ketenangannya~ ***Pengacara Bahrun menenangkan Amanda dan memintanya langsung keluar saja ke kantor polisi. Amanda masih menangis dalam pelukannya. Ia tak tahu harus bagaimana menghiburnya."Manda, yang sabar ya...doakan saja semoga mama kamu cepat dikeluarkan dari penjara," katanya menenangkan.Ia lebih memilih menunggu taksi offline. Takutnya kalau dia memesan taksi online, si sopir itu malah yang nongol.Setengah jam berlalu, taksinya datang. Pengacara Bahrun perlahan memapahnya masuk ke dalam mobil. Ia kemudian duduk di sampingnya. Mobil berjalan menyapu jalanan yang pada saat itu memang tidak terlalu macet.
~Sosok yang ia rindukan selama ini, ternyata menyimpan luka dan duka mendalam demi kebahagiaannya~ ***Si sopir itu hanya pasrah. Ia menahan rasa sakit bekas pukulan Pengacara Bahrun."Itu teguran untuk tidak bersikap semena-mena terhadap pelanggan. Faham?""Iya, maafkan saya. Kalau begitu, saya pamit pulang." Dengan muka sendu, si sopir membuka pintu mobil. Dan menyalakan mesinnya. Amanda menatapnya tak tega. Ia kemudian menghentikan mobilnya. Pengacara Bahrun kaget dengan keputusan Amanda yang sepihak."Kita harus menghargai pertolongan orang lain," ujar Amanda pada Pengacara Bahrun. Si sopir itu tersenyum. Ia mengizinkannya masuk ke mobil maka ia pun masuk. Pengacara Bahrun masih dalam tatapan nanarnya."Mas
~Sebuah kata ternyata tidak pantas diungkapkan pada seseorang yang mengenalmu tapi bagaimana jika itu terjadi padamu?~ ***Agen Andara menjadi pusat perhatian di bus saat itu. Semua sudah siap dia masih melakukan aktivitas mandi di belakang bus. Ia segera mencuci muka dengan air yang ada dalam botolnya. Lalu mengenakan jasnya."Siap, kita berangkat," seru Agen Andara sudah siap berangkat ke kantor. Sopir mendengarkan intruksi dari boss, ia menyalakan mesin dan bus siap dijalankan.Berada di bus, Amanda teringat masa-masa camping bersama mereka. Menatap kaca jendela, memori tentang dia juga muncul. Ya, saat dimana Juna memeluk jari kelingkingnya.Roy meminta turun di tengah jalan karena dia berseberangan arus dengan mereka. Ia masih
~Kesedihan mendalam yang dialami tak memungkiri berbagai persoalan hidup menghampiri. Dalam hal ini, siapa yang dapat menghiburmu?~ ***Keadaan jadi semakin rumit dengan keputusan Roy."Lah, kalau kita tinggal di rumah Amanda, kita tidur dimana?" Alifa meragukan keputusannya."Disini ada empat kamar. Kamar Amanda, mama, papa, dan kamar tamu."Amanda tercengang kenapa Roy bisa tahu seisi ruangannya. Ia lupa kalau Juna pernah bilang Roy itu memiliki indera ke tujuh."Kalau begitu, kita bagi kamarnya," sahut Amanda ikut berpendapat.Arafa menatapnya bingung."Jumlah para kolega ini berapa?""Sekitar tiga puluhan.
~Satu cinta sudah terlahir sejak dahulu kini tibanya aku tahu siapa kamu~ ***"Baiklah, maaf jika saya mengganggu kegiatan kalian...." ucap si kurir berpamitan. Ia mengendarai motornya lalu menghilang ditelan kecepatan motornya. Pengacara Bahrun menarik tangan Amanda masuk ke dalam. Menutup pintunya dengan wajah kecemasan.Arafa dan Roy menghampiri mereka juga ikut cemas."Ini benar-benar aneh. Kemarin ada sopir taksi sekarang kurir. Siapa yang telah menerorku? Apa mau mereka?""Tenang, Manda. Jangan cemas. Kita sama-sama membongkar siapa di balik semua ini.""Ya sudah, yang penting kita rayakan pesta hari ini," sahut Arafa menenangkan hati Amanda. Melepas dari peneroran itu, mereka kembali ke tepi kolam. Rupanya acara bakar
~Ketika rindu tersekat oleh waktu apakah hanya sesaat aku bisa bertemu?~ ***Cahaya itu menyingsing. Menyinari pepohon yang berfotosintesis. Sedang para kolega pulang dan lega karena sudah mengikuti diskusi hari ini. Pengacara Bahrun dan Amanda naik mobil. Mereka melambaikan tangan pada para koleganya yang juga naik mobil.Mesin dinyalakan, mobil beringsut menghamburkan dedaunan yang berguguran karena musim kemarau telah datang.Sampai pada rumah, Arafa beranjak dari sofa ruang keluarga yang pada saat itu, dia sedang menonton televisi, membukakan pintu. Mereka hampir mengetuk pintu tidak jadi keburu Arafa sudah membukakan pintunya."Bagaimana dengan si sopir itu, kak?" Dia langsung menanyakannya dan panik."Kita
~Gelisah karena banyak mata yang menyelidik. Galau karena rindu terus merajalela. Merana karena cinta masih berada dalam kadar mimpi~ ***Amanda merasa Pengacara Bahrun memberi perhatian lebih padanya. Kenapa bukan Juna? Kapan dia akan kembali?"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" Amanda bertanya lebih dalam."Terus melihat gerak-gerik mencurigakan di rumahmu atau di sekitarmu.""Baiklah, aku juga harus lebih waspada."Ponsel Amanda berdering beberapa saat kemudian. Ia menengok siapa yang menelpon. Nomor tak diketahui siapa. Ia melirik Pengacara Bahrun sebentar. Namun, ia memberanikan diri mengangkat teleponnya."Hallo, dengan detektif Jack's Angel's ada yang bisa saya bantu?"
~Waktu berputar sesuai dengan porosnya. Bagaimana dengan rindu yang berpijak pada targetnya?~ ***"Bangun kak, ini sudah pagi! Jangan terus menghalu!" Celetuk Arafa."Astaghfirullah! Aku harus kerja." Amanda langsung menyabet handuk yang ia tanggalkan di tengah pintu dan masuk ke kamar mandi nyaris kepeleset namun, kaki kuatnya mampu menahannya. Ia menyengir.Karena bangun kesiangan, Arafa yang harus menyiapkan sarapan hari ini. Memasak seadanya saja dan menata piring, nasi serta lauk pauknya di atas meja. Sepuluh menit sudah Amanda mandi, ia meletakkan handuknya di atas kursi. Mendorong kursinya dan duduk dengan nyaman."Seadanya ya kak," ujar Arafa memelas."Tidak apa. Yang penting pagi-pagi sudah diisi perutn