Home / Romansa / Lebih dari selamanya / 6. Strategi menembak

Share

6. Strategi menembak

~Apa yang kau inginkan pasti ada alasan tapi bagaimana dengan menginginkan tanpa ada alasan seperti aku ingin kau menjadi milikku~

                              ***

"Kkk...kau..."

Roy datang kembali. Memakai jas Detektif Jack's Angels. Amanda masih tak menyangka yang ada di depannya adalah Roy.

"Iya. Boleh aku duduk disini?" 

Mata Amanda masih terpaku. Syukurlah, Alifa selesai ke toilet. Ia juga ikut kaget melihat seorang pria yang sudah berani menduduki kursinya. Ia tidak bisa diam. Dengan cekatan, ia langsung mejewer telinga Roy. 

"Siapa kau berani duduk di sebelah sahabatku." Celoteh Alifa dengan suara cemprengnya. Para kolega terbangun dan merasa terganggu dengan suaranya. Mereka dengan seksama melihat Alifa menjewer telinga seorang pria. Roy malu dibuatnya.

"Eh, iya iya aku duduk di belakang." Roy akhirnya berdiri.

"Tidak muat." Jutek Alifa. 

"Muat kok aku kurus." Roy melihat tempat duduk paling belakang ternyata sudah penuh. Salah satu dari mereka yang berkaca mata melambaikan tangannya dan menyapanya dengan kalimat Hay. Roy menyeringai. 

"Aku sudah bilang, ini sudah sesuai anggota. Lagian untuk apa kau ke bus ini? Salah bus? Dan kau mengenal Amanda?" Alifa nyerocos sampai Roy tak kuasa menjawabnya satu persatu.

"Aku mau daftar." Kata Roy menyimpulkan jawabannya. 

"Mas, ini masih tanggal merah. Hari libur kami." Roy kebingungan menjawab apa. Berkali-kali ia memandang Amanda namun, ia cuek dan terus menatap jendela bus. 

"Baiklah, kalau tidak ada tempat duduk buat aku, biar aku duduk di tempat yang lebih sejuk." Roy berharap Amanda menahannya pergi. Namun, ia tetap cuek. Alifa segera membersihkan tempat duduknya dan duduk dengan tenang. Sudah dilihatnya tenang, Pak Sopir melajukan busnya. Usut punya usut, seisi bus mengira kalau Roy benar-benar pergi nyatanya ia kekeh berjuang naik bus itu sampai-sampai rela duduk di atas bus.

"Yuhuuu....sejuk sekali disini..." Teriak Roy menyindir Alifa. Seisi bus langsung heboh dengan tingkah konyolnya. 

"Menyebalkan sekali." Gumam Amanda menggertakan giginya sebal. 

Ia terus bernyanyi tidak jelas di atas bus. Menghebohkan dirinya sendiri sampai orang-orang di pinggir jalan mengiranya dia orang gila. 

Tiba di pantai Ancol, Roy bersemangat turun dari atas bus. Menbukakan pintu bus layaknya sudah pantas menjadi Kernet bus. Satu-persatu mereka turun menatapnya dingin. Roy bersikap bodo amat dan menunggu Amanda turun. Amanda sudah tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia pun segera turun. Mereka saling bertemu. Bertatap mata. Saat itulah, Amanda menyadari bahwa tatapan itu bukan milik Roy melainkan pria yang ada dalam mimpinya. Ya. Arjuna. 

"Kau sama seperti dulu selalu bersikap dingin di hadapanku." Kata Roy menegaskan.

"Roy, kenapa kau mengikutiku?" Roy tidak menjawab. Ia terus menatap wajah Amanda. Kemudian tersenyum mendengus. Amanda mengernyitkan dahi heran.

"Sampai sekarang aku menyukai sifat dinginmu itu." Roy tersenyum menggoda. Amanda jadi semakin kesal. Para kolega yang melihatnya tak menyangka selama ini Amanda disukai pria romantis seperti Roy. Mereka menjadikan ini sebuah tontonan. 

Roy meraih tangannya. Amanda dengan kesal menolak tangannya. Ia berharap dia kesal dengan sikap dinginnya. Malahan, dia tersenyum-senyum.

"Dasar gila." Umpat Amanda. Roy terus memandanginya. Risih dengan sikapnya dan ditonton teman-temannya, Amanda lebih memilih pergi tak mempedulikan sikap tidak jelasnya itu. Alih-alih, Roy semakin gemas dengan sikapnya. Justru ia mengambil kesempatan meraih tangannya dan menghentakkan badannya. Mereka terperangkap dalam lubang tatapan semakin dekat. Amanda tak bisa berkutik. Tangan kiri Roy memegang dinding bus menahannya pergi. Ia terperangkap dalam degup jantung semakin keras. Sesekali melihat teman-temannya terbawa melihat adegan mereka. 

"Tatap wajahku selama ini, Amanda. Rasakan bawa kita pernah memiliki cinta." 

Amanda mencoba menatapnya lama. Mengingat sepuluh tahun yang lalu pernah merasakan detak jantung yang sama. Berhadapan dengan pria yang sama. Pria tengil, menyebalkan, memiliki sifat kekanak-kanakan, adalah masa lalunya. 

"Kemanapun kau pergi, aku akan terus mengejarmu meski kau ada di mars sekalipun." Kalimat Roy yang sengaja diucapkan sepuluh tahun yang lalu. 

Amanda membalasnya dengan tersenyum licik. Ia menurunkan tangan Roy dengan perlahan.

"Jangan membuang waktumu untuk hal konyol seperti ini." 

Roy tertegun, "itu juga jawabanmu sepuluh tahun yang lalu." 

Amanda mengacuhkan perkataannya. Ia menatap sinis di hadapan para kolega. 

"Ayo mendirikan tenda." Agatha menyelimur. Membubarkan mereka untuk segera mendirikan tenda sebelum senja menjemput malam. Mereka berbondong-bondong mengambil koper di bagasi. Amanda dengan gontai meninggalkan Roy. Ikut berpartisipasi mendirikan tenda bersama Alifa. Sekitar ada sepuluh tenda yang mereka dirikan. Lima untuk kolega wanita. Limanya lagi untuk kolega pria. 

Salah satu pria sebut saja namanya Elang. Dia membuat api unggun di tengah-tengah tenda. Malam akan semakin berkarisma dengan kehadiran api unggun berlampionkan bintang. Roy merelakan dirinya membantu Elang membuat api unggun.

"Kau mengenal Amanda?" Bisik Elang takut Amanda kedengaran. 

"Iya dia cinta pertamaku sepuluh tahun yang lalu..." 

"Tapi, kenapa dia tidak mengenalmu?" 

"Biasalah dia sangat pemalu."

"Pemalu? Dia ternyata punya malu juga. Menurutku, dia itu...." Elang melirik Amanda yang sedang merapikan tenda yang ada di dalam, takut dia mencurigainya. Kemudian berbisik ke telinga Roy, "Penyihir. Sangat menyeramkan."

Roy justru menertawakannya. Para kolega langsung menatap Roy heran. Amanda menatapnya curiga.

"Kau tidak tau?" Roy balas berbisik, "dia menolak perasaanku dengan berbagai cara, contohnya, menampar pipiku, menendang pantatku, tapi..." Roy sengaja membuatnya penasaran dan membuat Amanda semakin curiga. 

"Tapi, apa?" Elang berbisik semakin penasaran.

"Menggigit bibirku."

"Apa???" Elang berteriak terkejut. Para kolega menatap mereka lagi. Amanda mengernyitkan dahi penasaran. 

"Lebih menyeramkan?"

Tak bisa menghindari rasa penasaran, Amanda menghampiri mereka dengan wajah mistisnya itu. Elang langsung menjauh. Bersembunyi di belakang Roy.

"Kalau mau kerja yang serius jangan bercanda terus." Pekik Amanda dengan tatapan menyeramkan. 

"Aku suka tatapanmu yang itu." Roy menggoda. Amanda tak mempedulikan. Ia kembali lagi ke tendanya. 

"Hei, apa yang kau suka dari wajah nenek sihir itu?" Elang sampai heran Roy bisa tergila-gila dengan wanita menyeramkan itu.

"Semakin dia menyeramkan semakin aku yakin dia itu menggemaskan." 

Elang hanya bisa menganga. 

Di tenda, Alifa juga membahas kedatangan Roy yang mengaku mengenal Amanda sepuluh tahun yang lalu. 

"Sudahlah. Dia itu pria aneh. Tidak perlu percaya sama pria berhidung belang." Ketus Amanda. 

"Dari tatapannya dia seperti tulus mencintaimu." Alifa bisa mengartikannya. 

"Jangan sok tahu. Tidur saja." Amanda terburu-buru merapikan tempat tidur. Merebahkan tubuhnya, menarik selimut karena udara pantai semakin malam semakin dingin. 

Sekitar satu jam mereka selesai mendirikan tenda. Beristirahat di dalam tenda masing-masing. Jam tangan Amanda menunjukkan pukul sebelas. Ia tak bisa tidur. Maka, ia lebih memilih keluar melihat pantai yang tenang airnya. Bintang yang tetap merona di pelukan langit. Meski sudah memakai jaket, udara dingin tetap saja menggelitik tubuh. Seseorang tiba-tiba mengalungkan shall di lehernya. Seperti yang terjadi dalam mimpinya. Apakah ini mimpi?

Amanda menoleh ke bekalang. Lagi dan lagi Roy datang dengan senyum sok manisnya. Ia duduk di sampingnya. 

"Kenapa belum tidur? Udara di pantai sangat dingin." Tutur Roy dengan tatapan penuh arti. Amanda menatapnya sangsi.

"Kenapa kau terus mengejarku? Haruskah aku memilihmu lalu mengabaikan perasaan orang lain?" 

"Kau pernah menginginkan barang yang kau impikan?"

Amanda terus menatapnya. Mencoba memahami karakter dan perkataannya.

"Pasti kau sudah mendapatkannya. Sama seperti aku yang menginginkanmu menjadi milikku." 

"Kau percaya takdir?" Amanda balik bertanya. 

Roy mengangguk tersenyum.

"Kalau kau percaya, maka takdir mengizinkanmu untuk melupakan aku. Jadi, jangan temui aku lagi." 

"Aku suka jawabanmu yang terus menolakku."

"Apakah kau tidak memikirkan adikku yang tergila-gila padamu? Kenapa kau memblokir nomornya? Sudah tidak cinta lagi?" Amanda tersenyum licik.

"Kau masih tidak memahami kedatanganku?"

"Bukan masih, tapi tidak lagi."

"Kenapa?"

"Kau juga tidak memahami perkataanku."

"Bukan tidak, tapi sangat." 

"Kau yang tidak memahami betapa adikku sangat mencintaimu. Dia menangis seharian karena kau tidak memberinya kabar." Mata Amanda berkaca-kaca. 

"Apa kabar dengan perasaanmu? Kabarku, aku tetap mencintaimu." 

"Sebenarnya apa sih maumu, sekali lagi aku menegaskan, Aku sama sekali tidak mencintaimu. Puas?" Air mata Amanda mulai menetes.

"Jika kau berat mencintaiku, baiklah..." Roy meraih tangan Amanda. Menggenggam erat tangannya. 

"Maukah kau menjadi selingkuhanku?"

Amanda menatapnya terkejut.

                                   ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status