Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik.
Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir.
Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam.
Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Bagian depan diletakkan beberapa meja bundar dan kursi lipat untuk empat orang. Lebih ke dalam lagi disediakan beberapa tenda kecil untuk dua orang. Para pelayan pria menggunakan kemeja Hawai dan celana santai, sedang para pelayan wanita menggunakan maxi dress manis dengan corak bunga-bunga.
Prada memandu Rumi masuk ke dalam sebuah tenda. Gadis ini mengikuti dengan patuh.
"Kamu tahu, restoran ini enam bulan lalu dalam kondisi mengenaskan dan segera bangkrut. Namun sebulan lalu kembali bangkit dengan konsep seperti ini. Bukankah ini keren?" kata Prada ketika mereka sedang menunggu pesanan. "Menunya juga khusus seafood yang dimasak dengan cita rasa khas Indonesia menggunakan rempah-rempah terbaik. Tentunya dengan seafood terbaik yang langsung dipasok dari nelayan lokal."
Rumi mengernyit, "Anda yakin? Susah mencari seafood segar di Jogja."
Tumbuh besar di pulau Kalimantan yang termasuk kaya makanan laut membuatnya jadi pemilih jika berkaitan dengan seafood. Selama tinggal di sini, belum pernah didapati seafood yang benar-benar segar seperti di kampung halamannya.
Lelaki ini mengangguk. "Tentu saja yakin. Susah bukan berarti tidak ada. Lokal, 'kan, bukan berarti Jogja saja. Jawa Tengah juga."
Rumi ber-O ria. "Sepertinya Anda tahu banyak tentang restoran ini?
Bisa saja Prada membuka restoran lain sebagai investasi tanpa sepengetahuannya. Bagus juga memiliki lebih dari satu wilayah cakupan usaha. Asalkan bisa mengatur waktu untuk mengelola semuanya secara maksimal.
Prada menyeringai sombong. "Kamu lihat tadi café di sebelah restoran ini?"
Rumi mengangguk. Café itu sempat menarik minatnya. Desain eksterior tempat itu menangkap perhatian. Jika ada waktu, dia ingin berkunjung ke sana..
"Pemilik café itu sahabatku. Dia dan temannya membantu restaurant ini. Dia bukan tipe yang setengah-setengah ketika mengerjakan sesuatu. Bahkan untuk hal remeh sekalipun."
"Idenya menarik," celetuk Rumi dengan mata mengamati detail setiap sudut restoran.
Prada mengangguk setuju. "Jadi Rumi, aku harap kamu bisa mengatur restaurant-ku dengan baik."
Rumi yang sedang serius mengamati detail restoran melirik malas pada bosnya ini. "Saya memang bertugas mengelola tapi Anda pemiliknya. Tidak bisakah Anda membantu saya dengan memberikan ide yang cemerlang? Tidak hanya mampu protes dengan apa yang saya kerjakan?"
Rona wajah Prada berubah marah. "Kalau kamu tidak mampu aku bisa mencari orang lain untuk mengelolanya."
"Anda pikir siapa yang tahan bekerja dengan Anda selain saya?" tantang Rumi.
Prada terdiam dengan muka ditekuk. Bagaimanapun apa yang dikatakan gadis ini benar.
Rumi manager ketujuh yang Prada miliki. Sejauh ini hanya Rumi yang mampu memegang peranan itu dengan rekor bekerja selama 24 bulan dan masih berjalan. Manager sebelumnya paling lama hanya bertahan sepuluh bulan. Sisanya masing-masing tujuh bulan.
"Well, setidaknya hari ini Anda cukup membantu," lanjut Rumi sedikit merasa bersalah.
Mereka terdiam saat seorang pelayan datang membawakan pesanan. Sebakul nasi hangat untuk dua orang beserta dua piring bersih; Semangkuk kerang darah asam pedas; Sepiring cumi bakar saus kemangi; Sepiring sambal petai udang. Dilengkapi dengan dua buah es kelapa muda.
Rumi menelan air liur melihat makanan di depannya yang menggugah selera. Tidak menunggu basa-basi dari Prada, dia langsung menyantap makanan itu dengan lahap.
"Kamu suka?"
Rumi mengangguk tanpa harus menghentikan kegiatan. Daging kerang baru saja masuk ke dalam mulut itu.
"Kalau ingin tambah bilang saja."
Rumi hanya melirik sekilas sebelum mengangguk, tetap melanjutkan kegiatan. Kali ini giliran kepala cumi bakar yang masuk ke mulutnya.
Sunyi kemudian. Mendadak Prada memilih senyap.
Rumi tentu saja tidak terlalu peduli. Jarang sekali dia makan enak seperti ini. Meskipun seorang manager dengan gaji yang cukup besar, dia tidak suka berfoya-foya. Hampir tujuh puluh persen gajinya ditabung untuk keperluan lain. Dua diantara tujuan itu adalah membelikan rumah dan mendanai ibu angkatnya naik haji.
Ibu angkat sekaligus saudara kandung ayahnya itu telah berbaik hati merawat dan membesarkan. Sejak dia masih di bangku sekolah dasar. Terhitung setelah Ibu kandungnya meninggal, menyusul Ayahnya yang meninggal setahun lebih dulu.
Ayahnya meninggal karena kecelakaan di tempat kerja. Sedangkan ibunya meninggal akibat sakit, shock ditinggal mendiang suami secara mendadak.
"Aku sudah berpisah dengan wanita itu," ucap Prada setelah cukup lama terdiam. Dia kembali mengganti kata ‘saya’ menjadi ‘aku’ agar lebih nyaman. "Tadi malam dia menelepon dan memintaku agar jangan pernah menemuinya lagi."
Tangan Rumi yang sedang ingin menyuap nasi beserta sambal udang-pete terhenti di udara. "Sepertinya itu bagus."
Prada menarik napas dalam sebelum menghembuskan perlahan. "Sebulan lalu dia sudah meminta untuk berpisah tapi aku tidak rela. Namun, kejadian kemarin membuatku berpikir banyak. Bukan karena dipukul tapi lebih kepada perasaan sesama pria. Aku juga pasti tidak ingin istriku bermain gila dengan pria lain yang lebih muda. Lagipula hubungan kami memang tidak diawali dengan langkah yang baik."
"Hmm," respon Rumi kembali melanjutkan makan.
"Hei! Apa kamu tidak bisa menunjukkan simpati?" kata Prada jengkel merasa diabaikan.
Tangan Rumi yang hendak menyuap kembali terhenti di udara. "Mengapa harus? Anda sudah mengambil keputusan yang tepat."
"Tapi aku patah hati,” jujur Prada.
Berpisah dengan orang yang disayangi bukan hal yang menyenangkan. Terlebih perasaan cinta itu masih ada.
"Oh, jadi Anda ingin saya hibur?" Rumi akhirnya mengerti.
Dia berhenti makan dan menggeser piring berisikan makanan tadi sedikit. "Jangan cemas, Anda pasti bisa menemukan wanita yang tepat suatu saat nanti."
Ekspresi Rumi dibuat sesimpati mungkin. Akan tetapi tidak mengisyaratkan ketulusan sama sekali. Hanya dipasang sebagai formalitas.
Prada kesal. "Akh, sudahlah! Aku malah semakin jengkel melihat ekspresimu. Lebih baik habiskan makanan itu cepat lalu kembali kerja."
Rumi mengedikkan bahu tak acuh. Merealisasikan ucapan Prada dengan melanjutkan makannya.
Prada geleng-geleng kepala memikirkan kebodohannya yang sempat berharap dihibur oleh Rumi. Tindakan sia-sia mengingat sifat cuek gadis ini yang sudah dikenal selama dua tahun.
"Lalu uang saya bagaimana, Pak?" tanya Rumi setelah merasa kenyang.
Perut penuh mengingatkannya pada nota tagihan. Dia harus mendapatkan uang kompensasi tersebut.
Prada yang sedang menyuap langsung hilang selera makan. "Apa kamu pikir aku tidak bisa membayarnya?"
Rumi menggeleng. "Saya pikir Anda tidak ingin membayar. Tapi itu hak saya. Jadi saya akan terus menagih sampai lunas."
Prada menggeram. Mengambil gawainya untuk menggunakan mobile banking.
"Ini!" dia menunjukkan bukti transfer dengan jumlah yang Rumi inginkan. "Lunas."
Rumi tersenyum manis sekali. "Terima kasih. Setidaknya saya merasa tidak sia-sia telah menolong Anda."
Prada yang sempat terpesona dengan senyum manis Rumi langsung mendesis geram. Ingin rasanya menyumpal kembali mulut gadis di depannya ini dengan makanan. Namun dia sedikit lega. Perasaan gelisah sejak semalam berangsur pudar. ***
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
“Hidup Anda sepertinya membosankan sekali,” sindir Rumi sekadar memecah kebisuan sambil terus membersihkan luka pada wajah lelaki yang berbaring di sofa, di hadapannya. Lelaki yang sesekali meringis setiap tekanan kapas beralkohol tujuh puluh lima persen di atas lukanya ini menatap Rumi sebentar sebelum berkata, “Aku tidak melakukan itu karena bosan. Kami saling mencintai.” Rumi tanpa sadar menyunggingkan senyum mengejek. Tatapan mencela menghilangkan kesopanan dan rasa hormat. “Berhenti menatapku dengan senyuman seperti itu!” seru lelaki ini pelan, namun penuh aura harus dipatuhi. “Dia baik dan penyayang. Perhatiannya tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun.” Rumi mencibir. Tangannya bergerak tangkas mengganti kapas yang sudah kotor oleh darah dengan yang baru.
Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me