Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk.
"Masuk!" seru Prada.
Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.
Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu.
"Ah ... Maaf saya mengganggu."
Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas. Lantas undur diri.
"Saya akan kembali nanti," katanya sesopan mungkin.
"Kenapa dia?" tanya Mama Prada penasaran mendapati sikap Rumi yang aneh.
Wanita baya yang biasa dipanggil Vira ini tahu bahwa manager anaknya itu kurang bersahabat. Beberapa kali berlintas jalan di lorong menuju ruangan Prada, Rumi akan minggir memberi jalan diikuti anggukan sopan yang kaku.
Prada menggeleng. "Enggak tahu, Ma."
"Managermu itu aneh. Mama enggak suka. Tegang banget kaya' kayu ulin." Vira menuangkan air putih untuk anaknya ini. "Mengapa masih dipertahankan, sih? Memangnya dia bisa menghadapi pelanggan? Senyum aja kayaknya susah."
"Kerjanya bagus, Ma," bela Prada. "Orangnya tegas."
"Sebagus apa?"
"Lebih bagus dari lima manajer sebelumnya."
"Ah, Mama jadi ingat sama si Matahari," kenang Vira. "Dia cantik. Anggun dan sopan juga. Udah pakai kerudung lagi. Menutup aurat."
Prada mencibir dalam diam. Matahari adalah manager ke enam, sebelum Rumi.
"Padahal Mama suka dia, tapi malah kamu pecat."
Vira mendelik pada anaknya ini. Geram mengingat kabar yang diberikan Matahari sebelum dipecat. Informasi yang menyatakan bahwa Prada mengalami penyimpangan orientasi.
"Bagus, sih, Ma. Tapi mulutnya enggak bagus.” Prada pura-pura tak melihat delikan tajam Mamanya ini. “Sayang banget padahal udah berkerudung.”
“Hush!” tegur Vira. “Menutup aurat itu wajib. Enggak ada hubungan sama pribadi pemakainya.”
“Ya seharusnya dengan berkerudung ada perubahan dong, Ma. Enggak cuma pakaian aja yang berubah, pribadi juga mengikuti. Jangan gara-gara dia semua orang berkerudung di cap enggak bagus.”
Prada ingat dengan jelas Matahari menyebarkan berita buruk tentang dirinya kemana-mana. Keadaan restoran sempat memburuk akibat berita tersebut. Padahal Prada sudah menolak secara baik-baik saat Matahari menyatakan cinta.
Namun gadis itu terluka. Merasa terhina sebab Prada tidak tertarik dengan kecantikannya yang selalu dipuja-puji rekan sekerja.
"Dia baik, kok."
Prada mendengus. “Sama Mama aja. Cari muka. Dia enggak profesional.”
"Memangnya yang ini profesional?"
"Sangat profesional dan dapat dipercaya."
"Kamu enggak ada hubungan apa-apa sama dia, 'kan?" mata wanita baya ini menyipit curiga. "Lumayan cantik, tapi cari yang lain aja. Mama enggak mau dia yang jadi menantu Mama."
Prada tak mampu menahan gelak tawa. Membayangkan akan menyukai Rumi sungguh lucu menurutnya. Apalagi sampai punya keinginan untuk menikahi gadis itu. Prada melirik Vira sambil geleng-geleng kepala tak percaya Mamanya ini memiliki pemikiran demikian.
"Enggak mungkin, Mama. Prada punya selera yang tinggi."
Vira mencibir. "Selera tinggi apa? Kamu serius enggak suka laki-laki, 'kan?"
"Astaga, Mama." Prada berlagak terluka. "Mama mau punya mantu lelaki?"
Bantalan sofa langsung melayang ke kepala Prada. "Enggak lucu."
Prada menyeringai jail. "Mama yakin enggak mau?"
Mata wanita baya ini langsung melotot sebal. Candaan Prada tidak enak didengar telinga.
Hanya sebuah rumor saja Vira sudah merasa gagal membesarkan anak. Apalagi kalau itu kenyataan. Harga diri sebagai pendidik pertama dan utama anaknya akan jatuh, terpecah belah. Sebab penyimpangan orientasi itu bukan takdir, melainkan salah asuhan sedari dalam perut sampai proses memberikan informasi ketika membesarkan anak.
Dia berdiri kemudian. "Mama pulang dulu. Habiskan makanannya."
"Iya, Mama sayang." Prada ikut berdiri, membukakan pintu untuk Vira.
"Enggak usah diantar sampai tempat parkir. Mama bukan anak kecil." Vira menahan gerakan Prada yang hendak ikut keluar.
"Baiklah, Mama. Hati-hati." Prada menurut.
Wanita baya itu mengangguk. Memeluk anaknya sebentar sebelum melangkah pulang.
Prada menghela napas pelan. Masih berdiri di depan pintu sampai Vira hilang di balik dinding.
Dia kasihan pada wanita yang melahirkannya itu. Pasti kesepian. Setua sekarang belum memiliki menantu, apalagi cucu. Anak perempuan pun ...
Haah ... Prada kembali menghela napas. Rasa bersalah itu menusuknya. Seandainya saja dia tidak egois. Andai ...
"Boleh saya masuk?"
Prada terperanjat, kaget. Rumi sudah berdiri di depannya. Beruntung dia bukan orang yang memiliki penyakit latah.
"Oh ..." Dia berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang efek dari keterkejutan. "Ada apa?"
"Boleh saya masuk?" ulang Rumi kurang sabar.
Dia memegang piring berisi menu baru. Makanan utama yang menggugah selera kalau bukan penyebab kekesalan kali ini.
Prada mengangguk dan mempersilahkan Rumi masuk. Dia mengekor di belakang. Mempersilahkan Rumi duduk sebelum duduk di kursinya sendiri.
"Anda tahu apa ini?" tanya Rumi meletakkan piring berisi makanan menu baru itu ke atas meja kerja Prada.
"Avocado Poached Salmon ... Menu utama baru, resep milik Chef Eresta," jawab Prada tanpa ragu.
Rumi manggut-manggut menahan geram. "Jadi Anda benar sudah tahu tentang menu baru ini."
"Tentu saja. Eres ... Maksud saya Chef Eresta sudah menunjukkan ini dan meminta pertimbangan seminggu lalu untuk menambahkannya dalam buku menu." Prada tidak mengelak sama sekali.
Mata tajam penuh amarah Rumi menusuk langsung netra Prada. "Anda menerima surat pengunduran diri Chef lama tanpa sepengetahuan saya. Anda mempekerjakan Chef baru, kembali tanpa sepengetahuan saya. Sekarang Anda menambah menu baru tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan saya. Untuk apa ada seorang manager kalau Anda bisa mengatur ini semua sendiri?"
Prada meneliti ekspresi wajah Rumi. "Kamu marah?"
Rumi tersenyum kecut. "Tidak. Saya hanya sudah bosan bekerja."
Mata Prada melebar. "Jangan bilang kamu ..."
"Sore ini surat pengunduran diri saya akan siap di atas meja Anda." Rumi berdiri dari duduknya. "Permisi."
"Rumi, kamu tidak bisa melakukan itu," tahan Prada. "Kita punya kesepakatan kerja."
Rumi yang sudah setengah jalan memutar tubuhnya. "Hampir lupa. Dalam kesepakatan kerja dikatakan pihak kedua---yaitu saya---bisa mengundurkan diri jika pihak pertama---yaitu Anda---menyalahi perjanjian kerja, salah satunya mengebiri wewenang saya."
Prada diam, berusaha mengingat kesepakatan kerja mereka yang dibuat karena permintaan Rumi di hari pertama bekerja. Rumi benar, ada bagian itu di dalam kesepakatan tersebut.
"Saya harap Anda menyediakan surat rekomendasi kerja dan pesangon yang sesuai," lanjut Rumi, merasa punya peluang bicara. "Yeah ... Meskipun saya mengundurkan diri anggaplah pesangon itu bayaran untuk rasa kecewa saya karena tindakan Anda selama ini. Terima kasih."
Prada tidak mampu mengatakan apapun. Kalimatnya tertahan di tenggorokan. Sampai Rumi menghilang di balik pintu, Prada hanya mampu terpana. Bingung, tidak berpikir sebelumnya kalau Rumi bisa semarah ini.***
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
“Hidup Anda sepertinya membosankan sekali,” sindir Rumi sekadar memecah kebisuan sambil terus membersihkan luka pada wajah lelaki yang berbaring di sofa, di hadapannya. Lelaki yang sesekali meringis setiap tekanan kapas beralkohol tujuh puluh lima persen di atas lukanya ini menatap Rumi sebentar sebelum berkata, “Aku tidak melakukan itu karena bosan. Kami saling mencintai.” Rumi tanpa sadar menyunggingkan senyum mengejek. Tatapan mencela menghilangkan kesopanan dan rasa hormat. “Berhenti menatapku dengan senyuman seperti itu!” seru lelaki ini pelan, namun penuh aura harus dipatuhi. “Dia baik dan penyayang. Perhatiannya tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun.” Rumi mencibir. Tangannya bergerak tangkas mengganti kapas yang sudah kotor oleh darah dengan yang baru.
Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me