Home / Romansa / Le Restaurant de Prada / BAB 2 Pebinor Menyebalkan (1)

Share

BAB 2 Pebinor Menyebalkan (1)

Author: Mumu Rahadi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.

Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.

“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.

Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.

“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”

Mobil Prada masih di tempat yang sama. Sebelah pintu mobil itu terbuka. Kunci mobil pun tergantung manis di tempatnya. Tetapi Rumi tidak bisa menyetir, jadi dia berpikir membawa Prada ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Tidak terpikir bertanya pada salah satu satpam kalau ada yang bisa menyetir diantara mereka.

Namun kepala bos yang dikiranya sudah pingsan ini menggeleng lemah. Mulut itu bergerak mengucapkan sesuatu.

“Bapak mengatakan apa?” tanya Rumi bingung. Sebelum mendengarkan jawaban bosnya, dia beralih pada satpam yang membantu. “Tolong telepon ambulance saja, Pak.”

Belum sempat salah satu satpam itu melaksanakan instruksi Rumi, bos mereka menggeleng lagi dan mengatakan sesuatu. Kali ini lebih jelas walau diucap dengan susah payah. 

“Jangan ... rumah sakit.”

“Tapi, Pak...,” sanggah Rumi.

Keselamatan Prada lebih utama daripada keegoisannya. Rumi memutuskan untuk membangkang.

“Tidak-rumah-sakit.” Prada memotong ucapan Rumi. 

Kalimatnya lemah tetapi tegas. Wajahnya terlihat sangat kesakitan.

Rumi menghela napas. “Baiklah.” Dia kembali beralih pada dua satpam tadi. “Bantu bawa Pak Pradana ke rumah saya, Pak.”

Gadis ini tidak tahu alamat rumah bosnya dan tidak bisa benar-benar berpikir jernih. Dia melupakan restoran sebagai pilihan lain. Selain itu, setelah merasa aman tubuhnya malah lemas dan gemetar. Bahkan sedikit limbung saat berdiri ketika dua satpam tadi menggantikannya memegang bos mereka.

Menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan Rumi mengepalkan tangan kuat-kuat. Mengulang hal yang sama beberapa kali sampai dia merasa cukup tenang dan mampu untuk melangkah.

“Bu Rumi baik-baik saja?” tanya satpam yang lebih kurus dan tua, khawatir melihatnya.

Gadis ini mengangguk. Cepat dia berjalan menuju mobil bos mereka, menyembunyikan wajah lemahnya. Setelah memastikan mobil itu terkunci aman, sekali lagi dia menarik napas dalam sebelum melangkah lebih dulu sebagai penunjuk jalan. 

“Ayo!” ajaknya.

Kedua satpam itu mengikuti Rumi sambil menopang bos mereka. Walau sedikit lebih lama, mereka bisa sampai di depan pintu rumah kontrakan. Gadis ini segera mengambil kunci di dalam tas. Dengan sebelah tangan dia membuka kunci pintu, lalu mendorong pintu sampai terbuka lebar.

Sembari memberikan petunjuk Rumi masuk ke dalam dan berhenti di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Terdapat satu sofa panjang di sana. 

“Terima kasih, Pak,” ucap Rumi saat bos mereka telah berbaring di sofa. “Kalau bapak-bapak terlambat datang sedetik lagi saja saya tidak tahu apa yang akan terjadi.”

“Bukan apa-apa, Bu. Kalau Bu Rumi tidak menelepon, saya tidak akan tahu dengan kejadian ini,” balas satpam yang beristigfar tadi sopan. “Lagipula saya senang akhirnya mp3 sirene polisi yang saya d******d sejak awal bekerja di Prada ini ada gunanya juga.”

Satpam itu menunjukkan gawai yang dipegangnya. Di dalam layar terlihat music player dengan lagu berjudul Sirene Polisi yang sedang di-pause.

Rumi tertawa mengagumi kecerdikan satpam restoran mereka. “Sekali lagi terima kasih, Pak.”

Kedua satpam itu mengangguk. Mereka tersenyum.

“Masih ada yang perlu kami bantu, Bu?” tanya satpam yang lebih kurus dan tua.

Rumi menggeleng. “Tidak, Pak.”

“Kalau begitu kami permisi, Bu.” Sopan satpam itu pamit diikuti satpam yang beristigfar.

Membiarkan bos mereka sementara, Rumi mengantar mereka ke depan pintu.

“Permisi, Bu,” pamit satpam yang lebih kurus dan tua itu sekali lagi.

“Assalamu'alaikum ...” Satpam yang beristigfar menambahkan.

Rumi mengangguk, lalu membalas salam. Dia berdiam sebentar sampai kedua satpam itu menghilang dari pandangan sebelum menutup pintu. ***

“Aku akan menginap,” ujar Prada sembari terpejam sekembali Rumi dari menaruh kotak P3K.

Rumi terdiam beberapa detik. Segelas air putih yang dibawa dari dapur masih menggantung di tangan. Dahinya berkerut.

“Di sini hanya ada satu kamar,” responnya kemudian sekaligus meletakkan gelas berisi air putih itu ke atas meja. “Lagipula Anda perlu ke rumah sakit.”

“Tunjukkan kamarmu.” Prada mengabaikan kalimatnya. “Aku akan tidur di sana.” Sebelum ada protes darinya, lelaki ini melanjutkan lagi. “Kamu tidur saja di sofa.”

“Anda harus ke rumah sakit.” Rumi balas mengabaikan celotehan bosnya ini. “Saya membawa Anda ke sini agar bisa melakukan pertolongan pertama saja.”

“Yang kubutuhkan itu tidur,” bantah Prada.

“Setidaknya Anda harus diperiksa.” Rumi tak mau kalah. “Mungkin tidak akan ada dokter yang mau datang kemari, tapi Anda orang kaya, 'kan? Keluarga Anda pasti punya dokter pribadi.”

“Aku hanya butuh tidur. Tunjukkan kamarmu!”

Rumi menghela napas. “Baiklah jika Anda memaksa. Anda bisa tidur di sini ... Di sofa.”

Pupil Prada melebar. “Aku ini bos sekaligus tamu, jadi kamu yang harus tidur di sofa.”

“Maaf bos yang terhormat, ini rumah—kontrakan—saya. Jika tidak terima Anda boleh pergi. Itupun kalau Anda mampu berjalan sendiri. Pintu keluar ada di sebelah sana.” Rumi menunjuk arah pintu keluar. “Itu kunci mobil Anda.” Gadis ini kemudian menunjuk ke atas meja. “Selamat malam.” 

Setelah mengucapkan itu dia pun masuk ke dalam kamar. Menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.

Terdengar makian dari luar, namun Rumi tidak peduli. Dia sudah cukup lelah bekerja. Cukup letih menghadapi Prada di tempat kerja. Tidak berminat menambah beban hidup dengan meladeni keegoisan lelaki itu di tempat tinggalnya juga.

Gadis ini menghempaskan pinggulnya ke atas kasur. Melepas blazer dan melemparnya ke sisi kiri sebelum melenturkan leher yang kaku. Inginnya segera berbaring dan tidur, tapi dia perlu mandi. Memanjakan diri dengan segarnya air dan wangi sabun.

Diambilnya handuk, piyama, dan perlengkapan lain untuk ganti. Lantas sedetik kemudian berdecak dan kembali duduk di atas kasur.

Hanya ada satu kamar mandi di sini, di dekat dapur. Berpikir akan melihat bosnya di ruang tengah membuat malas untuk bergerak. Tapi keinginan untuk membasuh badan sangat besar. Lagipula mandi diperlukan agar tidurnya lebih nyaman juga nyenyak.

Pelan Rumi berjingkat ke dekat pintu meninggalkan handuk dan piyama tergeletak di atas kasur. Telinganya ditempelkan ke daun pintu, mencoba mendengar suara dari luar.

Sunyi. Tidak terdengar suara makian atau sekedar gerakan pelan.

Sebuah cengiran terlihat di wajah gadis ini. Dia pikir lelaki itu sudah tertidur atau ... Panik, buru-buru diambilnya handuk dan baju mandi namun tidak mengurangi kewaspadaan.

Pelan dan hati-hati dibukanya pintu kamar. Kepalanya menyembul ke luar lebih dulu. Lehernya dipanjangkan, berharap bisa memastikan bosnya terbaring di sofa dengan mata yang terbuka. Sayang yang dapat dilihat hanya ujung kaki.

Rumi keluar kamar. Berjalan dengan kaki berjinjit agar tak mengeluarkan bunyi mendekati sofa. Dia harus melihat sendiri kalau bosnya itu hanya terlelap, bukan meninggal dunia.

Dia lega mendapati napas teratur dan mata tertutup Prada. Kali ini 100% yakin bosnya hanya tertidur saja. 

Tersenyum kecil, dia merasa tenang. Yakin lelaki ini tidak akan terbangun, dia melenggang santai ke kamar mandi sambil berdendang kecil. ***

Related chapters

  • Le Restaurant de Prada   BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

    Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me

  • Le Restaurant de Prada   BAB 4 Obrolan Serius

    Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida

  • Le Restaurant de Prada   BAB 5 Kompensasi

    Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.

  • Le Restaurant de Prada   Bab 6 Nota Tagihan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am

  • Le Restaurant de Prada   Bab 7 Berpisah

    Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.

  • Le Restaurant de Prada   BAB 8 New Menu

    Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w

  • Le Restaurant de Prada   Bab 9 Resign

    Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.

  • Le Restaurant de Prada   Bab 10 Membujuk Rumi

    Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t

Latest chapter

  • Le Restaurant de Prada   Bab 11 Bosan Melihatmu

    “Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me

  • Le Restaurant de Prada   Bab 10 Membujuk Rumi

    Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t

  • Le Restaurant de Prada   Bab 9 Resign

    Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.

  • Le Restaurant de Prada   BAB 8 New Menu

    Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w

  • Le Restaurant de Prada   Bab 7 Berpisah

    Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.

  • Le Restaurant de Prada   Bab 6 Nota Tagihan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am

  • Le Restaurant de Prada   BAB 5 Kompensasi

    Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.

  • Le Restaurant de Prada   BAB 4 Obrolan Serius

    Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida

  • Le Restaurant de Prada   BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

    Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me

DMCA.com Protection Status