“Hidup Anda sepertinya membosankan sekali,” sindir Rumi sekadar memecah kebisuan sambil terus membersihkan luka pada wajah lelaki yang berbaring di sofa, di hadapannya.
Lelaki yang sesekali meringis setiap tekanan kapas beralkohol tujuh puluh lima persen di atas lukanya ini menatap Rumi sebentar sebelum berkata, “Aku tidak melakukan itu karena bosan. Kami saling mencintai.”
Rumi tanpa sadar menyunggingkan senyum mengejek. Tatapan mencela menghilangkan kesopanan dan rasa hormat.
“Berhenti menatapku dengan senyuman seperti itu!” seru lelaki ini pelan, namun penuh aura harus dipatuhi. “Dia baik dan penyayang. Perhatiannya tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun.”
Rumi mencibir. Tangannya bergerak tangkas mengganti kapas yang sudah kotor oleh darah dengan yang baru.
“Memangnya ada berapa wanita yang pernah dia kencani?” cetusnya berbisik pada diri sendiri.
Prada termasuk kategori lelaki tampan. Mata tajam berpupil kelam. Hidung runcing bak aktor Bollywood. Wajahnya manis walaupun memiliki kulit kuning langsat. Tinggi layaknya pemain basket. Rambut yang selalu tersisir rapi itu menambah kewibawaan. Rumi mengakui kerupawanan fisik bosnya ini meskipun tak membuatnya tertarik.
Selama ini banyak gadis cantik dan terawat berusaha mengikat perhatian Prada. Tapi mereka semua harus menelan kekecewaan. Tidak ada respon positif yang menandakan ketertarikan.
“Kamu mengatakan apa?”
Rumi menggelengkan kepala, kemudian berusaha mengalihkan perhatian. “Anda seharusnya ke rumah sakit.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” bentak lelaki ini setengah berteriak, tapi sedetik kemudian meringis. “Aku mendengarmu mengatakan sesuatu.”
“Mungkin Anda berhalusinasi karena pusing,” jelas Rumi asal sedang tangannya masih bergerak ke sana-sini membersihkan luka.
Prada masih melemparkan tatapan menyelidik sebelum menghela napas dan berkata, “Dia seperti sahabat, kakak, juga ibu. Kelembutannya hampir sama seperti Mama.”
Rumi mencibir lagi sambil meletakkan kapas di atas meja, kemudian meraih obat salep untuk memar. Dioleskannya perlahan pada memar di wajah lelaki ini.
“Mother complex,” celetuknya samar tanpa bisa ditahan.
“Apa?” tanya Prada sembari menepis pelan tangan Rumi karena merasa perih.
“Anda harus ke rumah sakit.” Rumi mengabaikan pertanyaan lelaki ini. Sekarang tangannya sibuk membereskan kotak P3K. “Luka dan memar Anda tidak mungkin hanya di wajah saja. Siapa tahu juga ada luka dalam. Akan berbahaya jika dibiarkan.”
“Aku tidak suka rumah sakit,” ujar Prada. Dia bergerak sedikit memperbaiki posisi tubuh agar lebih nyaman. Matanya dipejamkan. “Bau tempat itu menyebalkan.”
“Lelaki sekali,” sindir Rumi mencela. “Memangnya berapa usia Anda?”
“Rumiana Dara Priana! Koreksi kalimatmu ketika berbicara,” lelaki ini berkata tajam. Matanya sudah terbuka, menatap tak kalah tajam pada Rumi. “Sekali lagi berkata tidak sopan, aku tidak akan segan-segan memecatmu.”
Rumi hanya menggedik bahu tanpa berniat meminta maaf. Dia mengambil kotak P3K, lalu bergerak bangun; berjalan ke arah dapur menuju tempat kotak itu biasa diletakkan.
Yeah, begitulah! Lelaki ini adalah bosnya. Pemilik restoran Prada dimana Rumi bertugas sebagai manajer, Pradana Herman Wijaya.
Rumi seorang manajer yang patuh dan penurut. Sabar menghadapi keangkuhan bos yang selalu protes dengan apa pun yang dia usahakan. Dia menghormati lelaki ini sebagai atasan. Namun kejadian tadi membuatnya susah untuk berlaku normal.
Hari ini Rumi pulang larut seperti biasa. Mengecek segalanya dengan cermat sebelum melangkah pergi dari restoran. Berjalan santai menyeberangi jalanan sepi Kota Baru, Jogja, pukul 11:30 malam tanpa takut. Dia selalu melakukan ini. Rumah sederhana yang disewanya tidak terlalu jauh dari tempat kerja, sekitar lima menit berjalan kaki.
Ketika jarak rumah hanya tinggal beberapa meter, dia melihat kejadian yang tidak seharusnya terlihat. Di situ—sekitar lima puluh meter di depan sana—Prada, bosnya biasa disapa, meringkuk di atas aspal dekat mobil pribadinya dalam keadaan sedang dipukuli dua orang lelaki. Di hadapan bosnya itu berdiri angkuh seorang lelaki lain dan seorang wanita cantik di usia empat puluh tahun. Wanita tersebut terlihat khawatir sambil memohon pada lelaki angkuh tadi. Bahkan wajah itu sudah penuh dengan linangan air mata.
Terdapat dua mobil lagi. Satunya di belakang lelaki angkuh dan si wanita. Sedangkan yang satu lagi menghadang mobil Prada.
Sebenarnya, Rumi tidak ingin ikut campur. Tapi memikirkan kemungkinan akan kehilangan pekerjaan tanpa persiapan kalau pemilik restoran ini meninggal karena pembantaian, terpaksa dia harus melakukan sesuatu.
Menyadari kalau tidak bisa menghadapi tiga lelaki sekaligus, awalnya Rumi ingin berlari kembali ke restoran dan meminta pertolongan satpam yang berjaga. Tapi bosnya itu bisa saja segera meninggal kalau tidak cepat ditolong. Jadi, hati-hati dia menelepon satpam agar tidak menarik perhatian pelaku. Meminta agar satpam itu segera datang ke lokasi.
Tidak sempat terpikir untuk menghubungi polisi karena kondisi bosnya semakin mengenaskan. Dia harus bertindak. Minimal menghentikan pukulan, juga memberi jeda sampai bantuan datang.
Rumi segera melepas ikatan rambut dan mengacaknya sedikit. Lalu memasang wajah secemas mungkin sebelum berlari kencang mendekati tempat kejadian perkara.
“Sayang!” teriaknya histeris.
Sedikit gila dan receh, tapi hanya itu yang dapat Rumi pikirkan. Salahkan drama alay yang sesekali di tonton tatkala senggang.
“Apa yang kalian lakukan pada pacarku?” teriaknya berlagak marah sembari berdoa tidak ada orang yang dikenal melihat adegan ini.
Rumi mendorong dua orang tukang pukul itu menjauh sebelum mendekap tubuh Prada yang babak belur agar pukulan terhenti sementara. “Say... Astagaaa!”
Wajah bosnya ini sudah lebam sana-sini. Setengah hatinya ingin tertawa, setengah lagi merasa kasihan. Keangkuhan Prada yang biasa hilang tertelan lebam dan luka.
“Aku akan menuntut kalian!” ancamnya dengan wajah dibuat penuh dendam pada para pelaku pemukulan.
Lelaki angkuh yang berdiri tadi sempat heran beberapa detik, kemudian memandang dengan tatapan mencemooh. Sedangkan wanita yang berdiri di samping si lelaki menatap penuh tanda tanya.
“Kalian berdua akan mati sebelum sempat menuntut,” ucap lelaki angkuh itu sombong sembari memberi kode pada dua bawahannya tadi.
Dua lelaki tukang pukul itu kembali mendekat. Rumi memeluk Prada semakin erat. Menyesal telah berbuat nekat dan membahayakan nyawa sendiri. Dalam hati berdoa semoga pertolongan cepat datang. Tidak rela usianya dihabiskan begini saja. Masih dalam hati, mengutuki bosnya yang menjadi biang masalah dan bersumpah akan membuat perhitungan di dalam kubur kalau sampai ikut terbunuh.
Dua lelaki itu sudah siap memukul lagi. Suara geraman a la algojo yang mereka perdengarkan membuat Rumi semakin khawatir. Menarik napas dalam gadis ini menyiapkan diri menerima pukulan ketika terdengar suara sirene mobil polisi mendekat.
“Sial!” lelaki angkuh tadi memaki sedang Rumi bersyukur lega dalam hati. “Dengar! Peringatkan pacarmu agar jangan pernah mendekati istriku lagi atau dia akan mati!”
Setelah mengancam, lelaki itu menarik wanita yang disebut istrinya itu masuk kedalam mobil. Kedua algojo tadi mengikuti, masuk ke dalam mobil yang menghadang mobil Prada. Lalu mobil mereka pun melaju pergi. Meninggalkan Rumi yang bengong.
“Istriii!?” ***
Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me