Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala.
"Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.
Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.
Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang waktu. Prioritas pun terabaikan.
Prada menghentikan kegiatannya. Tersenyum miring dia menjawab, "Tentu saja menemani saya makan siang."
Rumi memutar bola mata. Jawaban yang tidak profesional sekali.
"Bapak seharusnya tahu kalau saya sekarang sedang sibuk, 'kan?" Rumi tidak menutupi kekesalannya. "Kalau memang tidak ada hal penting saya permisi."
"Ayolah!" seruan kecil ini menghentikan gerakan Rumi yang hendak berdiri dari duduk. "Sudah dua minggu seperti ini mengapa baru protes sekarang?"
"Saya hanya berusaha berempati," jelas Rumi membuat Prada sedikit kaget.
Rumi bisa berempati? Kemajuan yang mengejutkan.
"Mungkin Anda sedang tidak ingin sendiri karena baru putus," lanjut Rumi. "Sekarang sudah dua minggu. Berhenti bersikap manja dan meratapi hati yang patah. Banyak hal penting yang harus Anda pikirkan."
Prada langsung memberikan tatapan mematikan mendengar kata ‘manja’ keluar dari mulut itu. Nafsu makannya langsung hilang.
"Melakukan perintah atasan juga termasuk tugas penting," tekan Prada.
Rumi menghela napas. "Saya berusaha memahami perasaan Anda, tapi ini keterlaluan. Tugas saya di sini sebagai manager restoran. Kalau butuh babysitter, Anda bisa menyewanya. Atau ... telepon saja Ibu Anda."
Gigi Prada bergesekan, geram. Manager satu ini memang tidak pernah memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya. Sedangkan dia benci dikatakan manja namun lebih benci lagi jika dianggap sebagai anak mama.
"Keluar!" usir Prada.
Bukan kesal, Rumi malah mengangguk lega. "Permisi."
Prada menggeram seiring Rumi berjalan meninggalkan ruangan. Gadis itu memang pintar membuatnya kesal.
Dia menyandarkan tubuh ke sofa. Makanan yang masih separuh dibiarkan begitu saja.
Sebelah tangannya terbaring di kepala sofa, sedangkan sebelahnya lagi menempel di dada. Dia berusaha merasakan hatinya yang terluka. Heran karena sakitnya tidak separah yang dibayangkan.
Awalnya dia berpikir akan sangat menderita. Sempat membayangkan bahwa hidupnya akan hancur berantakan tanpa Wina.
Ya ... Wina … Wanita yang dia pikirkan meski badan remuk redam setelah dipukuli waktu itu.. Wanita bersuami yang dicintainya. Tapi ... Entahlah, belakangan dia tidak yakin rasa cintanya sebesar dulu. Kehadiran Rumi sangat membantu.
Rumi memang menjengkelkan. Sering sekali Prada marah-marah karena gadis itu. Namun sikap apa adanya memberikan kenyamanan yang tak pernah disangka. Seperti menemukan tempat yang tepat untuk mengeluarkan segala macam emosi pengganggu.
"Mengapa makannya enggak abis?" tanya seseorang mengagetkan Prada.
"Mama ..."
"Siapa lagi?" Mama Prada langsung duduk di samping anaknya ini. "Memangnya kamu punya orang lain yang biasa datang ke sini?"
Prada tersenyum kecil. "Enggak, Mama."
Mamanya langsung mendelik. "Sampai kapan kamu mau seperti ini, Prada?" Tangannya yang sibuk membuka barang bawaan━yang merupakan makanan masakan rumah━berhenti. "Jangan-jangan kamu benar ..."
"Enggak, Mama." Prada memotong pikiran aneh Mamanya. "Prada masih suka lawan jenis. Tenang aja."
Mamanya menyipit curiga. "Mungkin kamu memang butuh psikolog, psikiater, ahli terapi jiwa, atau apalah namanya."
Prada memutar bola mata. "Prada sangat normal, Mama. Kayanya Mama mau banget Prada sakit jiwa."
Mata wanita baya itu melotot seram. "Hush, jangan asal kalau ngomong!"
Prada mengangkat bahu. "Mama masak apa?"
Tangan Mamanya yang sempat berhenti kembali membuka makanan yang dibawa. "Kesukaan kamu."
Tak lama di atas meja terhidang berbagai jenis makanan. Ada urap kecambah, telur dadar tomat, kerupuk udang, dan sambal terasi.
Prada tergiur melihatnya. Nafsu makan yang tadi hilang kembali datang. Terutama karena ini buatan tangan Mamanya.
"Ini piring dan sendok." Wanita setengah baya ini memberikan peralatan makan wajib ada itu pada anaknya ini. "Kamu harus makan banyak. Biar benar-benar pulih."
"Siap, Komandan!" canda Prada sebelum menyendok nasi dan lauk-pauknya penuh semangat.
Mama Prada tersenyum cerah. Dia bahagia melihat Prada kembali bertenaga. Wanita ini khawatir melihat anaknya yang tampak murung seminggu lalu.
"Kapan kamu membawa menantu untuk Mama?" tanya Mama Prada setelah semenit terdiam memandangi anaknya makan.
Sendok di tangan Prada yang siap meluncur ke dalam mulut terhenti di udara. Nafsu makannya lagi-lagi hilang seketika.
Dia menghela napas. Baik Rumi maupun Mamanya handal sekali mematahkan kesenangan orang lain. ***
Rumi tampak tergesa berjalan menuju ruangan Prada. Bibirnya membentuk satu garis lurus tanda sedang menahan kesal. Dia marah besar.
Setelah meninggalkan Prada tadi, dia pergi ke dapur restoran. Ketika itulah matanya menangkap menu asing yang dibawa salah satu waiter.
"Apa itu?" tanya Rumi menghentikan waiter itu.
"Menu baru restoran yang jadi andalan hari ini, Bu," jawab waiter itu polos.
"Menu baru?" Rumi mengernyit sampai kedua alisnya menyatu.
"Bu Rumi tidak tahu?" waiter itu malah balik heran melihat raut wajah Rumi.
Rumi tersenyum sekilas. "Lanjutkan kegiatanmu."
Waiter itu mengangguk, lantas kembali berjalan menuju depan mengantarkan pesanan. Rumi langsung menarik napas dalam. Amarah memenuhi rongga dada. Cepat dia berjalan ke dapur. Tujuannya hanya satu, meminta penjelasan dari Kepala Koki baru mereka.
"Chef Eresta, kita harus bicara," ujar Rumi saat sudah berada di dapur.
"Saya sibuk," jawab Eresta tanpa menoleh.
Mata itu terus saja mengamati kerja para Chef de Partie dan Commis yang sedang memasak.
"Sous Chef, gantikan Chef Eresta sebentar." Rumi meminta Wakil Kepala Koki mereka untuk bergerak menggantikan tugas Kepala Koki mereka.
Eresta memutar badannya sedikit menghadap Rumi. "Dapur ini tanggung jawab saya; daerah kekuasaan saya. Anda ..."
Sebuah tarikan dari Rumi menghentikan ucapan Eresta. Rumi sudah tidak tahan mendengar ocehannya yang sering menyengat hati. Tak peduli dengan seruan protes chef sombong ini, Rumi memaksanya ikut ke ruangan manager.
"Silahkan duduk," ucap Rumi setelah mengunci pintu. Tindakan antisipasi agar Chef keras kepala ini tidak kabur.
Eresta memilih tetap berdiri. Angkuh dia melipat kedua tangan di depan dada dan sedikit menaikkan dagu.
"Baiklah, terserah Anda." Rumi duduk di kursinya. "Jelaskan mengapa bisa ada menu baru hari ini tanpa sepengetahuan saya?"
Berbasa-basi dengan Eresta adalah hal percuma. Rumi sudah pernah melakukannya. Hanya akan menghasilkan percakapan panjang yang tidak bermutu dan menghabiskan waktu.
"Merombak menu adalah hak saya." Eresta tidak menunjukkan celah merasa bersalah.
Dia sadar tidak profesional dalam bekerja. Menyusahkan hidup Rumi merupakan tujuannya.
"Mengetahui resep baru sebelum tercantum di buku menu adalah tugas saya," balas Rumi.
Eresta mendengus. "Menu adalah bagian saya. Itu wilayah dapur."
"Sebuah resep baru bisa masuk ke dalam buku menu atau tidak tetap harus ada diskusi terlebih dahulu. Restoran ini bukan milik Anda. Anda hanyalah seorang Kepala Koki restoran, dan saya Managernya. Jika menu baru ini menghasilkan masalah, maka saya yang terlebih dahulu diadili Pemilik restoran ini ... bukan Anda."
Eresta mendecih. "Anda hanya Manager, bukan Pemilik. Pemilik restoran sudah setuju dengan itu, lalu masalahnya dimana?"
Rumi terkejut tentu saja, tapi yang tampak hanya ekspresi dingin dengan mata tajam menyorot. Dia tahu sekarang siapa yang harus bertanggung jawab atas kemarahannya ini.
Bangun dari duduk, dia berjalan menuju pintu dan membuka kunci. "Anda boleh pergi."
Mengibaskan rambut secara menyebalkan Eresta melangkah ke luar ruangan. Dia sengaja berhenti sebentar di depan Rumi. Secara slow motion menoleh, menghadiahkan sebuah senyum sinis meremehkan sebelum lanjut melangkah menuju dapur. ***
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
“Hidup Anda sepertinya membosankan sekali,” sindir Rumi sekadar memecah kebisuan sambil terus membersihkan luka pada wajah lelaki yang berbaring di sofa, di hadapannya. Lelaki yang sesekali meringis setiap tekanan kapas beralkohol tujuh puluh lima persen di atas lukanya ini menatap Rumi sebentar sebelum berkata, “Aku tidak melakukan itu karena bosan. Kami saling mencintai.” Rumi tanpa sadar menyunggingkan senyum mengejek. Tatapan mencela menghilangkan kesopanan dan rasa hormat. “Berhenti menatapku dengan senyuman seperti itu!” seru lelaki ini pelan, namun penuh aura harus dipatuhi. “Dia baik dan penyayang. Perhatiannya tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun.” Rumi mencibir. Tangannya bergerak tangkas mengganti kapas yang sudah kotor oleh darah dengan yang baru.
Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
“Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me
Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t
Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.
Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w
Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am
Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.
Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida
Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me