Beranda / Romansa / Le Restaurant de Prada / BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

Share

BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

Penulis: Mumu Rahadi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-04 18:21:39

Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main.

“Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...”

Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus.

“Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...”

Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap mendengarkan nyanyian managernya itu sembari memperhatikan langit-langit ruangan.

Rumi ... Gadis itu terlalu santai menanggapi kehadirannya di rumah ini. Seolah tidak menganggap bahwa dirinya seorang laki-laki. Tapi memang begitulah Rumi. Sedikitpun belum pernah telihat binar ketertarikan setiap melihatnya. Dan dia merasa terbantu akan itu.

Lima tahun menjalankan bisnis restoran tidak semudah yang dipikirkan. Selama itu dia sudah mengganti manajer sebanyak enam kali sampai akhirnya mempekerjakan Rumi. Sebagian mengundurkan diri karena tak tahan dengan kecerewetannya. Sebagian lagi dipecat sebab berusaha merayunya. Satu diantara semua malah menyebarkan gosip bahwa dia memiliki penyimpangan orientasi.

Merekrut Rumi sebagai manajer memberi kenyamanan tersendiri. Gadis itu selalu memberikan hasil terbaik dalam bekerja. Tahan banting dengan kecerewetannya. Tegas menyampaikan pendapat. Dia juga profesional. Meskipun secara pribadi terlihat sekali tidak menyukainya, tapi tetap mengerjakan tugas sesempurna mungkin. Bahkan tadi menyelamatkannya.

Prada menarik napas dalam, namun berhenti kemudian. Bagian dadanya sakit. Dia meringis kesekian kali.

Memegangi bagian yang sakit dia mengingat setiap pukulan yang diterima. Kata-kata bengis lelaki tua yang sudah merebut kekasihnya masih terngiang-ngiang. Tangisan Wina ... Emosinya meluap. Tanpa sadar tangannya sudah mencengkram dada.

Dua pesuruh itu dan bosnya ... Mereka telah membuat Wina menangis. Wajah cantik kekasihnya itu tertutup air mata kepedihan.

Wina ... Menyebut nama itu dalam hati menyebabkan nyeri sekaligus melembutkan perasaan, kemudian memunculkan rasa cemas. Dia tidak tahu keadaan Wina sekarang. Apa wanitanya akan disiksa lelaki tua itu?

Br*ngs*k! Kepalan tangannya memukul punggung sofa. Rasa sakit terlupakan. Memikirkan itu membuatnya ingin berlari menemui mereka dan merampas Wina pergi. Tetapi tubuhnya tidak bereaksi sama. Hanya karena tiba-tiba bangun untuk duduk, semua sendi seakan putus dan tulang seolah rontok. Terpaksa dengan susah payah dia berbaring kembali.

Dia menghela napas sebelum memejamkan mata. Sedikit menanggulangi rasa sakit, namun tidak akan pernah nyaman jika terus berbaring di sofa yang lebih pendek dari panjang tubuhnya. Berdecak pelan kembali dia membuka mata.

Sebelah tangannya berpegang pada punggung sofa. Sekali lagi---kali ini lebih hati-hati, dengan susah payah---dia duduk. Pelan dia memutar, melihat ke belakang di mana kamar berada. Senyum licik terlihat di wajahnya.

Dia melirik ke kamar mandi. Guyuran air masih terdengar meskipun nyanyian Rumi sudah terhenti sejak tadi. Gadis itu sepertinya belum akan selesai dalam beberapa menit ke depan. Kesempatan emas untuk menguasai kamar kosong.

Menahan rasa sakit dia menyeret langkah secepat mungkin menuju kamar. Merasa lega setelah memastikan pintu terkunci. Kemudian langsung merebahkan diri ke atas kasur. Memang tidak senyaman dan seluas kasur di rumahnya, tapi lebih baik daripada berbaring di sofa.

Setelah mendapatkan posisi ternyaman, dia memaksa diri untuk terlelap. Melepaskan lelah tubuh dan hati seharian ini. ***

Rumi duduk di kursi kecil khusus untuk di kamar mandi. Air yang keluar dari shower terus membasahi kepala dan punggung. Tangannya menggosok sela-sela kaki. Lupa kalau sudah 15 menit melakukan itu. Pikirannya melayang pada kejadian pengeroyokan bosnya satu jam lalu.

Sebenarnya dia bukan orang yang peduli dengan masalah orang lain. Apalagi harus sibuk mencari tahu urusan mereka. Tapi apa yang Prada alami mampu membuatnya tidak dapat berhenti berpikir 'mengapa'.

Mulai dari mengapa bosnya menyukai wanita yang lebih tua? Mengapa bosnya menjalin hubungan asmara dengan istri orang lain? Mengapa bisa ketahuan? Mengapa dia harus melihat kejadian itu? Mengapa dia masuk dalam masalah ini?

Kemudian diikuti pertanyaan yang diawali dengan 'bagaimana'. Bagaimana kalau penjahat itu menyerang kembali? Bagaimana kalau mereka mengingat wajahnya, lalu menjadikannya target baru? Hidupnya akan dalam bahaya!

Terbawa pikiran, tanpa sadar digosoknya permukaan kaki kuat-kuat. Rasa geram muncul tiba-tiba. Ini semua karena Prada.

Arggg ... Kuingin kau matiii~saja ... Kuingin kau matiii~saja...” Lagu milik Souljah ini diteriakkan sepenuh hati. Dia tidak berpikir lagi tentang tetangga yang mungkin terganggu mendengar nyanyian gila dini hari.

Puas mengekspresikan diri, Rumi memutuskan untuk menyudahi sesi ini. Terlebih kulitnya sudah mengkerut karena terlalu lama disiram air. Sekarang giliran kasur yang menari-nari dipikiran.

Sudah terbayang lembutnya bantal dan hangatnya selimut. Jadi setelah mengelap diri dan memakai piyama, dia keluar dari kamar mandi. Langkahnya ringan menuju kamar tanpa perlu menoleh ke sofa. Tapi ...

“Terkunci?” Dia bingung mendapati pintu kamar yang tidak bisa dibuka.

Sekali lagi dia mencoba mendorong pintu. Tetap tidak bisa. Berkali-kali pun mencoba hasilnya sama saja.

Setengah depresi dia melirik ke arah sofa ... Kosong! Bosnya tidak ada di sana. Grrr!

“Pak Pradana, buka pintunya.” Dia menggedor pintu kesal.

Senyap ... Tak ada respon dari dalam. “Pak Pradana!” Kembali menggedor. “Pak!”

Usaha sia-sia. Bosnya itu menulikan diri dari keributan yang dia buat.

"Pak Pradana, Anda tidak boleh begini. Ini rumah saya!" pantang menyerah dia masih berusaha.

Kamar ini miliknya. Haknya untuk tidur di dalam sana. Menikmati empuk kasur yang nyaman.

"Pak Pradana!" gedornya geram.

Tindakan yang lebih heboh daripada sebelumnya. Tidak memperdulikan lagi jika ada bapak-bapak yang sedang ronda mendengar kericuhan ini. Malah lebih baik. Dibantu bapak-bapak itu dia bisa mengusir Prada. Beruntung lagi jika mampu menyeret bosnya itu ke rumah sakit.

"Arggg!" memukul daun pintu sekali dengan sekuat tenaga diikuti hentakan kaki yang geram, akhirnya dia berjalan menuju sofa.

Duduk menyerah di sana. Matanya memandang tajam pintu yang tak bersalah. Selanjutnya mulut itu mengeluarkan sampah makian yang selama ini diketahui.

Arggg!” Bosnya itu sudah keterlaluan.

Tadi membuatnya susah; merepotkannya di luar jam kerja. Saat ini malah mengambil ruang pribadinya. Mungkin memang bukan seorang bos kalau tidak menyulitkan pegawai.

“Lihat saja, aku akan membuat perhitungan yang pantas.”

Dia sedikit melupakan kekesalan memikirkan rencana ini. Senyum kepuasan muncul di wajahnya. “Pegawai bekerja untuk dibayar—meskipun di luar jam kerja. Tapi ...”

Dia memandang tak rela pada sofa yang diduduki. Dia harus tidur di sini.

Arggg ...” Digigitnya handuk kuat-kuat. ***

Bab terkait

  • Le Restaurant de Prada   BAB 4 Obrolan Serius

    Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-04
  • Le Restaurant de Prada   BAB 5 Kompensasi

    Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-04
  • Le Restaurant de Prada   Bab 6 Nota Tagihan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-06
  • Le Restaurant de Prada   Bab 7 Berpisah

    Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Le Restaurant de Prada   BAB 8 New Menu

    Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-08
  • Le Restaurant de Prada   Bab 9 Resign

    Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • Le Restaurant de Prada   Bab 10 Membujuk Rumi

    Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Le Restaurant de Prada   Bab 11 Bosan Melihatmu

    “Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-16

Bab terbaru

  • Le Restaurant de Prada   Bab 11 Bosan Melihatmu

    “Anda serius?” Rumi memastikan kalau pendengarannya sedang tidak bermasalah.Lima menit lalu Prada meminta Rumi ke ruangannya. Rumi pun segera pergi ke sana. Lalu, saja gadis ini mendengar kalau Prada akan memberikan libur satu hari untuk seluruh karyawan ... Besok.“Tentu,” jawab Prada santai.“Tapi besok hari minggu!” Rumi tidak menutupi kekesalannya.“Lantas?” Prada malah terlihat menantangnya.“Jumlah pelanggan yang datang meningkat dari hari biasa. Libur di akhir pekan itu merugikan.”“Tidak akan berpengaruh banyak.” Prada tidak menanggapi serius protes yang Rumi lontarkan. “Pegawai yang memiliki me

  • Le Restaurant de Prada   Bab 10 Membujuk Rumi

    Rumi memandang malas pada Prada yang berdiri di depannya sekarang. Dia sedang ingin mandi setelah sedari pagi menonton beberapa film yang menguras air mata ketika suara ketukan sekaligus panggilan terdengar."Mengapa Anda ke sini?" tanya Rumi tak bersahabat.Bagaimana pun dia bosan kalau hampir tiap hari dikunjungi. Apalagi si pengunjung adalah Prada yang tidak ingin ditemui."Memastikan kalau kamu masih di rumah ini," jawab Prada santai.Sebelah tangannya diangkat sejajar mata Rumi. Memamerkan kantung makanan yang dibawa.Rumi memutar bola mata. Lelaki ini akan menumpang tempat untuk menghabiskan makan siangnya."Terima surat pengunduran diri itu, maka saya pastikan t

  • Le Restaurant de Prada   Bab 9 Resign

    Suara ketukan terdengar dari luar saat Prada memaksa diri menghabiskan makanan yang ada di dalam piring. Pertanyaan 'Kapan Mama punya mantu?' tadi sangat merusak selera, tapi harus tetap makan juga kalau tidak ingin melihat wanita yang melahirkannya itu merajuk."Masuk!" seru Prada.Dia bersukur mendapat jeda menyuap. Isi perutnya sudah mendorong ke arah tenggorokan, membuat mual.Dalam sedetik pintu langsung terbuka. Rumi muncul dari balik pintu. Raut mukanya masam. Tatapannya tajam seolah siap menerkam. Dia hendak mengatakan kalimat tidak menyenangkan waktu melihat Mama Prada duduk di samping anak yang merangkap bosnya itu."Ah ... Maaf saya mengganggu."Tersadar bukan waktu yang tepat, Rumi membungkuk sekilas.

  • Le Restaurant de Prada   BAB 8 New Menu

    Rumi duduk bersandar pada sofa single dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Prada yang sedang menyuap makanan. Rasa jengkel sudah memenuhi kepala."Jadi ... mengapa Anda memanggil saya?" tanya Rumi berusaha meredam emosi. Menghadapi bosnya ini memang perlu kesabaran ekstra.Saat ini jam makan siang. Seharusnya dia tidak boleh bersantai seperti sekarang. Waktu sibuk seperti ini semestinya dia berkeliling memantau kerja para pegawai. Namun sebuah panggilan telepon dari si pemilik restoran mengacaukan semua.Awalnya dia pikir ada hal penting yang harus disampaikan Prada. Namun dua minggu mengalami kejadian serupa membuatnya kesal. Terutama hal yang dikira penting itu hanya menonton Prada makan siang. Sangat membuang w

  • Le Restaurant de Prada   Bab 7 Berpisah

    Rumi terpana melihat dekorasi ruangan restoran yang mereka datangi. Wanita ini sempat berpikir kalau Prada akan membawanya ke sebuah restoran bintang lima seperti hal orang-orang kaya. Ternyata lelaki ini membawanya ke tempat yang lebih menarik. Di pintu masuk mereka langsung disambut dua pohon kelapa gading kuning asli. Sengaja ditanam di sana agar memberikan kesan pesisir. Masuk ke dalam disambut dengan langit-langit ruangan yang dilukis awan putih dan langit biru yang cerah. Memberi kesan liburan musim panas telah tiba. Dindingnya dilukis pemandangan pantai yang menyegarkan, pohon kelapa, pasir putih, dan laut. Lantainya ditabur pasir putih setebal lima sentimeter—terbukti dengan heels sepatu Rumi yang tenggelam. Terdengar juga deru ombak berirama sebagai latar. Dan tak ketinggalan angin buatan yang sepoi-sepoi.

  • Le Restaurant de Prada   Bab 6 Nota Tagihan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Hari ini Prada sudah kembali datang ke restoran. Kesempatan bagi Rumi untuk memberikan nota tagihan yang tujuh hari ini tergeletak di dalam laci meja kerjanya. Awalnya Rumi ingin memberikan laporan keuangan dan nota itu pada hari yang sama dengan dibawanya Prada ke rumah sakit. Sekaligus ingin membahas tentang Kepala Koki mereka. Ketika sedikit senggang dia menyempatkan diri menjenguk Prada di sana. Tetapi perawat mengatakan kalau pasien yang bernama Pradana Herman Wijaya telah keluar dari rumah sakit sejak tengah hari. Rumi merasa heran karena jam lima pagi itu Prada baru dibawa ke rumah sakit. Bagaimana bisa dia sudah keluar dari sana di hari yang sama mengingat kondisi Prada yang sekarat? Namun Rumi tidak terlalu am

  • Le Restaurant de Prada   BAB 5 Kompensasi

    Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain.Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.”Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini.

  • Le Restaurant de Prada   BAB 4 Obrolan Serius

    Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan. Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tida

  • Le Restaurant de Prada   BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

    Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main. “Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...” Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus. “Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...” Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap me

DMCA.com Protection Status