Rasanya sesak ketika Irene menyebut nama perempuan yang kini tengah dekat dengan Juna. “Mey?” Juna sedikit tersentak. Padahal sedetik lalu, dia merasa hatinya berbunga. “Iya, Mey,” kata Irene kembali memperjelas. Juna menghela napas. Dia ingat kalau Irene pernah mengangkat panggilan dari Memey. Dan nama kontak perempuan itu di handphone Juna adalah Mey. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu,” jawab Juna. “Bohong.” Irene langsung menyangkal dengan cepat. Sudah menjadi kebiasaan Juna untuk tidak jujur. “Bener, Ren. Aku nggak ada hubungan apa-apa. Oke, aku ngaku dia memang mantanku ketika kuliah. Tapi sekarang kami nggak ada hubungan apa pun.” Juna mencoba untuk meyakinkan dan jujur pada Irene. “Tapi saat di telepon, dia memanggilmu dengan sapaan sayang.” Tanpa Irene sadari, dia menunjukkan sikap posesifnya. Irene masih ingat dengan jelas ucapan wanita tersebut. Karena itu lumayan memberikan impact yang besar untuknya. Emosinya pada Juna pun meningkat. Gara-gara wani
“Maaf, Jun … sepertinya tidak bisa.”Jawaban Irene tentu membuat hati Juna berdenyut nyeri. Dia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah penolakan dari gadis itu. Padahal Juna yakin, kalau Irene pun masih memiliki perasaan yang sama padanya.“Kenapa, Ren?”Tentu Juna butuh alasan dari jawaban Irene itu.Irene menjilat bibirnya yang mendadak kering itu. Sebenarnya, Irene ingin mengatakan iya. Hanya saja, hatinya masih bimbang. Masih banyak kekhawatiran yang terus membayangi Irene. Apalagi kejadian malam itu, Irene masih belum bisa melupakannya.“Aku masih ingin sendiri. Aku ingin menata hatiku lagi,” jawabnya singkat namun jelas.“Kamu masih khawatir dan nggak percaya sama aku, Ren?” tanya Juna.Pastilah Juna sadar diri dengan posisinya. Irene berlaku seperti ini, karena perilaku Juna yang menyakiti hatinya. Juna yang sudah gegabah dalam mengambil langkah, dan tidak sabaran.Juna mencoba meraih tangan Irene. Beruntungnya gadis itu tidak menolak, bahkan dia menoleh ke arah Juna dengan ta
Benar, dua orang yang sedang berada di dekat pusara ayah Irene adalah Justin dan Jessica, kedua orang tua Juna. Yang terkejut bukan hanya mereka bertiga, tetapi kedua pasangan suami istri itu pun nampak kaget tatkala melihat Juna dan Irene yang ada di sana. “Ah, J-Juna. Sedang apa kamu di sini?” tanya Jessica yang mendadak tergagap. Juna mengerutkan keningnya. “Aku yang bertanya duluan, Ma?” lemar Juna. “Iya, Tante dan Om sedang apa di makam papa saya?” tanya Irene. Jika Irene dan Juna merasa heran dengan keberadaan Justin dan Jessica. Maka berbeda dengan Irgie. Dia juga merasa terheran-heran, tapi alasannya berbeda dengan mereka berdua. “Ah … a-anu ….” Jessica nampak gugup saat ditanya demikian. “Kak, lebih baik kita sapa Mama dan Papa dulu,” bisik Irgie. Adik laki-laki Irene itu, langsung mengalihkan fokus mereka. “Benar, Ren. Kalian mau menyapa kedua orang tuamu, bukan? Silakan, kami sudah selesai,” sambut Justin, yang langsung mempersilakan mereka untuk mendekat ke arah mak
Irene hanya bisa berdiam diri di kamar. Padahal beberapa kali Irgie dan Lina memanggilnya. Bahkan untuk makan saja dia enggan keluar kamar. Tidak hanya sang adik dan bibinya yang mengkhawatirkan Irene. Juna pun turut merasa gelisah dengan keadaan yang sedang dirasakan Irene. Beberapa kali pria itu mencoba menghubungi Irene, tapi tak kunjung dijawab. Malahan Irene memutuskan untuk mematikan ponselnya. Keesokan harinya, saat kondisi Irene merasa sudah baikan. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Salah satu alasan dia keluar dari kamar, karena merasa lapar, seharian kemarin dia tidak masuk makanan sama sekali. “Bibi udah bikinkan sarapan. Makanannya ada di meja, ya, Kak,” ucap Irgie yang membuat Irene sedikit tersentak. Pasalnya adiknya itu tiba-tiba keluar dari kamar dan berjalan di belakang Irene. “Aku mandi dulu. Kalau Kakak mau mandi setelah aku. Lebih baik Kakak makan dulu aja,” imbuh Irgie, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan handuk yang melingkar di lehernya. I
“Ada apa Irene?” tanya Erlina. Karena rasa penasarannya masih belum terjawab, maka Irene memberanikan diri untuk bertanya langsung pada sang ketua departemen. Dari awal memang Erlina lah yang langsung memberikan tawaran pekerjaan menjadi staff administrasi departemen sejarah. Saat itu rona bahagia terpancar di wajah Irene. Karena ini merupakan kesempatan yang sangat langka. “Maaf, Bu. Ada yang ingin saya tanyakan,” jawab Irene yang kini sedang duduk berhadapan dengan Erlina di ruang kerjanya. “Iya, silakan,” ucap Erlina mempersilakan Irene. Gadis itu menarik bibirnya ke dalam, “Maaf kalau saya lancang dengan pertanyaan saya ini, Bu,” ucap Irene memberikan prolog. Irene tahu, mungkin pertanyaannya ini bisa dikatakan tidak sopan. Apalagi kalau dugaannya salah. Namun, begitu, dia tetap ingin mempertanyakannya. Karena ini menyangkut prinsip hidupnya sendiri. “Katakan saja,” sahut Erlina sambil mengangguk. Seolah dirinya tidak keberatan dengan apa pun pertanyaan yang akan keluar dar
“Kak Memey? Ada apa dia telepon? Tumben banget,” gumam Irene sambil menatap layar ponselnya.Sejurus kemudian, gadis itu langsung menekan tombol berwarna hijau. Lalu dia mendekatkan ponsel pada daun telinganya.“Halo, Kak Mey?” sapa Irene.“Halo, Ren. Apa kabar?” tanya Memey dengan nada yang ceria.“Baik, Kak. Kakak gimana?” Irene bertanya balik.Terakhir mereka saling berkirim pesan, mungkin sekitar 1 atau 2 bulan lalu. Irene tak begitu ingat dengan pasti.“Baik juga. Oh iya, aku ganggu nggak?” tanya Memey lagi.“Santai. Aku lagi nggak sibuk, Kak,” jawab Irene.Memey menghela napas lega. “Syukurlah, aku kira kamu lagi sibuk, Ren. Ngomong-omong, minggu depan kamu ada waktu luang, kan?”“Kapan, Kak?”“Hmm … sekitar hari Sabtu.”Sebenarnya Irene hanya basa-basi, dia sendiri tidak memiliki agenda khusus. Kehidupannya sekarang hanya di kosan dan juga kampus.“Free, Kak. Ada apa?”“Ah, syukurlah. Aku rencanaya minggu ke depan mau ke Bandung. Kita bisa ketemu, kan? Tapi … jangan malem, soal
Bagaimana jika semua orang tahu, kalau Irene bisa bekerja di kampus karena orang dalam? Pasti kebanyakan di antara mereka akan merasa sangat kecewa. Pasalnya, Irene melihat ekspektasi mereka terlalu tinggi padanya. Walau pada awalnya, Irene pun berpikir demikian.Intinya dirinya saja bisa kecewa. Apalagi orang lain?Kini Irene hanya bisa melamun saat rapat digelar. Bahkan Irene sudah tidak fokus mendengarkan pembahasan rapat, sejak lima menit pertama. Tanpa sadar dirinya mencoret-coret buku kecil miliknya. Sampai kertas pada halaman tersebut sudah berubah hitam oleh tinta.“Mbak Irene,” bisik Mia memanggil Irene.Sedari tadi Mia memperhatikan Irene yang sedang melamun.“Irene,” panggil Mia lagi sambil menyikut Irene. Pasalnya Mia juga sadar bahwa ada orang lain yang sedang memandang Irene, yang sedang melamun.“Ya?” Irene langsung mengerejap dan menoleh ke arah Mia.“Perhatiin, nggak enak Pak Juna notice kamu lagi ngelamun,” katanya masih berbisik.“Hah?” Irene nampak sedikit terkejut
“Angkat dulu saja,” pinta Irene.Pasalnya ponsel Juna terus berdering, dan pria itu tidak melakukan apa pun, baik mematikan atau mengangkatnya.“Nggak usah sungkan. Angkat saja dulu,” pintanya lagi.Juna mendesah, dia pun menuruti permintaan Irene, mengangkat panggilan dari sang mantan pacar.“Ya, halo, Mey?” sapa Juna sesaat dirinya mengangkat panggilan tersebut.“Wah, tumben banget kamu langsung angkat teleponku, Sayang. Biasanya aku harus spam dulu baru kamu angkat,” sindir Memey.Juna memutar bola matanya malas. Lagi-lagi dia mendesah kasar, dan kegiatan itu dilihat oleh Irene dengan tatapan yang menyipit.“Ada apa?” tanya Juna yang malas berbasa-basi.“Jun, kenapa makin hari kamu makin ketus, sih? Kemarin aja kamu datang padaku dengan wajah yang sangat manis. Bahkan sampai meminta bantuanku. Kenapa? Kamu berubah pikiran lagi?” cerocos Memey.“Aku lagi ada tamu. Jadi, cepat katakan maksud dan tujuanmu menghubungiku. Kalau tidak aku akan langsung menutup panggilannya!” tegas Juna.
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka