Sebenarnya, kejadian Juna bertemu dengan Irene bukanlah hal kebetulan. Dia memang berniat menjemput Irene di kosannya, karena mendapatkan permintaan dari Irgie. Ternyata, Tuhan mempermudah usahanya, dia malah bertemu dengan Irene di halte.Irgie menghubungi Juna dan memintanya untuk mengantar Irene ke terminal. Karena Irgie mendapatkan pesan dari sang kakak, yang harus menunggu karena terjebak hujan.“Hari ini tepat enam tahun ayahmu meninggal, kan?”“Kok Bapak bisa tahu?” tanya Irene dengan ekspresi wajah terkejut. Seingatnya dia tidak pernah memberi tahu, kapan ayahnya meninggal pada Juna.“Aku tahu. Ayo aku antar. Kasihan adik kamu nunggu,” jawab Juna yang tidak menjawab pertanyaan Irene dengan jelas.Irene mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian, dia merasa sedikit curiga.“Ah, jangan-jangan Irgie yang kasih tahu,” batinnya.“Ayok, kita segera berangkat. Apa kamu mau menunggu empat jam di sini?” tanya Juna.Tentu tidak, Irene tidak ingin menunggu selama itu. Ditambah cuaca kota ke
Rasanya sesak ketika Irene menyebut nama perempuan yang kini tengah dekat dengan Juna. “Mey?” Juna sedikit tersentak. Padahal sedetik lalu, dia merasa hatinya berbunga. “Iya, Mey,” kata Irene kembali memperjelas. Juna menghela napas. Dia ingat kalau Irene pernah mengangkat panggilan dari Memey. Dan nama kontak perempuan itu di handphone Juna adalah Mey. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu,” jawab Juna. “Bohong.” Irene langsung menyangkal dengan cepat. Sudah menjadi kebiasaan Juna untuk tidak jujur. “Bener, Ren. Aku nggak ada hubungan apa-apa. Oke, aku ngaku dia memang mantanku ketika kuliah. Tapi sekarang kami nggak ada hubungan apa pun.” Juna mencoba untuk meyakinkan dan jujur pada Irene. “Tapi saat di telepon, dia memanggilmu dengan sapaan sayang.” Tanpa Irene sadari, dia menunjukkan sikap posesifnya. Irene masih ingat dengan jelas ucapan wanita tersebut. Karena itu lumayan memberikan impact yang besar untuknya. Emosinya pada Juna pun meningkat. Gara-gara wani
“Maaf, Jun … sepertinya tidak bisa.”Jawaban Irene tentu membuat hati Juna berdenyut nyeri. Dia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah penolakan dari gadis itu. Padahal Juna yakin, kalau Irene pun masih memiliki perasaan yang sama padanya.“Kenapa, Ren?”Tentu Juna butuh alasan dari jawaban Irene itu.Irene menjilat bibirnya yang mendadak kering itu. Sebenarnya, Irene ingin mengatakan iya. Hanya saja, hatinya masih bimbang. Masih banyak kekhawatiran yang terus membayangi Irene. Apalagi kejadian malam itu, Irene masih belum bisa melupakannya.“Aku masih ingin sendiri. Aku ingin menata hatiku lagi,” jawabnya singkat namun jelas.“Kamu masih khawatir dan nggak percaya sama aku, Ren?” tanya Juna.Pastilah Juna sadar diri dengan posisinya. Irene berlaku seperti ini, karena perilaku Juna yang menyakiti hatinya. Juna yang sudah gegabah dalam mengambil langkah, dan tidak sabaran.Juna mencoba meraih tangan Irene. Beruntungnya gadis itu tidak menolak, bahkan dia menoleh ke arah Juna dengan ta
Benar, dua orang yang sedang berada di dekat pusara ayah Irene adalah Justin dan Jessica, kedua orang tua Juna. Yang terkejut bukan hanya mereka bertiga, tetapi kedua pasangan suami istri itu pun nampak kaget tatkala melihat Juna dan Irene yang ada di sana. “Ah, J-Juna. Sedang apa kamu di sini?” tanya Jessica yang mendadak tergagap. Juna mengerutkan keningnya. “Aku yang bertanya duluan, Ma?” lemar Juna. “Iya, Tante dan Om sedang apa di makam papa saya?” tanya Irene. Jika Irene dan Juna merasa heran dengan keberadaan Justin dan Jessica. Maka berbeda dengan Irgie. Dia juga merasa terheran-heran, tapi alasannya berbeda dengan mereka berdua. “Ah … a-anu ….” Jessica nampak gugup saat ditanya demikian. “Kak, lebih baik kita sapa Mama dan Papa dulu,” bisik Irgie. Adik laki-laki Irene itu, langsung mengalihkan fokus mereka. “Benar, Ren. Kalian mau menyapa kedua orang tuamu, bukan? Silakan, kami sudah selesai,” sambut Justin, yang langsung mempersilakan mereka untuk mendekat ke arah mak
Irene hanya bisa berdiam diri di kamar. Padahal beberapa kali Irgie dan Lina memanggilnya. Bahkan untuk makan saja dia enggan keluar kamar. Tidak hanya sang adik dan bibinya yang mengkhawatirkan Irene. Juna pun turut merasa gelisah dengan keadaan yang sedang dirasakan Irene. Beberapa kali pria itu mencoba menghubungi Irene, tapi tak kunjung dijawab. Malahan Irene memutuskan untuk mematikan ponselnya. Keesokan harinya, saat kondisi Irene merasa sudah baikan. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Salah satu alasan dia keluar dari kamar, karena merasa lapar, seharian kemarin dia tidak masuk makanan sama sekali. “Bibi udah bikinkan sarapan. Makanannya ada di meja, ya, Kak,” ucap Irgie yang membuat Irene sedikit tersentak. Pasalnya adiknya itu tiba-tiba keluar dari kamar dan berjalan di belakang Irene. “Aku mandi dulu. Kalau Kakak mau mandi setelah aku. Lebih baik Kakak makan dulu aja,” imbuh Irgie, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan handuk yang melingkar di lehernya. I
“Ada apa Irene?” tanya Erlina. Karena rasa penasarannya masih belum terjawab, maka Irene memberanikan diri untuk bertanya langsung pada sang ketua departemen. Dari awal memang Erlina lah yang langsung memberikan tawaran pekerjaan menjadi staff administrasi departemen sejarah. Saat itu rona bahagia terpancar di wajah Irene. Karena ini merupakan kesempatan yang sangat langka. “Maaf, Bu. Ada yang ingin saya tanyakan,” jawab Irene yang kini sedang duduk berhadapan dengan Erlina di ruang kerjanya. “Iya, silakan,” ucap Erlina mempersilakan Irene. Gadis itu menarik bibirnya ke dalam, “Maaf kalau saya lancang dengan pertanyaan saya ini, Bu,” ucap Irene memberikan prolog. Irene tahu, mungkin pertanyaannya ini bisa dikatakan tidak sopan. Apalagi kalau dugaannya salah. Namun, begitu, dia tetap ingin mempertanyakannya. Karena ini menyangkut prinsip hidupnya sendiri. “Katakan saja,” sahut Erlina sambil mengangguk. Seolah dirinya tidak keberatan dengan apa pun pertanyaan yang akan keluar dar
“Kak Memey? Ada apa dia telepon? Tumben banget,” gumam Irene sambil menatap layar ponselnya.Sejurus kemudian, gadis itu langsung menekan tombol berwarna hijau. Lalu dia mendekatkan ponsel pada daun telinganya.“Halo, Kak Mey?” sapa Irene.“Halo, Ren. Apa kabar?” tanya Memey dengan nada yang ceria.“Baik, Kak. Kakak gimana?” Irene bertanya balik.Terakhir mereka saling berkirim pesan, mungkin sekitar 1 atau 2 bulan lalu. Irene tak begitu ingat dengan pasti.“Baik juga. Oh iya, aku ganggu nggak?” tanya Memey lagi.“Santai. Aku lagi nggak sibuk, Kak,” jawab Irene.Memey menghela napas lega. “Syukurlah, aku kira kamu lagi sibuk, Ren. Ngomong-omong, minggu depan kamu ada waktu luang, kan?”“Kapan, Kak?”“Hmm … sekitar hari Sabtu.”Sebenarnya Irene hanya basa-basi, dia sendiri tidak memiliki agenda khusus. Kehidupannya sekarang hanya di kosan dan juga kampus.“Free, Kak. Ada apa?”“Ah, syukurlah. Aku rencanaya minggu ke depan mau ke Bandung. Kita bisa ketemu, kan? Tapi … jangan malem, soal
Bagaimana jika semua orang tahu, kalau Irene bisa bekerja di kampus karena orang dalam? Pasti kebanyakan di antara mereka akan merasa sangat kecewa. Pasalnya, Irene melihat ekspektasi mereka terlalu tinggi padanya. Walau pada awalnya, Irene pun berpikir demikian.Intinya dirinya saja bisa kecewa. Apalagi orang lain?Kini Irene hanya bisa melamun saat rapat digelar. Bahkan Irene sudah tidak fokus mendengarkan pembahasan rapat, sejak lima menit pertama. Tanpa sadar dirinya mencoret-coret buku kecil miliknya. Sampai kertas pada halaman tersebut sudah berubah hitam oleh tinta.“Mbak Irene,” bisik Mia memanggil Irene.Sedari tadi Mia memperhatikan Irene yang sedang melamun.“Irene,” panggil Mia lagi sambil menyikut Irene. Pasalnya Mia juga sadar bahwa ada orang lain yang sedang memandang Irene, yang sedang melamun.“Ya?” Irene langsung mengerejap dan menoleh ke arah Mia.“Perhatiin, nggak enak Pak Juna notice kamu lagi ngelamun,” katanya masih berbisik.“Hah?” Irene nampak sedikit terkejut