“Kak Memey? Ada apa dia telepon? Tumben banget,” gumam Irene sambil menatap layar ponselnya.Sejurus kemudian, gadis itu langsung menekan tombol berwarna hijau. Lalu dia mendekatkan ponsel pada daun telinganya.“Halo, Kak Mey?” sapa Irene.“Halo, Ren. Apa kabar?” tanya Memey dengan nada yang ceria.“Baik, Kak. Kakak gimana?” Irene bertanya balik.Terakhir mereka saling berkirim pesan, mungkin sekitar 1 atau 2 bulan lalu. Irene tak begitu ingat dengan pasti.“Baik juga. Oh iya, aku ganggu nggak?” tanya Memey lagi.“Santai. Aku lagi nggak sibuk, Kak,” jawab Irene.Memey menghela napas lega. “Syukurlah, aku kira kamu lagi sibuk, Ren. Ngomong-omong, minggu depan kamu ada waktu luang, kan?”“Kapan, Kak?”“Hmm … sekitar hari Sabtu.”Sebenarnya Irene hanya basa-basi, dia sendiri tidak memiliki agenda khusus. Kehidupannya sekarang hanya di kosan dan juga kampus.“Free, Kak. Ada apa?”“Ah, syukurlah. Aku rencanaya minggu ke depan mau ke Bandung. Kita bisa ketemu, kan? Tapi … jangan malem, soal
Bagaimana jika semua orang tahu, kalau Irene bisa bekerja di kampus karena orang dalam? Pasti kebanyakan di antara mereka akan merasa sangat kecewa. Pasalnya, Irene melihat ekspektasi mereka terlalu tinggi padanya. Walau pada awalnya, Irene pun berpikir demikian.Intinya dirinya saja bisa kecewa. Apalagi orang lain?Kini Irene hanya bisa melamun saat rapat digelar. Bahkan Irene sudah tidak fokus mendengarkan pembahasan rapat, sejak lima menit pertama. Tanpa sadar dirinya mencoret-coret buku kecil miliknya. Sampai kertas pada halaman tersebut sudah berubah hitam oleh tinta.“Mbak Irene,” bisik Mia memanggil Irene.Sedari tadi Mia memperhatikan Irene yang sedang melamun.“Irene,” panggil Mia lagi sambil menyikut Irene. Pasalnya Mia juga sadar bahwa ada orang lain yang sedang memandang Irene, yang sedang melamun.“Ya?” Irene langsung mengerejap dan menoleh ke arah Mia.“Perhatiin, nggak enak Pak Juna notice kamu lagi ngelamun,” katanya masih berbisik.“Hah?” Irene nampak sedikit terkejut
“Angkat dulu saja,” pinta Irene.Pasalnya ponsel Juna terus berdering, dan pria itu tidak melakukan apa pun, baik mematikan atau mengangkatnya.“Nggak usah sungkan. Angkat saja dulu,” pintanya lagi.Juna mendesah, dia pun menuruti permintaan Irene, mengangkat panggilan dari sang mantan pacar.“Ya, halo, Mey?” sapa Juna sesaat dirinya mengangkat panggilan tersebut.“Wah, tumben banget kamu langsung angkat teleponku, Sayang. Biasanya aku harus spam dulu baru kamu angkat,” sindir Memey.Juna memutar bola matanya malas. Lagi-lagi dia mendesah kasar, dan kegiatan itu dilihat oleh Irene dengan tatapan yang menyipit.“Ada apa?” tanya Juna yang malas berbasa-basi.“Jun, kenapa makin hari kamu makin ketus, sih? Kemarin aja kamu datang padaku dengan wajah yang sangat manis. Bahkan sampai meminta bantuanku. Kenapa? Kamu berubah pikiran lagi?” cerocos Memey.“Aku lagi ada tamu. Jadi, cepat katakan maksud dan tujuanmu menghubungiku. Kalau tidak aku akan langsung menutup panggilannya!” tegas Juna.
Kini topik pembicaraan di antara Memey dan Irene, terasa sangat hambar bagi gadis yang belum genap tiga puluh tahun itu. Memey merasa sindiran yang tadi tanpa sadar keluar dari mulut Memey, sedikit melukai hatinya.“Tapi kenapa aku harus kesindir? Aku, kan, nggak manfaatin Juna sama sekali,” protes Irene dalam hati.Memey terlihat melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia menarik napas dan menatap Irene.“Kayaknya aku harus pamit, Ren,” ucapnya.“Hah?” Irene yang sedang melamun, sedikit tersentak dan menatap ke arah Memey.“Aku ada agenda lain sebelum ketemu sama dia. Ya, semacam mempercantik diri, hahaha,” ujar Memey.Irene mengangguk-anggukan kepalanya. Entah kenapa perasaannya terhadap Memey kini berubah. Mungkin dia masih merasa tersindir dengan ucapan wanita itu barusan.“Iya, ketemu mantan harus cantik, ya, Kak. Semoga sukses, ya, aku tunggu kabar baiknya,” timpal Irene sambil tersenyum yang terasa sedikit dipaksakan.“Thank you. Kalau ada k
“Terima kasih banyak, Tante. Tapi … apa boleh aku mengutarakan sesuatu pada Tante?” tanya Irene. “Dengan senang hati,” sambut Jessica. Irene menjilat bibirnya yang tak terasa kering. Dia khawatir kalau Jessica sedikit tersinggung dengan pengakuannya ini. Namun, Irene merasa tak tenang, karena ini bersebrangan dengan pendiriannya. “Maaf sebelumnya, Tante. Tapi apa benar, Tante yang meminta Bu Erlina agar aku bekerja sebagai staff akademik di kampus?” tanyanya tanpa basa-basi. Walau jantungnya kini berirama sedikit lebih cepat. Jessica terdiam ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Sedangkan Irene dia sedang menunggu jawaban dengan harap cemas. Meskipun dirinya tahu, kalau jawabannya seratus persen adalah benar. “Benar, Tante yang merekomendasikan kamu pada Bu Erlina. Karena Tante rasa kamu memang cakap dan kompeten. Ternyata Bu Erlina pun memiliki penilaian yang sama,” papar Jessica. Sorot mata wanita itu tidak berbohong. “Tapi Tante, maaf … aku agak sedikit keberatan. Kalau t
Juna baru saja memarkirkan mobil SUV hitamnya. Malam ini dia mempunyai janji temu dengan mantan pacarnya, Memey. Dia sebenarnya tidak begitu peduli, tapi Juna ingat kata-kata Irene. Dia harus segera mengakhiri hubungannya dengan Memey.Sebelum keluar dari kendaraan pribadinya, Juna merapikan penampilan. Sambil melirik ke spion atas, dia merapikan rambutnya yang bergaya undercut. Setelah dirasa rapi, dia pun segera keluar dari mobil.Langkahnya membawa Juna menuju lantai tiga sebuah gedung besar. Di mana di sana terdapat sebuah lounge mewah, yang menjadi titik pertemuan dirinya dengan Memey.“Ah, akhirnya kamu datang juga, Juna!” kata Memey, yang dengan cekatan langsung mendapati keberadaan Juna.Perempuan itu berdiri dari kursinya, sambil menyambut Juna dengan senyuman smirk-nya. Dengan balutan dress berwarna merah, dan riasan wajah bernuansa bold. Membuat wanita itu nampak terlihat sangat seksi.Untuk sepersekian detik, pandangan Juna terfokus pada bibir wanita itu. Nampak sangat ber
“Terus, untuk bantuan? Bukannya kamu meminta bantuanku? Berarti kamu masih membutuhkanku?” celetuk Memey sambil melirik Juna dengan tatapan sinis.Juna melirik dengan tatapan sinis. Kemudian dia menarik napas dan memalingkan wajah sebentar. Namun, tatapan sinis itu ia arahakn kembali pada Memey.“Aku sudah tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Jadi, mulai sekarang jangan pernah menggangguku lagi. Lanjutkan kehidupanmu dan jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Besikaplah seperti dulu, saat aku memutuskan untuk bersama dengan mantan istriku,” tukasnya.Dulu, saat Juna lebih memilih Amara, dia pun mempertegas hal seperti ini pada Memey. Dan, itu berhasil, Memey menjauh dan tak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi di depan Juna.Memey hanya terdiam, dia sudah tak berselera untuk menghabiskan makanannya. Untuk kedua kalinya, Memey di tolak oleh sang cinta pertamanya.Bagaimana pun Juna adalah sosok laki-laki yang sulit Memey lupakan. Masa mudanya dia habiskan bersama dengan pria itu.
Sambil setengah mabuk, Memey tertawa melihat apa yang saat ini ada di hadapannya. Ternyata gosip tentang Juna yang mengidap impotensi adalah benar. Wanita itu sudah mengetahui berita ini sejak lama.Memey bangkit dan segera meraih pakaian yang sempat ia tanggalkan, lalu kembali memakainya. Tak mau diam saja, Juna pun ikut bangun dan merapikan penampilannya.“Ah, ternyata karma berlaku padamu, ya, Jun,” cibirnya.Juna mengepalkan tangannya erat, sampai urat-uratnya pun jelas terlihat.“Tak aku sangka, ternyata apa yang aku ucapkan bisa terjadi juga. Aku senang melihatmu seperti ini. Pantas saja kamu bercerai dan tak kunjung menikah lagi. Karena tidak ada satu wanita pun yang mau denganmu, Jun,” hardik Memey.Tatapan wanita itu benar-benar mencemooh Juna.“Rasa sakit hati aku kini benar-benar terbayarkan. Semesta memang memihakku, Jun. Kamu benar-benar impoten, sesuai dengan keinginanku.”Rahang Juna