Sambil setengah mabuk, Memey tertawa melihat apa yang saat ini ada di hadapannya. Ternyata gosip tentang Juna yang mengidap impotensi adalah benar. Wanita itu sudah mengetahui berita ini sejak lama.
Memey bangkit dan segera meraih pakaian yang sempat ia tanggalkan, lalu kembali memakainya. Tak mau diam saja, Juna pun ikut bangun dan merapikan penampilannya.
“Ah, ternyata karma berlaku padamu, ya, Jun,” cibirnya.
Juna mengepalkan tangannya erat, sampai urat-uratnya pun jelas terlihat.
“Tak aku sangka, ternyata apa yang aku ucapkan bisa terjadi juga. Aku senang melihatmu seperti ini. Pantas saja kamu bercerai dan tak kunjung menikah lagi. Karena tidak ada satu wanita pun yang mau denganmu, Jun,” hardik Memey.
Tatapan wanita itu benar-benar mencemooh Juna.
“Rasa sakit hati aku kini benar-benar terbayarkan. Semesta memang memihakku, Jun. Kamu benar-benar impoten, sesuai dengan keinginanku.”
Rahang Juna
“Aku benar-benar membutuhkanmu, Ren,” mohon Juna di seberang sana.“Apa? Membutuhkanku? Bukannya dia sudah bersenang-senang dengan Kak Memey?” batin Irene. Darahnya kini sudah mendidih, ingin rasanya menghardik Juna. Namun, dia merasa tidak memiliki energi yang tersisa.“Aku mohon. Nggak akan lama,” pintanya lagi.Irene menelan ludah dengan susah payah, “Oke, sebentar aja,” kata Irene mengalah.Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Irene keluar dari kosan dan menemui Juna. Terlihat pria itu sudah menunggu di luar mobil. Dan, saat mellihat Irene keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba saja Juna menghampiri Irene dan langsung memeluknya.“Lepas, Jun. Ini tempat umum,” ucap Irene dengan suara lemah.“Sebentar aja, Ren.”Juna memeluk erat tubuh Irene, sedangkan perempuan itu pun menurut. Dia merasa sangat-sangat bersalah pada gadis itu, terhadap apa yang sudah ia lakukan
Tidak bisa menerima kabar tersebut, Juna buru-buru menghubungi Irene. Namun, sayang panggilannya itu selalu dialihkan. Juna mencoba mengecek media sosial milik Irene. Dan, kali ini dia tidak menemukan akun milik gadis itu.“Shit! Kenapa dia tidak bilang apa pun padaku?” rutuk Juna, sambil mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sedang memegang ponsel yang ia dekatkan ke daun telinga. Juna masih tidak gentar untuk terus berusaha menghubungi Irene.“Pak Juna.”Fokus Juna teralihkan ketika mendengar namanya dipanggil. Buru-buru dia menoleh ke belakang dan mendapati Erlina.“Bisa ikut saya sebentar?” tanyanya.“Ah, kebetulan. Saya juga ada yang ingin ditanyakan pada Ibu,” ucap Juna.Tidak mungkin kalau Erlina tidak tahu tentang Irene. Sebagai ketua departemen pasti Irene mengajukan surat resign pada wanita ini.“Silakan Pak Juna dulu,” ucap Erlina saat mereka sudah
Tiga tahun kemudian. “Miss Irene,” panggil seorang laki-laki dengan perawakan jangkung, tapi sedikit berisi. Rambutnya terlihat pirang dan kulitnya berwarna putih. Pria itu memanggil seorang perempuan yang sedang sibuk dengan dokumennya. Saat namanya dipanggil, perempuan yang sedang diikat setengah ponytail itu melirik ke arahnya. “Yes, Prof. Michale,” sahut Irene. “Untuk penelitian selanjutnya, kita mendapatkan proyek di negaramu. Apa kamu siap? Minggu depan kita berangkat,” ucap laki-laki, yang umurnya terlihat sudah hampir mencapai kepala lima. Laki-laki itu berbicara dengan aksen british. “Minggu depan?” tanya Irene yang nampak terkejut. “Yes, next week,” tegas Michael, “sudah tiga tahun kamu pun tidak pulang, bukan? Apa kamu tidak merindukan keluarga dan temanmu di sana?” tanya Michael. Irene menarik kedua sudut bibirnya, kemudian mengangguk. “Tentu saya merindukan mereka, Proffesor,” jawabnya. “Ok, good! Saya akan memberikan waktu untukmu bertemu dengan keluargamu nanti.
“Jadi, kalian saling mengenal?” tanya Michael, sesaat setelah mereka membahas proyek untuk penelitian.Irene mengangguk sambil tersenyum canggung. Begitupun dengan Juna, tapi di dalam lubuk hatinya paling dalam, Juna merasa sangat bahagia.“Benar, Prof. Irene dulu kuliah di kampus dan sempat bekerja di sana,” terang Juna dengan sangat lemah dan lembut.“Waw!” Michael menepuk kedua tangannya, “apakah ini sebuah kebetulan atau takdir?”Irene merasa semakin tidak nyaman. Dia benar-benar ingin segera pergi dari tempat ini sekarang juga.Bisakah Irene membatalkan keikut sertaannya dalam proyek kali ini? Rasanya Irene tidak akan sanggup jika harus bekerja sama dengan laki-laki yang sudah membuat hancur hatinya bagai debu.“Kalau begitu, karena pembahasan dan makan malam kita sudah selesai. Saya izin pamit dulu.”Terlihat Michael beranjak dari kursinya. Sedetik kemudian, Irene pun ikut beranjak. Gadis itu merasa senang, karena Michael tidak berniat berlama-lama di ruangan ini.“Kamu mau ke m
Plak!Dengan emosi memuncak, Irene melayangkan sebuah tamparan keras pada Juna. Saking kerasnya, wajah Juna sampai terpental ke arah kanan.“Kenapa? Kenapa kamu nggak punya pemikiran begitu sebelum kamu melakukannya, Jun?” tanya Irene dengan suara yang gemetar, “apa kamu beranggapan kalau aku pasti tidak akan pernah mengetahui dengan apa yang kamu perbuat?” imbuhnya.Pandangan Irene sudah terasa buram sekarang. Matanya sudah dipenuhi air mata, yang dalam detik berikutnya menetes—membasahi pipinya.“Anggapanmu salah, Jun. Tuhan masih memihakku, dan menunjukkannya tepat di hadapanku!” tegas Irene.Juna hanya diam, dia tidak bisa menyanggah ucapan Irene sama sekali. Karena apa yang baru saja dikatakan Irene itu adalah benar. Saat itu, pikiran Juna masih diselimuti oleh nafsu birahinya. Dia tidak bisa berpikir jernih.“Ah, sial! Padahal aku udah janji pada diriku sendiri untuk tidak pernah menangisi masalah ini lagi,” ucap Irene, yang kemudian menghapus air matanya dengan kasar.Tiga tah
Entah sejak kapan Jessica ada di tempat itu. Namun, sekarang wanita yang sudah terlihat tua itu duduk di hadapan Irene. Mau tidak mau, Irene harus meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dengannya.“Apa kabar?” tanya Jessica membuka pembicaraan.“Baik, Tante,” jawab Irene sambil tersenyum canggung.Jessica pun balas melemparkan senyumannya. “Kamu tambah cantik saja. Gimana kerjaan di sana?” Wanita itu masih berbasa-basi.“Terima kasih banyak, Tante. Lumayan nyaman. Tante dan Om Justin bagaimana kabarnya?” tanya Irene.“Kabar kami baik, Ren.”“Tante, kenapa harus repot-repot datang ke mari?” tanya Irene dengan raut wajah yang sedikit kurang nyaman.Bukan, Irene bukan merasa kurang nyaman dengan Jessica. Melainkan, dia merasa sedikit tidak nyaman karena tiba-tiba saja Jessica ada di sini. Kota yang bisa dibilang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.“Tante dapat kabar dari Irgie, kalau kamu pulang ke Indonesia. Jadi, Tante menyempatkan hadir. Tadinya Om Justin juga ingin datang, tapi ka
Irene sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Saat dirinya sedang berjalan mundur, tanpa sengaja dia menabrak nenek yang sudah tua dan renta, yang sedang membawa kayu bakar di punggungnya. Seketika kayu yang dibawa sang nenek berjatuhan. Dengan cepat Irene langsung berjongkok dan membantu sang nenek merapikan ranting dan juga kayu tersebut. “Nek, sekali lagi maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ucap Irene dengan perasaan sangat bersalah. “Ndak papa, Nduk,” balas sang nenek yang sudah renta tersebut sambil menatap Irene dan tersenyum. “Biar saya yang bawa saja, Nek. Nenek tinggal di mana? Biar saya antarkan.” Merasa sangat bersalah, Irene pun berinsiatif menawarkan bantuan. “Tidak usah. Tidak apa-apa, rumah Nenek masih jauh,” balas sang Nenek. Irene mendesah, “Apalagi rumah Nenek jauh. Biar saya yang batu, ya, Nek. Nenek jangan menolak,” paksa Irene. Saking tidak mau ditolak bantuanya, Irene langsung menggendong kayu tersebut di punggungnya. Dia sedikit merin
Padang rumput yang sangat hijau kini menghiasi pandangan Irene. Bunga butercup terlihat menghiasi di atasnya. Kombinasi warna hijau dan hiasan berwarna kuning, begitu menyejukkan mata.Irene sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput itu. Angin sepoi-sepoi sesekali menyibak rambutnya. Ia sesekali menyisir rambut hitamnya itu. Kemudian, tiba-tiba di ujung sana, Irene melihat sebuah objek yang membuat matanya menyipit untuk mengamati objek tersebut.“Mama? Papa?” gumam Irene kecil.Objek itu semakin jelas. Irene bisa melihat sosok kedua orang tuanya sedang memandang Irene dari kejauhan. Terlihat mereka tersenyum lebar, sembari tangannya terulur.“Mama! Papa!” teriak Irene, saat dirinya sudah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok kedua orang tuanya.Dalam hitungan detik, Irene pun berlari mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk mereka berdua.“Ma, Pa, aku kangen,” lirih Irene. Air matanya pun tumpah ruah seketika.“Kamu sudah besar, ya, Sayang,” b