Benar, dua orang yang sedang berada di dekat pusara ayah Irene adalah Justin dan Jessica, kedua orang tua Juna. Yang terkejut bukan hanya mereka bertiga, tetapi kedua pasangan suami istri itu pun nampak kaget tatkala melihat Juna dan Irene yang ada di sana. “Ah, J-Juna. Sedang apa kamu di sini?” tanya Jessica yang mendadak tergagap. Juna mengerutkan keningnya. “Aku yang bertanya duluan, Ma?” lemar Juna. “Iya, Tante dan Om sedang apa di makam papa saya?” tanya Irene. Jika Irene dan Juna merasa heran dengan keberadaan Justin dan Jessica. Maka berbeda dengan Irgie. Dia juga merasa terheran-heran, tapi alasannya berbeda dengan mereka berdua. “Ah … a-anu ….” Jessica nampak gugup saat ditanya demikian. “Kak, lebih baik kita sapa Mama dan Papa dulu,” bisik Irgie. Adik laki-laki Irene itu, langsung mengalihkan fokus mereka. “Benar, Ren. Kalian mau menyapa kedua orang tuamu, bukan? Silakan, kami sudah selesai,” sambut Justin, yang langsung mempersilakan mereka untuk mendekat ke arah mak
Irene hanya bisa berdiam diri di kamar. Padahal beberapa kali Irgie dan Lina memanggilnya. Bahkan untuk makan saja dia enggan keluar kamar. Tidak hanya sang adik dan bibinya yang mengkhawatirkan Irene. Juna pun turut merasa gelisah dengan keadaan yang sedang dirasakan Irene. Beberapa kali pria itu mencoba menghubungi Irene, tapi tak kunjung dijawab. Malahan Irene memutuskan untuk mematikan ponselnya. Keesokan harinya, saat kondisi Irene merasa sudah baikan. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Salah satu alasan dia keluar dari kamar, karena merasa lapar, seharian kemarin dia tidak masuk makanan sama sekali. “Bibi udah bikinkan sarapan. Makanannya ada di meja, ya, Kak,” ucap Irgie yang membuat Irene sedikit tersentak. Pasalnya adiknya itu tiba-tiba keluar dari kamar dan berjalan di belakang Irene. “Aku mandi dulu. Kalau Kakak mau mandi setelah aku. Lebih baik Kakak makan dulu aja,” imbuh Irgie, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan handuk yang melingkar di lehernya. I
“Ada apa Irene?” tanya Erlina. Karena rasa penasarannya masih belum terjawab, maka Irene memberanikan diri untuk bertanya langsung pada sang ketua departemen. Dari awal memang Erlina lah yang langsung memberikan tawaran pekerjaan menjadi staff administrasi departemen sejarah. Saat itu rona bahagia terpancar di wajah Irene. Karena ini merupakan kesempatan yang sangat langka. “Maaf, Bu. Ada yang ingin saya tanyakan,” jawab Irene yang kini sedang duduk berhadapan dengan Erlina di ruang kerjanya. “Iya, silakan,” ucap Erlina mempersilakan Irene. Gadis itu menarik bibirnya ke dalam, “Maaf kalau saya lancang dengan pertanyaan saya ini, Bu,” ucap Irene memberikan prolog. Irene tahu, mungkin pertanyaannya ini bisa dikatakan tidak sopan. Apalagi kalau dugaannya salah. Namun, begitu, dia tetap ingin mempertanyakannya. Karena ini menyangkut prinsip hidupnya sendiri. “Katakan saja,” sahut Erlina sambil mengangguk. Seolah dirinya tidak keberatan dengan apa pun pertanyaan yang akan keluar dar
“Kak Memey? Ada apa dia telepon? Tumben banget,” gumam Irene sambil menatap layar ponselnya.Sejurus kemudian, gadis itu langsung menekan tombol berwarna hijau. Lalu dia mendekatkan ponsel pada daun telinganya.“Halo, Kak Mey?” sapa Irene.“Halo, Ren. Apa kabar?” tanya Memey dengan nada yang ceria.“Baik, Kak. Kakak gimana?” Irene bertanya balik.Terakhir mereka saling berkirim pesan, mungkin sekitar 1 atau 2 bulan lalu. Irene tak begitu ingat dengan pasti.“Baik juga. Oh iya, aku ganggu nggak?” tanya Memey lagi.“Santai. Aku lagi nggak sibuk, Kak,” jawab Irene.Memey menghela napas lega. “Syukurlah, aku kira kamu lagi sibuk, Ren. Ngomong-omong, minggu depan kamu ada waktu luang, kan?”“Kapan, Kak?”“Hmm … sekitar hari Sabtu.”Sebenarnya Irene hanya basa-basi, dia sendiri tidak memiliki agenda khusus. Kehidupannya sekarang hanya di kosan dan juga kampus.“Free, Kak. Ada apa?”“Ah, syukurlah. Aku rencanaya minggu ke depan mau ke Bandung. Kita bisa ketemu, kan? Tapi … jangan malem, soal
Bagaimana jika semua orang tahu, kalau Irene bisa bekerja di kampus karena orang dalam? Pasti kebanyakan di antara mereka akan merasa sangat kecewa. Pasalnya, Irene melihat ekspektasi mereka terlalu tinggi padanya. Walau pada awalnya, Irene pun berpikir demikian.Intinya dirinya saja bisa kecewa. Apalagi orang lain?Kini Irene hanya bisa melamun saat rapat digelar. Bahkan Irene sudah tidak fokus mendengarkan pembahasan rapat, sejak lima menit pertama. Tanpa sadar dirinya mencoret-coret buku kecil miliknya. Sampai kertas pada halaman tersebut sudah berubah hitam oleh tinta.“Mbak Irene,” bisik Mia memanggil Irene.Sedari tadi Mia memperhatikan Irene yang sedang melamun.“Irene,” panggil Mia lagi sambil menyikut Irene. Pasalnya Mia juga sadar bahwa ada orang lain yang sedang memandang Irene, yang sedang melamun.“Ya?” Irene langsung mengerejap dan menoleh ke arah Mia.“Perhatiin, nggak enak Pak Juna notice kamu lagi ngelamun,” katanya masih berbisik.“Hah?” Irene nampak sedikit terkejut
“Angkat dulu saja,” pinta Irene.Pasalnya ponsel Juna terus berdering, dan pria itu tidak melakukan apa pun, baik mematikan atau mengangkatnya.“Nggak usah sungkan. Angkat saja dulu,” pintanya lagi.Juna mendesah, dia pun menuruti permintaan Irene, mengangkat panggilan dari sang mantan pacar.“Ya, halo, Mey?” sapa Juna sesaat dirinya mengangkat panggilan tersebut.“Wah, tumben banget kamu langsung angkat teleponku, Sayang. Biasanya aku harus spam dulu baru kamu angkat,” sindir Memey.Juna memutar bola matanya malas. Lagi-lagi dia mendesah kasar, dan kegiatan itu dilihat oleh Irene dengan tatapan yang menyipit.“Ada apa?” tanya Juna yang malas berbasa-basi.“Jun, kenapa makin hari kamu makin ketus, sih? Kemarin aja kamu datang padaku dengan wajah yang sangat manis. Bahkan sampai meminta bantuanku. Kenapa? Kamu berubah pikiran lagi?” cerocos Memey.“Aku lagi ada tamu. Jadi, cepat katakan maksud dan tujuanmu menghubungiku. Kalau tidak aku akan langsung menutup panggilannya!” tegas Juna.
Kini topik pembicaraan di antara Memey dan Irene, terasa sangat hambar bagi gadis yang belum genap tiga puluh tahun itu. Memey merasa sindiran yang tadi tanpa sadar keluar dari mulut Memey, sedikit melukai hatinya.“Tapi kenapa aku harus kesindir? Aku, kan, nggak manfaatin Juna sama sekali,” protes Irene dalam hati.Memey terlihat melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia menarik napas dan menatap Irene.“Kayaknya aku harus pamit, Ren,” ucapnya.“Hah?” Irene yang sedang melamun, sedikit tersentak dan menatap ke arah Memey.“Aku ada agenda lain sebelum ketemu sama dia. Ya, semacam mempercantik diri, hahaha,” ujar Memey.Irene mengangguk-anggukan kepalanya. Entah kenapa perasaannya terhadap Memey kini berubah. Mungkin dia masih merasa tersindir dengan ucapan wanita itu barusan.“Iya, ketemu mantan harus cantik, ya, Kak. Semoga sukses, ya, aku tunggu kabar baiknya,” timpal Irene sambil tersenyum yang terasa sedikit dipaksakan.“Thank you. Kalau ada k
“Terima kasih banyak, Tante. Tapi … apa boleh aku mengutarakan sesuatu pada Tante?” tanya Irene. “Dengan senang hati,” sambut Jessica. Irene menjilat bibirnya yang tak terasa kering. Dia khawatir kalau Jessica sedikit tersinggung dengan pengakuannya ini. Namun, Irene merasa tak tenang, karena ini bersebrangan dengan pendiriannya. “Maaf sebelumnya, Tante. Tapi apa benar, Tante yang meminta Bu Erlina agar aku bekerja sebagai staff akademik di kampus?” tanyanya tanpa basa-basi. Walau jantungnya kini berirama sedikit lebih cepat. Jessica terdiam ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Sedangkan Irene dia sedang menunggu jawaban dengan harap cemas. Meskipun dirinya tahu, kalau jawabannya seratus persen adalah benar. “Benar, Tante yang merekomendasikan kamu pada Bu Erlina. Karena Tante rasa kamu memang cakap dan kompeten. Ternyata Bu Erlina pun memiliki penilaian yang sama,” papar Jessica. Sorot mata wanita itu tidak berbohong. “Tapi Tante, maaf … aku agak sedikit keberatan. Kalau t