"Kamu harus sabar, ya? Ini ujian. Siapa tahu kita mendapat mukjizat."
Kata-kata terakhir sang suami selalu terngiang di telinga Lambang. Dia menangis tanpa suara di dalam bus menuju kota kelahirannya. Keputusannya untuk kembali berkumpul bersama ibunya bukan tanpa alasan. Status janda yang dia sandang selepas suaminya meninggal, membuat hidupnya yang rapuh kian rapuh. Gunjingan para tetangga tidak mampu dia abaikan. Air mata yang menganak sungai di pipinya yang ranum segera diusapnya sesaat setelah bus memasuki terminal. Barang bawaan berupa tas yang tidak seberapa banyak dia panggul satu persatu di pundak. Setelah bus benar-benar berhenti, Lambang berdiri dan melangkah turun. Indra penglihatannya mencari sosok adik yang menurut pesan dalam ponselnya beberapa saat yang lalu sudah tiba di terminal untuk menjemput. Tampak dari lobi ruang tunggu penumpang lambaian tangan seorang gadis manis berjilbab biru. Sosoknya yang tinggi langsing tidak sulit bagi Lambang untuk segera mengenalinya. Nameera, yang biasa dipanggil Mira, demikian nama gadis manis yang merupakan adik semata wayang Lambang. Perempuan itu berlari menyambut kedatangan kakaknya."Mbakyu!" sambutnya sambil meraih tubuh Lambang ke dalam pelukannya.Mereka melepas kerinduan dalam tangis bahagia tanpa peduli tatapan sejumlah orang yang lalu lalang di dalam terminal. Dalam batin Lambang berkecamuk sejumlah rasa. Rasa bahagia bisa bertemu adiknya, sekaligus rasa sedih akan keadaannya yang sekarang."Mari, Mbakyu, kita pulang. Ibu sudah menunggu di rumah." Nameera meraih sebagian tas milik Lambang dengan tangan kanannya. Dia mendahului kakaknya menuju tempat sepeda motornya yang terparkir di sudut terminal. Setelah mengatur tas dengan rapi di bagian depan, Nameera membonceng Lambang untuk segera pulang. Mereka melewati alun-alun kabupaten yang sore itu terlihat meriah. Dengan sudut matanya Lambang melihat banyak bendera kabupaten berkibar tertiup angin."Mau ada acara apa, Mir, kok ramai?" tanya Lambang setengah berteriak mencoba mengalahkan suara angin."Mau merayakan Hari Jadi Kabupaten, Mbak. Acaranya di pendopo seminggu lagi," jawab Nameera sambil sesekali menoleh ke samping kiri.Lambang hanya menggumam merespon ucapan Nameera. Sekali lagi dia menoleh pada bendera kabupaten yang bergambar gunung dan perahu. Ada sedikit sesak di hatinya melihat gambar itu. Kenangan bersama sang bapak terpatri dalam ingatannya. Belum sempat Lambang menggali kembali ingatan tentang sang bapak, Nameera membawa mereka menuju sebuah halaman luas yang teduh. Bunga anyelir yang menggantung di teras menambah asri rumah bergaya kuno tersebut.Nameera memarkir sepeda motornya di samping rumah, sedangkan Lambang sudah berlari masuk mencari sosok yang dia rindukan."Ibu!" panggil Lambang pada sosok wanita yang duduk di ruang tengah. Dia bernama Ibu Sumiyati.Lambang segera meraih dan mencium tangan wanita yang melahirkannya itu. Tidak lupa diciumnya kedua pipi yang mulai berkeriput. Mata tua di balik bingkai kacamata itu berkaca-kaca melihat anak sulungnya kembali pulang."Sehat, Nak? Gimana perjalananmu? Pasti melelahkan. Ayo, ibu sudah siapkan pepes ikan kesukaanmu."Wanita berusia 53 tahun itu menuntun tangan Lambang menuju meja makan. Dia buka tutupnya, tampak beberapa menu yang terhidang membuat cacing-cacing di perut Lambang berteriak kegirangan."Ibu yang memasak semuanya, Mbak. Aku nggak boleh membantu." Nameera muncul dari ruang tamu sambil membawa beberapa tas milik Lambang."Ibu masih ingat kesukaanku," ujar Lambang sambil mencuil pepes ikan di piring.Ibunya tersenyum dan membiarkan Lambang menikmati masakannya. Nameera menghampiri dan menemani Lambang makan. Gadis berkulit putih itu sudah menikah dan menempati rumah di perumahan yang dihadiahkan oleh suaminya. Meski demikian, dia sering datang untuk sekedar menemani ibunya. "Mbak, ada lowongan guru Sejarah di Smada. Kebetulan guru Sejarah sebelumnya meninggal dunia bulan lalu. Mbak, kan, punya ijazah guru. Coba saja melamar siapa tahu diterima," kata Nameera di sela-sela mereka makan."Benar, nih? Info itu sudah lama atau masih baru? Takutnya sudah banyak yang mendaftar," ujar Lambang pesimis."Belum lama, Mbak. Sekitar satu minggu yang lalu baru dibuka. Tadi aku sudah tanya temanku yang bekerja di bagian administrasi, katanya lowongan masih dibuka.""Besok aku coba ke sana. Mudah-mudahan masih ada harapan," tukas Lambang. Nameera mengaminkan ucapan Lambang. Selesai makan, mereka berdua mencuci piring dan mengeringkannya di tempat pengeringan. Nameera pamit pulang karena hari sudah mulai senja. Lambang mengantar hingga teras depan. Dia memandangi adik semata wayang yang terlihat sempurna duduk di atas sepeda motor. Dibandingkannya dengan badan dia sendiri yang, ah!***
Lambang memeriksa sekali lagi berkas-berkas surat lamaran yang dibuat tadi malam. Dia tidak ingin ada yang tertinggal. Setelah dirasa lengkap, dimasukkannya satu bundel berkas lamaran itu ke dalam amplop.
Jilbab segiempat berwarna peach, senada dengan warna baju dia kenakan di kepala. Dipadukan dengan celana berwarna gelap membuatnya terlihat manis. Tak lupa bros berbentuk pita kecil dia sematkan di bagian dada. Lambang tersenyum melihat penampilannya di cermin panjang yang menempel di lemari pakaian. Seketika senyum itu memudar tatkala menyadari bayangan tubuhnya di balik cermin memenuhi permukaan cermin. Dia menjauh hingga bayangannya terlihat mengecil. Barulah dia merasa puas dan tersenyum lebar.Lambang bergegas mengambil amplop di meja dan keluar kamar ketika melihat jarum pendek jam dinding menunjuk angka sembilan dan jarum panjang menunjuk angka dua belas. Setelah berpamitan pada ibunya, dia menunggu tukang becak yang lewat depan rumah. Tak lama kemudian, perempuan berwajah manis itu duduk dalam becak yang melaju menuju Smada.Halaman sekolah ini sangat luas. Seorang satpam datang menghampiri dan menanyakan keperluannya. Lambang menjelaskan maksud kedatangannya kemudian dia diarahkan menuju meja resepsionis. Seorang petugas yang sangat cantik menyambutnya dengan ramah. "Pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya sang resepsionis dengan senyumnya yang menawan."Saya mau melamar sebagai guru Sejarah di sekolah ini. Kemarin mendapat info dari adik saya bahwa ada lowongan untuk guru Sejarah," jawab Lambang sambil menyerahkan amplop lamaran pekerjaan."Kebetulan hingga hari ini belum ada yang melamar. Sedangkan kami membutuhkan dengan segera. Saya pertemukan Ibu langsung dengan Waka Kurikulum, ya, Bu?"Lambang mengangguk sambil tersenyum gembira. Resepsionis itu mengangkat telepon di samping kanannya dan memencet tombol-tombol yang sudah dia hafal. Setelah berbicara dengan orang yang dia tuju, gadis cantik berjilbab itu mengantar Lambang menuju sebuah ruangan yang mirip dengan ruang tamu.Lambang ditinggalkan sendirian di ruangan itu. Tak lama kemudian terdengar beberapa langkah kaki dan suara orang berbicara mendekati ruangan tempat Lambang berada. Dua orang pria dan seorang perempuan paruh baya memasuki ruang tamu. Lambang segera berdiri menyambut dan bersalaman dengan mereka."Silahkan duduk," ujar perempuan paruh baya itu sambal tersenyum.Lambang duduk kembali dengan sopan. Salah seorang pria yang diketahui bernama Pak Henry meminta amplop berkas lamaran yang berada di tangan Lambang. Kemudian dia memeriksanya bersama pria di sebelahnya yang bernama Pak Bram. Sedangkan wanita paruh baya yang bernama Bu Merlita mengajak Lambang untuk berbincang-bincang.Lambang menanggapi dan menjawab pertanyaan Bu Merlita sambil sesekali melirik dua pria yang sedang berdiskusi mengenai profilnya. Dadanya berdebar menunggu keputusan mereka, seperti halnya menunggu hasil sidang skripsi beberapa tahun yang lalu. Kedua tangannya berkeringat. Untunglah semua pertanyaan Bu Merlita bisa dia jawab. Sepertinya dia guru Sejarah yang sudah senior. Terbukti dengan beberapa pertanyaan yang diajukan pada Lambang sedikit menyinggung materi pelajaran Sejarah."Kami sudah memeriksa berkas lamaran Anda. Untuk sementara kami terima. Keputusannya, akan kami hubungi paling lambat besok lusa. Hari ini cukup sampai di sini," kata Pak Henry dengan suara tegas.Kedua temannya mengatakan hal yang hampir sama. Lambang disuruh banyak berdoa supaya bisa diterima. Setelah berpamitan, perempuan bertubuh subur itu keluar ruangan dan bergegas pulang dengan suasana hati berkecamuk. Akankah dia diterima atau tidak?"Walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati tetap akan tersimpan secara abadi di relung hati." (B.J. Habibie). Lambang membaca sebuah kutipan yang tertulis di buku diarynya, hadiah dari suami tercinta saat berulang tahun yang ke-28. Dirabanya setiap huruf yang tertulis dengan tinta biru itu. Seakan-akan jiwa sang suami menjelma menjadi untaian kata dan berbisik bahwa dia bahagia di alam sana. Air mata Lambang perlahan menetes dan jatuh menimpa halaman buku diary yang terbuka. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu terkesiap. Buru-buru dia mengambil tissue yang ada di meja rias, lalu membersihkan tetesan air mata sebelum meresap ke buku terlalu banyak. Lambang mengusap air matanya dan berdiri di depan sebuah cermin. "Aku, akan hidup dengan Lambang yang baru. Lambang yang lebih tegar dari sebelumnya," ujarnya sambil mengepalkan tangan kanan ke atas. Ups! Sudah jam enam! Lambang bergegas memperbaiki riasan waj
“Sejarah adalah perpaduan tiga dimensi waktu. Yakni, masa lalu, masa kini dan masa depan. Hari ini tidak mungkin kalau tidak melalui masa lalu. Dan masa depan tidak akan ada kalau bukan karena hari ini. Sejarah ditulis oleh mereka yang menang di masa lalu. Tetapi masa depan diciptakan oleh kita yang berjuang di masa kini. Seperti orang yang amnesia, orang yang tidak mau belajar sejarah akan kehilangan arah dan pijakan. Karena sejarah menyangkut jati diri dan identitas seseorang atau bangsa." Kepiawaian Lambang menjelaskan membuat semua murid serius mendengarkan. Tiba-tiba Brian yang duduk di pojok kanan depan mengangkat tangannya. "Seperti sebuah lagu, Bu," ujarnya. "Lagu apa?" Brian berdiri dan mendendangkan sebuah lagu. "Aku bagai nelayan. Yang kehilangan arah. Dan tak tau ke mana, ho wo woo. Ku harus bersandar." "Huuu!" Cibiran dari teman sekelas membuat Brian sigap melindungi badan dengan tangann
Lambang menatap nanar buku yang dia pinjam dari perpustakaan yang kini terbuka di hadapannya. Isi buku setebal seratus halaman itu sudah dia lahap hingga dua kali. Kedua tangan disilangkan di depan dada. Pikirannya menerka-nerka apa yang dia cari mungkin ada di buku lain. Tidak mungkin hal penting tidak tertulis di buku sejarah kabupaten. Lambang keluar dari kamar mencari ibunya. Saat langkahnya melewati ruang tamu, terdengar suara sang ibu berada di depan rumah. Sepertinya sedang berbicara dengan tetangga yang lewat. Dia menunggu tetangga itu pergi. Ada yang Lambang ingin tanyakan pada beliau. Pembicaraan mereka terdengar sekilas di telinga Lambang. Bu Sumiyati menoleh saat Lambang menyentuh bunga anyelir yang bunganya hampir layu. Dia mengambil alat penyiram bunga yang berada di samping rumah. Kemudian diisi dengan air dari keran yang terdapat di dekat taman. Bu Sumiyati datang mendekat dengan tangan kiri memegang sapu lidi.
"Melakar langit sejarah, membina awan mimpi, bila aku menjejak, ia menjadi pasti." (Hilal Asyraf). Lambang menuliskan qoutes di buku diarynya. Sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Lebih tenang menjalani hidup dan tidak menginginkan apapun lagi. Selain terus menerus mempelajari sejarah. Berbagi ilmu dengan murid-muridnya dan mendiskusikan materi dengan sesama guru pengampu mata pelajaran Sejarah se Kabupaten. Setiap satu minggu sekali Lambang bertemu dengan mereka di tempat yang berbeda.Terkadang, dia bertemu dengan kawan-kawan masa kecil untuk sekedar makan bakso dan minum es campur. Dia hanya ingin menghabiskan masa-masa hidupnya dengan menjadi orang yang bermanfaat dan bisa membahagiakan orang lain. "Lambang ini dari dulu nggak berubah, ya. Tetap suka mentraktir orang," kata Leo, teman masa kecil Lambang. Mereka sedang berkumpul di warung bakso langganan dekat stadion. Kebetulan mereka tidak punya kesibukan d
"Gagal dalam kemuliaan lebih baik dari pada sukses dalam kehinaan." (Koeswadi). Motto dari ayah tercinta sudah Lambang ketik pada lembar skripsinya. Revisi pada bab hasil dan pembahasan sudah diselesaikan. Rencananya besok mau diserahkan pada dosen pembimbing.Namun, perkuliahan kampus sudah memasuki masa libur semester ganjil. Jadi, dosennya meminta untuk menunda bimbingan skripsi sampai selesai liburan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan selama liburan, Lambang memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Itulah sebabnya dia menuntaskan revisinya malam ini. Besok pagi dia akan menaiki bus pertama menuju kota kelahirannya. Setelah menyimpan mesin ketik di lemari bagian bawah, mahasiswi semester akhir itu melepas penat di kasur lantai. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halus mengiringi tidurnya yang lelap. Azan Subuh baru saja usai dikumandangkan. Lambang segera mengerjakan ibadah salat Subuh dengan khusy
Selembar kertas agak tebal terselip di antara dokumen-dokumen milik Pak Koeswadi menarik perhatian Lambang. Dia ambil kertas itu. Tertulis, piagam penghargaan diberikan kepada Koeswadi sebagai juara satu lomba cipta karya lambang kabupaten. Ini dia, batin Lambang. Kening Lambang berkerut tanda berpikir keras. Analisisnya sebagai seorang guru Sejarah dan orang yang sangat menghargai sejarah tidak pernah meleset. Almarhum bapaknya adalah salah seorang pelaku sejarah tetapi namanya tenggelam seiring waktu. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus mendapatkan haknya sebagai salah satu warga yang berkontribusi untuk kabupaten. Minimal bidang kearsipan mencatat namanya. Lambang sudah mencari sekian lama tetapi tidak menjumpai nama bapaknya tercatat di buku sejarah kabupaten. Apalagi bapaknya adalah salah satu orang yang berjuang mengembangkan kabupaten ini. Dia bertekad untuk memperjuangkan nama bapaknya yang sudah memp
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
Septi memandang wajah sahabatnya yang tidak berhenti mengunyah kerupuk. Dia tahu betul sifat perempuan yang menjadi sahabatnya sejak SD."Kamu nggak menyesal menghentikan pengajuan ini? Lumayan, lo, kalau berhasil dipatenkan, setiap bulan hidup keluargamu akan terjamin." Septi kembali membujuk Lambang."Kalau ibuku tidak merestui, aku bisa apa? Nggak apa-apa nggak dapat royalti. InsyaAllah akan kami dapatkan royalti di akhirat. Itu yang ibu katakan padaku.""Oke, kalau begitu, aku tutup kasusmu, ya?" Septi menuangkan minuman untuk Lambang."Iya, tutup saja. Tetapi, tolong berkas-berkas yang sudah aku berikan, kamu simpan saja. Siapa tahu kelak aku membutuhkannya.""Siap, Bosku!"Sekitar satu jam mereka mengobrol. Kemudian Lambang pamit pulang karena takut Zaydan terbangun.Hari-hari Lambang hanya disibukkan dengan mengurus Zaydan dan melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Harlando pun sibuk d
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Kertas berisi lambang kabupaten yang diresmikan pada tahun 1969 kini berada di tangan Lambang. Dia tidak terima jika karya bapaknya disalahgunakan. Apalagi sampai mengubah konsep aslinya. Setiap komponen dan warna yang dipilih merupakan buah pemikiran bapaknya yang merujuk pada potensi daerah.Dia berniat untuk mengajukan hak paten. Karena semenjak karya itu diresmikan menjadi lambang kabupaten, belum pernah ada penghargaan sama sekali yang diterima bapak. Lambang berharap ada semacam royalti yang bisa bermanfaat untuk kehidupan ibunya.Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga pendidik, dia menyempatkan diri untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pak Koeswadi adalah pencipta lambang yang sah. Lambang ingin melindungi hasil karya bapaknya supaya tidak disalahgunakan dan juga untuk melindungi ide atau konsep gambar lambang kabupaten.Mulailah dia bertanya pada saudara dan teman-teman bapaknya yang dulu menggunakan lukisan bapak unt
Hari pernikahan yang dinanti pun tiba. Tanggal 14 Januari 2007 adalah tanggal yang dipilih untuk menyatukan dua sejoli. Air mata yang mengalir di pipi keriput ibu Lambang terlihat sebagai air mata bahagia. Menyaksikan anak sulung yang kini mendapatkan imam dalam hidupnya. Yang senantiasa akan menjaganya dari segala cobaan hidup.Tidak akan ada lagi gunjingan mengenai status Lambang. Kehadiran Harlando dalam keluarga membungkam mulut-mulut tetangga. Hal ini membuat ibu Lambang menjadi tenang. Karena tidak lagi jadi bahan gunjingan di antara tetangga dan teman di pengajian.Untuk sementara, Harlando tinggal di rumah Lambang selama beberapa hari. Meski sesekali dia pulang ke kotanya, karena bisnis yang dia jalani tidak bisa ditinggal terlalu lama. Terkadang Lambang yang datang berkunjung ke kota Harlando. Mereka jalani kehidupan seperti ini dengan ikhlas dan saling menerima."Nduk, ajak suamimu makan!" perintah Ibu. Saat itu ke
11. Hubungan SeriusTing!Bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Lambang yang berada di atas nakas. Perempuan yang sedang menikmati waktu istirahat setelah pulang mengajar itu bangkit dari tempat tidurnya. Dan menghampiri nakas yang berada di samping meja. Dibukanya kunci layar ponsel dan terlihat satu notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.[Assalamualaikum.]Lambang bimbang antara membalas pesan itu atau tidak. Hatinya menyuruh untuk membalas siapa tahu dari orang penting. Mungkin wali murid atau teman guru.[Waalaikum salam. Maaf, ini siapa?][Maaf, aku yang kemarin pernah salah kirim. Melihat dari balasan pesan yang kamu kirim, pasti kamu cewek. Boleh kenalan, gak?]Lambang terperangah dan setengah tersenyum dia menutup mulutnya. Merasa aneh karena sekian tahun meski ada pesan yang salah kirim, tetapi tidak pernah ada yang sampai mengajak kenalan.[Meman
Selamat malam duhai kekasihAku sebut namamu menjelang tidurkuAgar kau hadir dalam mimpi indahkuDi peraduan yang sepi iniAlunan lagu Selamat Malam dari Evi Tamala yang Lambang dengarkan dari radio terdengar merdu di telinganya. Radio peninggalan bapak menjadi hiburan saat penat. Mata Lambang yang setengah terpejam membuka saat perempuan yang dikasihinya membuka pintu dengan wajah ditekuk.Setelah mengucap salam dia masuk ke kamarnya. Tanpa mengindahkan Lambang yang ada di ruang tamu. Seketika Lambang mematikan radio dan bergegas menyusul ibunya.Tiba di depan kamar ibunya, Lambang terhenti. Dia urung untuk masuk. Sebab biasanya kalau ibunya punya masalah tidak akan mau diganggu. Karena itu dia berbelok ke dapur mengambil air minum. Biarlah besok saja kutanyain, atau kutunggu sampai mau bercerita sendiri, batinnya.Malam semakin larut. Mungkin ibunya sudah tertidur nyenyak. Namun, tidak biasanya dia setelah p
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I