"Gagal dalam kemuliaan lebih baik dari pada sukses dalam kehinaan." (Koeswadi).
Motto dari ayah tercinta sudah Lambang ketik pada lembar skripsinya. Revisi pada bab hasil dan pembahasan sudah diselesaikan. Rencananya besok mau diserahkan pada dosen pembimbing. Namun, perkuliahan kampus sudah memasuki masa libur semester ganjil. Jadi, dosennya meminta untuk menunda bimbingan skripsi sampai selesai liburan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan selama liburan, Lambang memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Itulah sebabnya dia menuntaskan revisinya malam ini. Besok pagi dia akan menaiki bus pertama menuju kota kelahirannya. Setelah menyimpan mesin ketik di lemari bagian bawah, mahasiswi semester akhir itu melepas penat di kasur lantai. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halus mengiringi tidurnya yang lelap.Azan Subuh baru saja usai dikumandangkan. Lambang segera mengerjakan ibadah salat Subuh dengan khusyuk. Dinginnya udara pagi tidak menghalangi Lambang untuk berangkat ke terminal setelah shalat Subuh. Bus pertama berangkat pukul lima pagi. Penumpang bus yang masih sepi membuat Lambang leluasa memilih tempat duduk. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lambang tiba di kota kelahirannya. Bapak dan ibunya sangat gembira dengan kedatangan Lambang. Dengan begitu, suasana terasa lengkap bersama kedua anak mereka. Ketika makan bersama, acap kali muncul cerita-cerita dari anak-anak mereka. Membuat suasana terasa hangat.Selama liburan di rumah, Lambang membantu ibunya mengerjakan pesanan nasi kotak bersama Nameera yang kebetulan juga sedang libur. Biasanya pegawai pemerintahan sering memesan nasi untuk makan siang. Banyak orang yang cocok dengan masakan ibu Lambang. Sehingga, semakin banyak pesanan yang harus dibuat.Lambang memandang wajah bapaknya yang terlihat pucat dan lelah, saat mau berangkat bekerja di Departemen Penerangan Kabupaten."Bapak kenapa? Kok, terlihat lemas?" tanya Lambang dengan suara yang menyiratkan kekhawatiran."Iya, Bapak merasa capek," jawab pria yang bernama Koeswadi itu."Aku antar, ya? Pake sepeda motor," Lambang menawarkan diri untuk mengantar bapaknya ke kantor."Jangan!" sahut pria yang berusia 51 tahun sambil mengibaskan tangan."Panggilkan becak saja."
Lambang segera menuruti permintaan bapaknya. Kebetulan becak di pangkalan ada yang sudah siap mengantar penumpang. Begitu bapaknya berada di atas becak, pandangannya tidak pernah lepas dari Lambang. Tidak seperti biasanya bapak seperti ini, kenapa, ya? Lambang bertanya dalam hati. Dia merasa berat melepas bapaknya ke kantor pagi ini. Dia memandang kepergian Pak Koeswadi hingga becaknya berbelok di depan gang. Namun, belum sampai lima belas menit, becak itu kembali membawa bapaknya dalam keadaan lunglai. "Bapak kenapa? Bapak kenapa?"Lambang dengan cepat menghampiri becak itu dengan derai air mata.
"Bapak tidak bisa berjalan," kata Pak Koeswadi dengan raut wajah kesakitan. Lambang memanggil ibu dan adiknya, kemudian meminta tolong tetangga untuk membopong bapaknya ke dalam rumah. Perasaan Lambang sudah tidak karuan. "Ya, Allah, tolong selamatkan bapakku," doanya sambil terus menangis. Adik dan ibunya tak kalah bersedih melihat kondisi pemimpin keluarga itu. Lambang segera memanggil seorang mantri bertempat tinggal di depan rumahnya. Kebetulan beliau ada di rumah. Ketika Lambang memanggilnya dengan menangis, dia segera mengambil peralatan medisnya dan melakukan pertolongan pada Pak Koeswadi. Dia memeriksa denyut nadi dan tekanan darah. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tekanan darahnya hanya enam puluh, sangat rendah."Mbak, Pak Koeswadi kondisinya sangat menurun. Tolong segera dibawa ke rumah sakit. Sebentar, saya panggilkan ambulans," kata Pak Mantri sambil menghubungi pihak rumah sakit dengan ponselnya.Tidak lama kemudian ambulans datang. Lambang segera masuk bersama bapaknya. Ibu dan adiknya menyusul naik di belakang Lambang. Pak Mantri memberi secarik kertas berisi nomor ponselnya untuk Lambang. Supaya ketika terjadi sesuatu, Lambang bisa menghubunginya. Di dalam ambulans, Pak Koeswadi memegang erat tangan Lambang."Sabar, ya, Pak. Bapak harus kuat," ujar Lambang memberi semangat. "Bapak harus melihat aku wisuda. Aku ingin mempersembahkan wisudaku untuk Bapak."Pak Koeswadi mengangguk lemah sambil menatap anak kesayangannya dengan sendu. Air mata Lambang terus mengalir tiada henti. Setelah tiba di rumah sakit, petugas segera membawa Pak Koeswadi ke ruang UGD. Lambang memohon pada dokter supaya diizinkan menemani bapaknya di dalam. Dokter merasa tidak tega melihat genggaman pria yang terbaring sakit pada tangan anaknya. Sehingga, dia mengizinkan Lambang ikut masuk. Sedangkan ibu dan adiknya menunggu di luar.Lambang tidak pernah mau melepas genggaman tangan pria yang sangat dikasihinya. Pelan-pelan napas Pak Koeswadi semakin lemah. Dokter menghampiri dan memberikan kejut jantung. "Mbak, bisa minta tolong untuk tinggalkan kami?" Dokter itu menyuruh Lambang pergi."Jangan, Dokter. Saya tidak mau meninggalkan bapak," pinta Lambang sambil menangis.Dokter akhirnya mengalah. Lambang terus mengucapkan takbir, tahmid, tahlil dan semuanya dia baca di telinga Pak Koeswadi."Bapaaak! Allahu akbar ... Allahu akbar, Bapak! Laa ilaa ha illallaah ...."Lambang menjerit seakan-akan memanggil nyawa Pak Koeswadi untuk tetap berada di dalam raganya. Dokter melakukan semua yang bisa diusahakan untuk membuat Pak Koeswadi bisa bertahan. Namun, akhirnya dokter tidak bisa menolong. Bapak benar-benar pergi. Lambang sangat terpukul. Inilah pertama kali dia merasa sangat kehilangan. Dia tidak siap. Benar-benar tidak siap. Orang yang dia sayangi kini dijemput oleh Allah. Pikirannya kalut."Mbak, di luar ada ibu dan adik. Tolong tunjukkan kalau Mbak tegar. Jangan terlihat rapuh di depan mereka. Beri semangat! Siapa lagi yang akan menyemangati mereka kalau bukan Mbak. Sampaikan berita ini pada ibu dengan sikap yang tegar, supaya mereka tidak larut dalam kesedihan. Kasihan Bapak jika terus diratapi." tutur Dokter yang baik hati itu menasihati Lambang.Akhirnya Lambang berusaha tegar. Dia hapus sisa-sisa air mata dengan sikunya. Barulah dia melangkah keluar menuju ibu dan adiknya berada. Tiba di dekat mereka, Lambang menarik napas sejenak. Menahan air mata untuk tidak keluar. Menguatkan hati ketika akan menyampaikan berita duka."Ibu ... bapak sudah pergi ke surga," kata Lambang berusaha membuat suaranya tegar."Kenapa?" ibu Lambang masih belum memahami perkataan anak sulungnya."Bapak sudah meninggal, Bu. Meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya." Lambang mengulangi perkataannya. Saat itulah tangis mereka pecah. Ibunya pingsan, sedangkan Nameera menangis sejadi-jadinya. Untunglah beberapa petugas rumah sakit dengan sigap membaringkan wanita berkaca mata itu di kursi panjang. Lambang merangkul adiknya erat-erat."Mulai sekarang kita harus siap menerima sebuah kenyataan. Apapun kondisinya kita harus tetap rukun. Sampai kapanpun," bisik Lambang sambil memeluk adiknya.Nameera mengangguk. Dia yang biasanya manja, mau minta apa selalu disediakan."Mbak, nanti kalau aku mau minta apa-apa, aku minta sama Mbak, ya?" kata Diana sambil merangkul Lambang lebih erat."Percayalah! Tuhan akan menolong kita. Berubahlah mulai sekarang menjadi dewasa, ya, Dik? Yang penting ibu bahagia. Kita bahagiakan ibu kita."Nameera setuju.Lambang segera mengurus semua administrasi saat ibunya siuman. Dia meminjam telepon petugas resepsionis untuk memberi kabar pada Pak Mantri tetangga depan rumahnya, supaya membantu menyiapkan kedatangan jenazah.
Pihak rumah sakit juga mengusahakan yang terbaik untuk keluarga yang ditinggalkan. Petugas ambulans diminta untuk mengantar jenazah dan keluarga ke rumah. Sepanjang perjalanan Lambang tetap memegang tangan bapaknya. Tiba di rumah, semua tetangga sudah berkumpul menyambut kedatangan jenazah Pak Koeswadi dengan isak tangis. Beberapa saudara juga sudah datang berkat bantuan Pak Mantri. Mereka menghibur Lambang, ibu dan adiknya. Takmir masjid mengurus keperluan jenazah dengan cepat. Mereka bahu membahu dengan pengurus RT/RW dengan didampingi salah seorang perwakilan saudara Psk Koeswadi. Tanpa mengusik Lambang dan ibunya yang masih berduka, sehingga proses pemakaman berjalan lancar.***
Lambang dan Nameera berubah menjadi wanita yang tegar. Di hadapan ibu, mereka tidak pernah menunjukkan rasa sedih. Saat itu ketika seorang pegawai negeri meninggal, uang pensiun tidak langsung cair. Gaji dihentikan, sehingga mereka tidak punya apa-apa. Biaya hidup pun tidak ada. Lambang memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
"Ibu tidak usah memikirkan kuliahku. Tetapi, aku berjanji kuliahku akan selesai. Ayo bersama-sama bagaimana caranya supaya hidup kita tetap berlanjut." Lambang menguatkan ibunya. "Ibu tidak boleh rapuh. Masih ada aku dan adik yang membutuhkan Ibu."Bu Sumiyati merenungkan kata-kata anaknya. Dia membenarkan ucapan Lambang. Tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Kehidupan masih terus berlanjut.Sejak itu Bu Sumiyati mulai bangkit. Beliau mau menuruti saran anak-anaknya dengan berbisnis kecil-kecilan. Mereka membuka warung di depan rumah, menjual nasi urap-urap dengan sambal terong. Nameera pun mulai belajar membuat kue. Mereka bahu membahu untuk saling menguatkan.***
"Bu Lambang!"
Suara panggilan dari Bu Merlita menyadarkan Lambang dari lamunannya. Sejak menenangkan muridnya yang bersedih karena ayahnya sakit, Lambang terduduk di bangku taman teringat bapaknya. Kondisi muridnya yang mengingatkan dia pada masa lalu di saat bapaknya sakit. "Ya, Bu? Maaf, saya terlalu asyik dengan suasana taman yang sejuk," kata Lambang menyembunyikan kesedihannya.Bu Merlita mengajak Lambang ke ruang guru untuk ikut makan, karena ada salah seorang rekan guru yang berulang tahun. Lambang mengikuti langkah Bu Merlita dan berusaha terlihat biasa seperti tidak terjadi apa-apa.Selembar kertas agak tebal terselip di antara dokumen-dokumen milik Pak Koeswadi menarik perhatian Lambang. Dia ambil kertas itu. Tertulis, piagam penghargaan diberikan kepada Koeswadi sebagai juara satu lomba cipta karya lambang kabupaten. Ini dia, batin Lambang. Kening Lambang berkerut tanda berpikir keras. Analisisnya sebagai seorang guru Sejarah dan orang yang sangat menghargai sejarah tidak pernah meleset. Almarhum bapaknya adalah salah seorang pelaku sejarah tetapi namanya tenggelam seiring waktu. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus mendapatkan haknya sebagai salah satu warga yang berkontribusi untuk kabupaten. Minimal bidang kearsipan mencatat namanya. Lambang sudah mencari sekian lama tetapi tidak menjumpai nama bapaknya tercatat di buku sejarah kabupaten. Apalagi bapaknya adalah salah satu orang yang berjuang mengembangkan kabupaten ini. Dia bertekad untuk memperjuangkan nama bapaknya yang sudah memp
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
Selamat malam duhai kekasihAku sebut namamu menjelang tidurkuAgar kau hadir dalam mimpi indahkuDi peraduan yang sepi iniAlunan lagu Selamat Malam dari Evi Tamala yang Lambang dengarkan dari radio terdengar merdu di telinganya. Radio peninggalan bapak menjadi hiburan saat penat. Mata Lambang yang setengah terpejam membuka saat perempuan yang dikasihinya membuka pintu dengan wajah ditekuk.Setelah mengucap salam dia masuk ke kamarnya. Tanpa mengindahkan Lambang yang ada di ruang tamu. Seketika Lambang mematikan radio dan bergegas menyusul ibunya.Tiba di depan kamar ibunya, Lambang terhenti. Dia urung untuk masuk. Sebab biasanya kalau ibunya punya masalah tidak akan mau diganggu. Karena itu dia berbelok ke dapur mengambil air minum. Biarlah besok saja kutanyain, atau kutunggu sampai mau bercerita sendiri, batinnya.Malam semakin larut. Mungkin ibunya sudah tertidur nyenyak. Namun, tidak biasanya dia setelah p
11. Hubungan SeriusTing!Bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Lambang yang berada di atas nakas. Perempuan yang sedang menikmati waktu istirahat setelah pulang mengajar itu bangkit dari tempat tidurnya. Dan menghampiri nakas yang berada di samping meja. Dibukanya kunci layar ponsel dan terlihat satu notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.[Assalamualaikum.]Lambang bimbang antara membalas pesan itu atau tidak. Hatinya menyuruh untuk membalas siapa tahu dari orang penting. Mungkin wali murid atau teman guru.[Waalaikum salam. Maaf, ini siapa?][Maaf, aku yang kemarin pernah salah kirim. Melihat dari balasan pesan yang kamu kirim, pasti kamu cewek. Boleh kenalan, gak?]Lambang terperangah dan setengah tersenyum dia menutup mulutnya. Merasa aneh karena sekian tahun meski ada pesan yang salah kirim, tetapi tidak pernah ada yang sampai mengajak kenalan.[Meman
Hari pernikahan yang dinanti pun tiba. Tanggal 14 Januari 2007 adalah tanggal yang dipilih untuk menyatukan dua sejoli. Air mata yang mengalir di pipi keriput ibu Lambang terlihat sebagai air mata bahagia. Menyaksikan anak sulung yang kini mendapatkan imam dalam hidupnya. Yang senantiasa akan menjaganya dari segala cobaan hidup.Tidak akan ada lagi gunjingan mengenai status Lambang. Kehadiran Harlando dalam keluarga membungkam mulut-mulut tetangga. Hal ini membuat ibu Lambang menjadi tenang. Karena tidak lagi jadi bahan gunjingan di antara tetangga dan teman di pengajian.Untuk sementara, Harlando tinggal di rumah Lambang selama beberapa hari. Meski sesekali dia pulang ke kotanya, karena bisnis yang dia jalani tidak bisa ditinggal terlalu lama. Terkadang Lambang yang datang berkunjung ke kota Harlando. Mereka jalani kehidupan seperti ini dengan ikhlas dan saling menerima."Nduk, ajak suamimu makan!" perintah Ibu. Saat itu ke
Kertas berisi lambang kabupaten yang diresmikan pada tahun 1969 kini berada di tangan Lambang. Dia tidak terima jika karya bapaknya disalahgunakan. Apalagi sampai mengubah konsep aslinya. Setiap komponen dan warna yang dipilih merupakan buah pemikiran bapaknya yang merujuk pada potensi daerah.Dia berniat untuk mengajukan hak paten. Karena semenjak karya itu diresmikan menjadi lambang kabupaten, belum pernah ada penghargaan sama sekali yang diterima bapak. Lambang berharap ada semacam royalti yang bisa bermanfaat untuk kehidupan ibunya.Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga pendidik, dia menyempatkan diri untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pak Koeswadi adalah pencipta lambang yang sah. Lambang ingin melindungi hasil karya bapaknya supaya tidak disalahgunakan dan juga untuk melindungi ide atau konsep gambar lambang kabupaten.Mulailah dia bertanya pada saudara dan teman-teman bapaknya yang dulu menggunakan lukisan bapak unt
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Septi memandang wajah sahabatnya yang tidak berhenti mengunyah kerupuk. Dia tahu betul sifat perempuan yang menjadi sahabatnya sejak SD."Kamu nggak menyesal menghentikan pengajuan ini? Lumayan, lo, kalau berhasil dipatenkan, setiap bulan hidup keluargamu akan terjamin." Septi kembali membujuk Lambang."Kalau ibuku tidak merestui, aku bisa apa? Nggak apa-apa nggak dapat royalti. InsyaAllah akan kami dapatkan royalti di akhirat. Itu yang ibu katakan padaku.""Oke, kalau begitu, aku tutup kasusmu, ya?" Septi menuangkan minuman untuk Lambang."Iya, tutup saja. Tetapi, tolong berkas-berkas yang sudah aku berikan, kamu simpan saja. Siapa tahu kelak aku membutuhkannya.""Siap, Bosku!"Sekitar satu jam mereka mengobrol. Kemudian Lambang pamit pulang karena takut Zaydan terbangun.Hari-hari Lambang hanya disibukkan dengan mengurus Zaydan dan melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Harlando pun sibuk d
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Kertas berisi lambang kabupaten yang diresmikan pada tahun 1969 kini berada di tangan Lambang. Dia tidak terima jika karya bapaknya disalahgunakan. Apalagi sampai mengubah konsep aslinya. Setiap komponen dan warna yang dipilih merupakan buah pemikiran bapaknya yang merujuk pada potensi daerah.Dia berniat untuk mengajukan hak paten. Karena semenjak karya itu diresmikan menjadi lambang kabupaten, belum pernah ada penghargaan sama sekali yang diterima bapak. Lambang berharap ada semacam royalti yang bisa bermanfaat untuk kehidupan ibunya.Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga pendidik, dia menyempatkan diri untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pak Koeswadi adalah pencipta lambang yang sah. Lambang ingin melindungi hasil karya bapaknya supaya tidak disalahgunakan dan juga untuk melindungi ide atau konsep gambar lambang kabupaten.Mulailah dia bertanya pada saudara dan teman-teman bapaknya yang dulu menggunakan lukisan bapak unt
Hari pernikahan yang dinanti pun tiba. Tanggal 14 Januari 2007 adalah tanggal yang dipilih untuk menyatukan dua sejoli. Air mata yang mengalir di pipi keriput ibu Lambang terlihat sebagai air mata bahagia. Menyaksikan anak sulung yang kini mendapatkan imam dalam hidupnya. Yang senantiasa akan menjaganya dari segala cobaan hidup.Tidak akan ada lagi gunjingan mengenai status Lambang. Kehadiran Harlando dalam keluarga membungkam mulut-mulut tetangga. Hal ini membuat ibu Lambang menjadi tenang. Karena tidak lagi jadi bahan gunjingan di antara tetangga dan teman di pengajian.Untuk sementara, Harlando tinggal di rumah Lambang selama beberapa hari. Meski sesekali dia pulang ke kotanya, karena bisnis yang dia jalani tidak bisa ditinggal terlalu lama. Terkadang Lambang yang datang berkunjung ke kota Harlando. Mereka jalani kehidupan seperti ini dengan ikhlas dan saling menerima."Nduk, ajak suamimu makan!" perintah Ibu. Saat itu ke
11. Hubungan SeriusTing!Bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Lambang yang berada di atas nakas. Perempuan yang sedang menikmati waktu istirahat setelah pulang mengajar itu bangkit dari tempat tidurnya. Dan menghampiri nakas yang berada di samping meja. Dibukanya kunci layar ponsel dan terlihat satu notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.[Assalamualaikum.]Lambang bimbang antara membalas pesan itu atau tidak. Hatinya menyuruh untuk membalas siapa tahu dari orang penting. Mungkin wali murid atau teman guru.[Waalaikum salam. Maaf, ini siapa?][Maaf, aku yang kemarin pernah salah kirim. Melihat dari balasan pesan yang kamu kirim, pasti kamu cewek. Boleh kenalan, gak?]Lambang terperangah dan setengah tersenyum dia menutup mulutnya. Merasa aneh karena sekian tahun meski ada pesan yang salah kirim, tetapi tidak pernah ada yang sampai mengajak kenalan.[Meman
Selamat malam duhai kekasihAku sebut namamu menjelang tidurkuAgar kau hadir dalam mimpi indahkuDi peraduan yang sepi iniAlunan lagu Selamat Malam dari Evi Tamala yang Lambang dengarkan dari radio terdengar merdu di telinganya. Radio peninggalan bapak menjadi hiburan saat penat. Mata Lambang yang setengah terpejam membuka saat perempuan yang dikasihinya membuka pintu dengan wajah ditekuk.Setelah mengucap salam dia masuk ke kamarnya. Tanpa mengindahkan Lambang yang ada di ruang tamu. Seketika Lambang mematikan radio dan bergegas menyusul ibunya.Tiba di depan kamar ibunya, Lambang terhenti. Dia urung untuk masuk. Sebab biasanya kalau ibunya punya masalah tidak akan mau diganggu. Karena itu dia berbelok ke dapur mengambil air minum. Biarlah besok saja kutanyain, atau kutunggu sampai mau bercerita sendiri, batinnya.Malam semakin larut. Mungkin ibunya sudah tertidur nyenyak. Namun, tidak biasanya dia setelah p
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I