“Sejarah adalah perpaduan tiga dimensi waktu. Yakni, masa lalu, masa kini dan masa depan. Hari ini tidak mungkin kalau tidak melalui masa lalu. Dan masa depan tidak akan ada kalau bukan karena hari ini. Sejarah ditulis oleh mereka yang menang di masa lalu. Tetapi masa depan diciptakan oleh kita yang berjuang di masa kini. Seperti orang yang amnesia, orang yang tidak mau belajar sejarah akan kehilangan arah dan pijakan. Karena sejarah menyangkut jati diri dan identitas seseorang atau bangsa."
Kepiawaian Lambang menjelaskan membuat semua murid serius mendengarkan. Tiba-tiba Brian yang duduk di pojok kanan depan mengangkat tangannya."Seperti sebuah lagu, Bu," ujarnya."Lagu apa?"Brian berdiri dan mendendangkan sebuah lagu. "Aku bagai nelayan. Yang kehilangan arah. Dan tak tau ke mana, ho wo woo. Ku harus bersandar.""Huuu!" Cibiran dari teman sekelas membuat Brian sigap melindungi badan dengan tangannya dari serangan lemparan kertas dari teman-temannya. "Kenapa? Apa aku salah kata? Maaf, maaf," kata Hadi sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dahi."Sudah, Anak-anak! Diam semua!"Lambang menyudahi keributan yang diciptakan Brian. Dia tersenyum geli melihat tingkah anak didik yang menurutnya sangat lucu.
"Brian tidak bersalah. Dia hanya mengaitkan sejarah dengan lagu yang dia suka. Berarti dia menyimak apa yang saya jelaskan. Hanya saja caranya menangkap materi pelajaran terbilang unik.""Dia memang suka bernyanyi, Bu. Waktu makan, dia bernyanyi. Waktu mandi, bernyanyi. Bahkan mungkin ketika tidur pun dia bernyanyi," celetuk teman sebangkunya yang bernama Ricky."Kalo begitu, gimana kalo sekarang kita minta Brian ke depan untuk bernyanyi? Sekali-kali nggak apa-apa ada hiburan supaya tidak tegang," usul Lambang."Setujuuu!" teriak seisi kelas dengan kompak.Brian terpaksa maju dengan malu-malu. Tangannya menggaruk kepala, kemudian dia sadar kalo baru kemarin kepalanya dicukur plontos. Tak ayal tingkahnya membuat semua yang ada di dalam kelas tertawa terbahak-bahak. Termasuk Lambang yang hari itu bisa tertawa lepas setelah sekian purnama dia lupa cara tertawa. Brian menunggu hingga mereka selesai tertawa. Kemudian dia bernyanyi sambil menggerakkan tangannya bak artis ternama."Karena wanita ingin dimengerti. Lewat tutur lembut dan laku agung. Karena wanita ingin dimengerti. Manjakan dia dengan kasih sayang."Suara Brian membuat seluruh kelas bertepuk tangan dengan meriah. Tidak terasa, bel istirahat sudah berbunyi. Lambang mengakhiri kegiatan mengajar setelah mengingatkan anak didiknya untuk membaca materi minggu depan. Usai mengucap salam dia keluar kelas menuju ruang guru. Siang ini cuaca terlihat cerah. Lambang berencana untuk pergi ke perpustakaan daerah guna memperkaya pengetahuannya mengenai sejarah. Dia merasa dunia pendidikan adalah jiwanya. Bersama anak didiknya bisa tertawa lepas tanpa beban. Tidak ada lagi yang diinginkan selain mengajar dan mengajar. Karena itu, dia merasa perlu untuk mencari referensi materi.Lambang sudah bersiap pergi ke perpustakaan saat adiknya datang. "Mau ke mana mbak?" tanya Nameera sambil mencium tangannya."Mau ke Perpusda.""Naik apa? Aku antar, yuk!""Nggak usah. Lagian kamu juga baru datang," tolak Lambang. Tali sepatu berwarna biru dia ikat dengan rapi di kakinya."Nggak apa-apa, Mbak. Ayo, sebentar saja, kok!" Nameera tetap memaksa."Ayo, dah!" Akhirnya Lambang mengikuti perempuan manis itu naik sepeda motor dan duduk di belakangnya. Setelah berpamitan pada ibunya, Nameera memutar gas pada tangan kanan. Honda Prima itu berjalan melewati Jalan Hasan Assegaf yang tidak begitu ramai. Meski demikian, Nameera mengendarai dengan kecepatan 40 km/jam karena terkadang banyak anak kecil yang melintas. Jalan ini adalah jalan kampung sebelum menuju jalan utama yang sedikit ramai.Setelah melewati Jalan Sucipto dan melewati Alun-Alun Kabupaten, Lambang segera turun dari sepeda motor begitu tiba di halaman Perpusda. "Kalau sudah mau pulang telepon aku, ya, Mbak?" pinta Nameera sebelum memutar arah."Nggak usah. Aku belum tahu mau pulang jam berapa.""Oke, deh." Nameera memutar sepeda motornya meninggalkan Lambang yang segera berjalan memasuki Gedung Perpusda. Seorang petugas menyambutnya ramah di pintu masuk. Karena Lambang belum mempunyai kartu anggota, dia menyerahkan KTP sekaligus meminta pada petugas untuk dibuatkan kartu anggota. Lambang merasa perlu sering-sering ke tempat ini untuk memperkaya pengetahuannya mengenai sejarah.Proses pembuatan kartu anggota tidak memakan waktu lama, sehingga Lambang bisa segera mencari buku yang ingin dibaca. Pengunjung perpustakaan ini tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa remaja yang terlihat seperti murid SMP. Mungkin mereka mengerjakan tugas sekolah.Lambang menemukan buku yang dia cari. Sambil berjalan menuju ruang baca, dia membuka-buka buku bersampul gambar sebuah pendopo. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Nameera, adiknya. Sejak Lambang pulang ke kota kelahirannya, Nameera begitu peduli dan perhatian. Apa yang Lambang butuhkan sebisa mungkin dipenuhi olehnya. Sementara, Lambang sangat acuh tak acuh terhadap adik semata wayangnya itu.***
"Lambang, jangan bermain saja! Jaga adikmu!" suruh Ibu.
Lambang menuruti perintah Ibunya dengan setengah hati. Hal yang paling dibenci adalah disuruh menjaga adik. Padahal, dia sangat ingin bermain dengan teman-temannya di sungai. Mengulang keseruan mereka kemarin yang menemukan batang pisang hanyut. Beramai-ramai mereka menaiki batang pisang itu sambil tertawa kegirangan layaknya sekelompok pendayung sedang mengikuti kejuaraan.Kadang mereka berlomba kekuatan bertahan di atas batang pohon pisang dengan cara menjatuhkan yang lain. Teman yang bisa bertahan duduk lebih lama itulah pemenangnya. Akibat sering bermain di sungai, mereka semua pandai berenang. Berenang tepat di bawah pintu air adalah kesenangan mereka. Lambang memandang adiknya dengan hati dongkol. Anak kecil yang berusia tiga tahun itu bermain boneka plastik yang ibu beli di pedagang mainan saat ada hajatan tetangga dekat rumah. Lambang merebut boneka dari tangan gadis cantik itu dan melemparnya ke kaki kursi. Sontak Nameera menangis dan berusaha mengambil kembali boneka yang sulit dia raih. Ibu datang mendekat dan memarahi Lambang. Dia meraih Nameera kecil ke dalam pelukannya dan ditenangkan. Boneka di bawah kursi diambil dan diberikan pada gadis berkulit putih itu. Tiba-tiba teringat masakan di dapur masih ada di atas kompor. Bergegas sambil menggendong Nameera kakinya melangkah menuju dapur.Lambang merasa ada kesempatan untuk keluar rumah. Setengah berjingkat dan membuka pintu perlahan, kemudian ditutup kembali dengan sangat hati-hati tanpa menimbulkan suara. Tiba di halaman dia berlari kegirangan seakan-akan terbebas dari kurungan. Teman-temannya yang sebagian besar laki-laki menyambut gembira kedatangan Lambang dengan menunjukkan dua buah batang pisang yang mereka temukan.***
Memory tentang masa kecil bersama adiknya yang tidak begitu akrab sejenak membuat Lambang lupa akan tujuannya ke tempat ini. Dia segera fokus pada buku di hadapannya. Tangan kiri membuka lembar pertama, sedangkan tangan kanan mengambil buku dan bolpoin dari dalam tas. Kalimat demi kalimat dibaca dengan teliti. Sambil sesekali menulis informasi penting di buku tulisnya.
Hampir satu jam Lambang berada di perpustakaan. Namun, apa yang dia cari rupanya tidak ada di buku itu. Segera dia berdiri dan mengembalikan buku yang dipegang. Kemudian mencari lagi di antara deretan buku di hadapannya. Seketika indra penglihatannya tertuju pada sebuah buku bergambar bendera kabupaten di pojok kanan atas. "Mbak, masih lama? Kami mau tutup," tegur seorang petugas."Oh, maaf. Ini sudah selesai," kata Lambang. Perempuan bertubuh subur itu membawa buku yang dia temukan pada petugas perpustakaan untuk dicatat sebagai buku pinjaman. Supaya bisa dibawa pulang untuk dibaca di rumah.Lambang menatap nanar buku yang dia pinjam dari perpustakaan yang kini terbuka di hadapannya. Isi buku setebal seratus halaman itu sudah dia lahap hingga dua kali. Kedua tangan disilangkan di depan dada. Pikirannya menerka-nerka apa yang dia cari mungkin ada di buku lain. Tidak mungkin hal penting tidak tertulis di buku sejarah kabupaten. Lambang keluar dari kamar mencari ibunya. Saat langkahnya melewati ruang tamu, terdengar suara sang ibu berada di depan rumah. Sepertinya sedang berbicara dengan tetangga yang lewat. Dia menunggu tetangga itu pergi. Ada yang Lambang ingin tanyakan pada beliau. Pembicaraan mereka terdengar sekilas di telinga Lambang. Bu Sumiyati menoleh saat Lambang menyentuh bunga anyelir yang bunganya hampir layu. Dia mengambil alat penyiram bunga yang berada di samping rumah. Kemudian diisi dengan air dari keran yang terdapat di dekat taman. Bu Sumiyati datang mendekat dengan tangan kiri memegang sapu lidi.
"Melakar langit sejarah, membina awan mimpi, bila aku menjejak, ia menjadi pasti." (Hilal Asyraf). Lambang menuliskan qoutes di buku diarynya. Sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Lebih tenang menjalani hidup dan tidak menginginkan apapun lagi. Selain terus menerus mempelajari sejarah. Berbagi ilmu dengan murid-muridnya dan mendiskusikan materi dengan sesama guru pengampu mata pelajaran Sejarah se Kabupaten. Setiap satu minggu sekali Lambang bertemu dengan mereka di tempat yang berbeda.Terkadang, dia bertemu dengan kawan-kawan masa kecil untuk sekedar makan bakso dan minum es campur. Dia hanya ingin menghabiskan masa-masa hidupnya dengan menjadi orang yang bermanfaat dan bisa membahagiakan orang lain. "Lambang ini dari dulu nggak berubah, ya. Tetap suka mentraktir orang," kata Leo, teman masa kecil Lambang. Mereka sedang berkumpul di warung bakso langganan dekat stadion. Kebetulan mereka tidak punya kesibukan d
"Gagal dalam kemuliaan lebih baik dari pada sukses dalam kehinaan." (Koeswadi). Motto dari ayah tercinta sudah Lambang ketik pada lembar skripsinya. Revisi pada bab hasil dan pembahasan sudah diselesaikan. Rencananya besok mau diserahkan pada dosen pembimbing.Namun, perkuliahan kampus sudah memasuki masa libur semester ganjil. Jadi, dosennya meminta untuk menunda bimbingan skripsi sampai selesai liburan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan selama liburan, Lambang memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Itulah sebabnya dia menuntaskan revisinya malam ini. Besok pagi dia akan menaiki bus pertama menuju kota kelahirannya. Setelah menyimpan mesin ketik di lemari bagian bawah, mahasiswi semester akhir itu melepas penat di kasur lantai. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halus mengiringi tidurnya yang lelap. Azan Subuh baru saja usai dikumandangkan. Lambang segera mengerjakan ibadah salat Subuh dengan khusy
Selembar kertas agak tebal terselip di antara dokumen-dokumen milik Pak Koeswadi menarik perhatian Lambang. Dia ambil kertas itu. Tertulis, piagam penghargaan diberikan kepada Koeswadi sebagai juara satu lomba cipta karya lambang kabupaten. Ini dia, batin Lambang. Kening Lambang berkerut tanda berpikir keras. Analisisnya sebagai seorang guru Sejarah dan orang yang sangat menghargai sejarah tidak pernah meleset. Almarhum bapaknya adalah salah seorang pelaku sejarah tetapi namanya tenggelam seiring waktu. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus mendapatkan haknya sebagai salah satu warga yang berkontribusi untuk kabupaten. Minimal bidang kearsipan mencatat namanya. Lambang sudah mencari sekian lama tetapi tidak menjumpai nama bapaknya tercatat di buku sejarah kabupaten. Apalagi bapaknya adalah salah satu orang yang berjuang mengembangkan kabupaten ini. Dia bertekad untuk memperjuangkan nama bapaknya yang sudah memp
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
Selamat malam duhai kekasihAku sebut namamu menjelang tidurkuAgar kau hadir dalam mimpi indahkuDi peraduan yang sepi iniAlunan lagu Selamat Malam dari Evi Tamala yang Lambang dengarkan dari radio terdengar merdu di telinganya. Radio peninggalan bapak menjadi hiburan saat penat. Mata Lambang yang setengah terpejam membuka saat perempuan yang dikasihinya membuka pintu dengan wajah ditekuk.Setelah mengucap salam dia masuk ke kamarnya. Tanpa mengindahkan Lambang yang ada di ruang tamu. Seketika Lambang mematikan radio dan bergegas menyusul ibunya.Tiba di depan kamar ibunya, Lambang terhenti. Dia urung untuk masuk. Sebab biasanya kalau ibunya punya masalah tidak akan mau diganggu. Karena itu dia berbelok ke dapur mengambil air minum. Biarlah besok saja kutanyain, atau kutunggu sampai mau bercerita sendiri, batinnya.Malam semakin larut. Mungkin ibunya sudah tertidur nyenyak. Namun, tidak biasanya dia setelah p
11. Hubungan SeriusTing!Bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Lambang yang berada di atas nakas. Perempuan yang sedang menikmati waktu istirahat setelah pulang mengajar itu bangkit dari tempat tidurnya. Dan menghampiri nakas yang berada di samping meja. Dibukanya kunci layar ponsel dan terlihat satu notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.[Assalamualaikum.]Lambang bimbang antara membalas pesan itu atau tidak. Hatinya menyuruh untuk membalas siapa tahu dari orang penting. Mungkin wali murid atau teman guru.[Waalaikum salam. Maaf, ini siapa?][Maaf, aku yang kemarin pernah salah kirim. Melihat dari balasan pesan yang kamu kirim, pasti kamu cewek. Boleh kenalan, gak?]Lambang terperangah dan setengah tersenyum dia menutup mulutnya. Merasa aneh karena sekian tahun meski ada pesan yang salah kirim, tetapi tidak pernah ada yang sampai mengajak kenalan.[Meman
Septi memandang wajah sahabatnya yang tidak berhenti mengunyah kerupuk. Dia tahu betul sifat perempuan yang menjadi sahabatnya sejak SD."Kamu nggak menyesal menghentikan pengajuan ini? Lumayan, lo, kalau berhasil dipatenkan, setiap bulan hidup keluargamu akan terjamin." Septi kembali membujuk Lambang."Kalau ibuku tidak merestui, aku bisa apa? Nggak apa-apa nggak dapat royalti. InsyaAllah akan kami dapatkan royalti di akhirat. Itu yang ibu katakan padaku.""Oke, kalau begitu, aku tutup kasusmu, ya?" Septi menuangkan minuman untuk Lambang."Iya, tutup saja. Tetapi, tolong berkas-berkas yang sudah aku berikan, kamu simpan saja. Siapa tahu kelak aku membutuhkannya.""Siap, Bosku!"Sekitar satu jam mereka mengobrol. Kemudian Lambang pamit pulang karena takut Zaydan terbangun.Hari-hari Lambang hanya disibukkan dengan mengurus Zaydan dan melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Harlando pun sibuk d
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Hati kecil Lambang awalnya kecewa. Niatnya untuk mendapatkan hak paten atas karya bapak tercinta tidak direstui oleh ibunya. Namun, setelah diberi penjelasan, Lambang akhirnya sadar. Bahkan dia merasa malu pada ibunya. Dia belum bisa bersikap ikhlas, masih memperturutkan ego.Pagi itu Lambang berangkat lebih awal diantar suaminya yang kebetulan berada di rumah. Seperti bissa dia selalu bersemangat untk mengajarkan ilmu pada anak-anak didiknya.Bu Merlita memberi kabar yang baik saat Lambang tiba di sekolah pagi itu. Guru senior yang baik hati itu menyambut Lambang langsung di pintu gerbang sambil tersenyum."Bu Lambang mimpi apa semalam?"Lambang yang saat itu baru saja turun dari sepeda motor dibonceng suaminya bingung dengan pertanyaan Bu Merlita."Mimpi apa, ya, Bu?""Selamat, ya. Bu Lambang lulus seleksi CPNS." Bu Merlita menjabat tangan Lambang kemudian memeluknya erat.Lambang hany
Kertas berisi lambang kabupaten yang diresmikan pada tahun 1969 kini berada di tangan Lambang. Dia tidak terima jika karya bapaknya disalahgunakan. Apalagi sampai mengubah konsep aslinya. Setiap komponen dan warna yang dipilih merupakan buah pemikiran bapaknya yang merujuk pada potensi daerah.Dia berniat untuk mengajukan hak paten. Karena semenjak karya itu diresmikan menjadi lambang kabupaten, belum pernah ada penghargaan sama sekali yang diterima bapak. Lambang berharap ada semacam royalti yang bisa bermanfaat untuk kehidupan ibunya.Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga pendidik, dia menyempatkan diri untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pak Koeswadi adalah pencipta lambang yang sah. Lambang ingin melindungi hasil karya bapaknya supaya tidak disalahgunakan dan juga untuk melindungi ide atau konsep gambar lambang kabupaten.Mulailah dia bertanya pada saudara dan teman-teman bapaknya yang dulu menggunakan lukisan bapak unt
Hari pernikahan yang dinanti pun tiba. Tanggal 14 Januari 2007 adalah tanggal yang dipilih untuk menyatukan dua sejoli. Air mata yang mengalir di pipi keriput ibu Lambang terlihat sebagai air mata bahagia. Menyaksikan anak sulung yang kini mendapatkan imam dalam hidupnya. Yang senantiasa akan menjaganya dari segala cobaan hidup.Tidak akan ada lagi gunjingan mengenai status Lambang. Kehadiran Harlando dalam keluarga membungkam mulut-mulut tetangga. Hal ini membuat ibu Lambang menjadi tenang. Karena tidak lagi jadi bahan gunjingan di antara tetangga dan teman di pengajian.Untuk sementara, Harlando tinggal di rumah Lambang selama beberapa hari. Meski sesekali dia pulang ke kotanya, karena bisnis yang dia jalani tidak bisa ditinggal terlalu lama. Terkadang Lambang yang datang berkunjung ke kota Harlando. Mereka jalani kehidupan seperti ini dengan ikhlas dan saling menerima."Nduk, ajak suamimu makan!" perintah Ibu. Saat itu ke
11. Hubungan SeriusTing!Bunyi notifikasi terdengar dari ponsel Lambang yang berada di atas nakas. Perempuan yang sedang menikmati waktu istirahat setelah pulang mengajar itu bangkit dari tempat tidurnya. Dan menghampiri nakas yang berada di samping meja. Dibukanya kunci layar ponsel dan terlihat satu notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal.[Assalamualaikum.]Lambang bimbang antara membalas pesan itu atau tidak. Hatinya menyuruh untuk membalas siapa tahu dari orang penting. Mungkin wali murid atau teman guru.[Waalaikum salam. Maaf, ini siapa?][Maaf, aku yang kemarin pernah salah kirim. Melihat dari balasan pesan yang kamu kirim, pasti kamu cewek. Boleh kenalan, gak?]Lambang terperangah dan setengah tersenyum dia menutup mulutnya. Merasa aneh karena sekian tahun meski ada pesan yang salah kirim, tetapi tidak pernah ada yang sampai mengajak kenalan.[Meman
Selamat malam duhai kekasihAku sebut namamu menjelang tidurkuAgar kau hadir dalam mimpi indahkuDi peraduan yang sepi iniAlunan lagu Selamat Malam dari Evi Tamala yang Lambang dengarkan dari radio terdengar merdu di telinganya. Radio peninggalan bapak menjadi hiburan saat penat. Mata Lambang yang setengah terpejam membuka saat perempuan yang dikasihinya membuka pintu dengan wajah ditekuk.Setelah mengucap salam dia masuk ke kamarnya. Tanpa mengindahkan Lambang yang ada di ruang tamu. Seketika Lambang mematikan radio dan bergegas menyusul ibunya.Tiba di depan kamar ibunya, Lambang terhenti. Dia urung untuk masuk. Sebab biasanya kalau ibunya punya masalah tidak akan mau diganggu. Karena itu dia berbelok ke dapur mengambil air minum. Biarlah besok saja kutanyain, atau kutunggu sampai mau bercerita sendiri, batinnya.Malam semakin larut. Mungkin ibunya sudah tertidur nyenyak. Namun, tidak biasanya dia setelah p
"Pagi, Bu," sapa pria berbaju batik sambil berjalan mendahului Lambang."Pa-pa-pagi!" Lambang terkejut tiba-tiba ada orang yang menyapa dan mendahuluinya. Keningnya berkerut memikirkan siapa gerangan pria itu."Dia guru Seni Lukis yang baru. Namanya Pak Barra. Masih jomlo, lo," ujar Bu Syakila yang muncul tiba-tiba di samping Lambang."Emang kenapa kalau masih jomlo?" tanya Lambang."Barangkali mau kenalan lebih dekat," jawab Bu Syakila sambil terkekeh. Guru Bahasa Indonesia itu selalu ceria dan terbiasa bercanda dengan Lambang."Ish! Masih terlalu muda. Saya kan sudah tua.""Eh, nggak masalah, kok. Banyak artis-artis yang menikah dengan laki-laki yang lebih muda," bantah Bu Syakila."Saya, kan, bukan artis."Mereka tertawa bersama hingga tiba di ruang guru. Sambil menyapa guru-guru yang sudah hadir, Lambang dan Bu Syakila menuju meja masing-masing.Sepuluh menit
"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya. Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu. "Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah. "Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas. "Siapa, Bu? I