Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.
Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu.
"Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.
Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.
Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.
Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahkan dia tidak tahu namanya, tetapi gadis canggung itu malah merebut pakaiannya.
Yama mengambil napas panjang, matanya menyipit menatap pintu yang baru saja ditutup Dea dengan keras. Handuk yang melilit pinggangnya terasa makin menggelikan, namun kemarahannya menutupi rasa malu itu.
"Saya mau lihat sampai di mana kau bisa berlari!" gumamnya dingin. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil di samping sofa. Dengan cepat, dia menekan beberapa tombol panggilan.
"Selidiki identitas wanita itu," katanya tegas begitu panggilan tersambung. "Dan bersiaplah menanggung akibat dari kesalahan kalian dalam memberikan informasi semalam. Jangan sampai terulang lagi!"
Dari seberang telepon terdengar suara penuh kepanikan, mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Yama memutus panggilan sebelum kalimatnya selesai. Tidak ada waktu untuk mendengarkan alasan.
Matanya beralih ke dompet kecil berwarna merah di atas ranjang, di mana lembaran uang berwarna merah—dua ratus ribu yang ditinggalkan Dea—terlipat di dalam dompet begitu saja, seolah mengejek dirinya.
"Membayarku serendah itu..." gumamnya sambil mengeluarkan lembaran itu dari dompet kecil, uang itu kumuh dan dalam kondisi terlipat. Yama memandanginya seperti barang menjijikkan. Bibirnya menyeringai penuh kebencian sekaligus kegembiraan aneh.
"Harga yang harus kau bayar adalah seumur hidup, gadis kecil!" lanjutnya dengan suara rendah, nyaris seperti janji yang menyeramkan.
Di luar Hotel...
Dea terus berlari, sesekali menoleh ke belakang dengan tawa kecil. "Hah! Dia pasti sangat marah sekarang!" gumamnya sambil tersenyum puas. "Tapi, dia cukup tampan."
Dea membuang celana panjang milik pria itu ke tong sampah umum yang dilewatinya lalu menepuk tangannya seolah-olah membersihkan debu dan rasa jijik.
"Hilangkan barang bukti, sekarang pergi membeli pakaian untukku. Kemejanya membuat tubuhku seperti patung jelek, eh, tapi lebih baik aku kembali ke rumah dulu, uangku bahkan tidak cukup membayar bus," gumamnya.
“Issh, sakit sekali aku dibuatnya,” desis Dea sambil memegang bagian bawah perutnya lalu kembali berjalan cepat.
Namun, kegembiraannya terganggu oleh dering ponselnya. Dea sudah hampir sampai di rumah sewanya yang berada tidak jauh dari hotel. Dea mengerutkan dahi, menarik ponselnya dari tasnya. Nama Jean muncul di layar.
"Halo, Jean? Ini bukan waktu yang tepat untuk—"
"Dea! Apa yang kau lakukan?!" suara Jean terdengar panik.
"Santai saja. Aku cuma sedikit bercanda dengan pria itu," jawab Dea dengan nada tak peduli.
"Bercanda?!" Suara Jean meledak dari ponsel, nyaris memekakkan telinga Dea. "Kau bermalam dengan siapa?"
Dea mengerutkan dahi, rasa cemas mulai menyelinap di dadanya. "Apa maksudmu, Jean?" tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Dea mematung, menghentikan langkahnya.
"Mengapa pria yang kubayar menghubungimu semalam dan kau sama sekali tidak mengangkat ponselmu?! Kau bahkan tidak membalas pesan dariku! Jangan-jangan..." Jean terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada penuh kecurigaan, "Kau salah orangkah?"
Dea membeku di tempat. Ucapan Jean menyentaknya seperti petir di siang bolong. Perlahan, wajahnya memucat saat pikirannya mulai merangkai semua kejadian yang terjadi semalam. Pria itu mengatakan beberapa hal yang dia tidak mengerti. Dia menebak itu adalah sebuah drama hiburan yang disiapkan Jean.
"Tunggu... tunggu..." gumam Dea, hampir tidak bisa berkata-kata. "Jadi... Yama, dia… pria yang bersamaku semalam... bukan...?"
"Ya Tuhan, Dea! Jangan bilang kau salah masuk kamar! Lalu siapa pria itu?!" Jean berteriak panik di seberang telepon.
"Lebih tepatnya, aku mungkin diculik lalu..." Dea memandang lurus ke depan, kepalanya dipenuhi kilasan wajah pria bernama 'Yama' yang tersenyum penuh arti, tatapan tajamnya yang dingin, serta semua dialog aneh yang mereka lakukan semalam. Dia memang mabuk, tetapi masih bisa mengingat samar-samar. Perlahan, dia menyadari betapa fatalnya kesalahan yang telah dibuatnya.
"L-lalu... siapa pria itu?" gumam Dea dengan suara bergetar, bertanya lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Jean.
“Kau kenal dia?” Jean balik bertanya.
"Mana kutahu?!" seru Dea, hampir memekik, suaranya terdengar bercampur frustrasi dan panik. Sisa efek minuman semalam masih membuat kepalanya terasa pusing.
Dia menjatuhkan dirinya ke lantai, terduduk dengan tangan yang memegang ponsel lemas di pangkuannya. Tatapannya kosong, seolah-olah otaknya masih berusaha memahami semua kekacauan yang baru saja terungkap.
"Aku benar-benar idiot..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengacak rambutnya dengan gerakan kasar, tanda frustrasi memuncak saat itu juga.
Namun, pikirannya langsung beralih ke satu hal lain yang membuatnya semakin kesal. "Dan uangku dua ratus itu... aih!" serunya sambil menjambak rambutnya sendiri.
Jean, di seberang telepon, menarik napas panjang. "Dua ratus? Dea, kau membayar pria itu?!" tanya Jean, terdengar tidak percaya.
"Bukan itu intinya, Jean!" potong Dea cepat. "Aku tidak tahu siapa dia, dan sekarang dia pasti berpikir aku... ah, sudahlah! Ini semua salahmu!"
"Salahku?! Jangan salahkan aku! Kau yang salah kamar!" balas Jean tak kalah cepat."Aku bahkan sudah membayar lunas pria yang tidak jadi menghiburmu semalam," lanjutnya.
"Ini namanya RUGI!" Jean berdecak dengan kesal.
Dea mendengus kesal, lalu menjatuhkan ponselnya ke lantai. Merasa malas untuk berbicara lebih lanjut. Dia menatap langit dengan perasaan campur aduk. Rasa malu, kesal, dan takut bercampur jadi satu. Dia baru saja diselingkuhi dan saat ini, apa yang dialaminya malah hanya akan menambah bahan tertawaan untuk dirinya sendiri.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Dea, hei!” Suara Jean memanggil teredengar panik, namun Dea hanya membiarkan ponsel itu di lantai yang sedingin hatinya saat ini.
Bayangan Sanjaya sebagai awali kesialan yang dia alami tiba-tiba lewat dalam renungannya. Pria itu akan menikah hari ini. Dalam sekejap, ekspresinya berubah.
"Tidak! Aku tidak bisa menyerah seperti ini!" katanya sambil berdiri dengan tiba-tiba, mengepalkan tangannya seakan hendak melawan.
Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi."Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi."Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia me
Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya."Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang
Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.**Drrtt... Drrtt...**Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak."Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.Dea segera menghapus air matanya dengan
"Kamu hanya punya satu jam!" balas Yama lalu menutup panggilan, matanya masih tajam menatap ke depan. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang berharga baginya tersakiti, apalagi Dea. Gadis itu mungkin belum menyadarinya, tapi sejak pertemuan mereka, Yama telah menaruh perhatian khusus padanya.Bagi orang lain, ini mungkin hanya insiden biasa—pertengkaran yang berujung pemukulan. Tapi Yama bukan orang yang mudah dibodohi. Ada sesuatu yang janggal di balik kejadian ini, dan dia tidak akan tinggal diam.Di dalam ruangan, Dea masih duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Tangannya menggenggam erat tangan pria paruh baya itu, seakan takut kehilangan."Ayah, siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih.Ayahnya menghela napas. "Tidak usah ikut campur, Dea. Ini bukan urusanmu.""Tapi, Ayah—""Diamlah!" Pria itu menguatkan suaranya, membuat Dea ter
Yama menyelipkan tangannya ke saku celana, memandang Dea yang panik dengan sorot mata tenang. "Jadi kamu menilaiku seperti itu?" tanyanya dengan wajah kalem."Aku tahu," kata Dea lagi, suaranya lebih rendah tapi tetap penuh curiga. Dea menyipitkan kedua matanya. "Kau pasti meminta bayaran lebih, ya? Baiklah, aku berjanji akan membayarmu dua ratus ribu lagi. Tidak bisa lebih lagi.""Lagian, ternyata kamu bukan pria yang dicari temanku, Jean. Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa tertukar," lanjutnya tanpa mempedulikan reaksi aneh dan bingung dari Yama."Aku juga sudah rugi karena masih harus membayar pria lain yang tidak pernah melakukan tugasnya, kau tahu? Jean sudah membayarnya!"Ia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan ponselnya dan menatap Yama dengan kesal. "Sekarang pergi, dan aku akan mengirimkannya ke rekeningmu besok. Berikan nomor ponselmu!"Yama tertawa kecil, menggeleng pela
"Lima belas? Astaga!"Dea terkejut dengan jumlah fantastis yang disebut Zacky, terlebih tidak mengerti, bagaimana seseorang yang arogan seperti dia bisa berlutut dan memohon ampun dan belas kasihan kepadanya.Yama mendekati Dea, suaranya lebih lembut saat berkata, "Dengar, Dea. Ini adalah kesempatanmu untuk keluar dari cengkeraman Zacky. Apa pun kesepakatan yang sudah kau buat dengannya, anggap saja batal.""Benarkah?" Dea menatap Zacky, yang masih berlutut gemetar, lalu menatap Yama. Ia tak bisa mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat."Ya, batal! Semua batal! Izinkan aku pulang. Keempat istriku dan anak-anakku sedang menungguku, mereka masih kecil, tolong berbaik hatilah, Dea.""Aku..." Dea tidak tahu mau menjawab apa."Ayo pergi dari sini," kata Yama lagi, suaranya kini lebih tegas.Dea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ada sesuatu ya
Dea selesai lebih cepat dan segera bangkit untuk membayar di kasir. Saat ia hendak kembali, ponselnya berdering. Ia melihat nama di layar dan mengangkatnya.“Halo? Jean? Kamu sudah di sana? Apa? Serius?” Dea mengerutkan dahinya. “Haruskah aku datang sekarang?”Yama, yang masih duduk dengan perut terasa melilit, tidak bisa berkonsentrasi pada percakapan itu. Akhirnya, dia tidak tahan lagi.“K-Kamar kecil di mana?” serunya panik.Dea menunjuk ke arah kanan tanpa menoleh. “Di sana, cepat!”Tanpa menunggu lebih lama, Yama melesat dengan kecepatan penuh menuju kamar kecil, meninggalkan jejak penderitaan dan setengah piring nasi goreng yang tak tersentuh.“Hei, aku mau pergi!” seru Dea sambil menoleh ke arah kamar mandi. Namun, Yama sudah terlanjur menghilang di balik pintu.Dea menghela napas, lalu bergegas pergi mencari Jean dengan menaiki taksi. Jean sudah menunggunya di sebuah restoran tidak jauh dari sana, tapi wajahnya tampak cemas saat Dea tiba di sana.“Jean, ada apa?” tanya Dea, me
Arman mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. “Akan saya lakukan segera, Pak.”Bob menatap Arman dengan tajam. “Jangan sampai ada kesalahan.”“Dimengerti.”Dea dan Jean tiba di restoran yang sudah ditentukan. Restoran itu tampak cukup ramai, tetapi sudut tempat mereka bertemu berada di bagian yang lebih sepi."Ini Steven dan Mommy Dara." Jean yang lebih dahulu memperkenalkan dua orang itu kepada Dea."Uhm, ini Dea."Steven, pria yang merasa dirugikan, sudah duduk di sana bersama seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor dan wajah penuh kepalsuan. Tatapan keduanya penuh tipu daya, seolah sudah merencanakan sesuatu."Duduklah," balas Mommy Dara dengan ketus, sementara pria di sampingnya melirik dengan enggan.Dea duduk dengan sikap waspada, sementara Jean tampak gelisah. Kedua mata Dea menelusuri dua makhluk di hadapannya.Steven, terlihat cukup tampan, tetapi tampil dengan gaya flamboyan dan senyuman tipis yang menjengkelkan mulai membuka suara."Kami mengenakan denda kepada pelan
Namun, Yama akhirnya bisa bernapas lega pada saat seseorang akhirnya menemukannya. Saat dia melihat bayangan samar di antara es yang sudah membentuk lingkaran sekeliling matanya."T-tolong."Seorang lelaki tua dari pemukiman bawah, dengan kereta kayu berisi ramuan dan kayu bakar. Matanya membelalak saat melihat tubuh tergeletak di antara bebatuan. "Hei!" pekiknya seraya berlari mendekati dengan langkah besar menginjak salju yang tebal.Luka dan darah Yama yang mulai membeku sudah hampir menyatu dengan salju. Pria tua itu bergidik dengan bekas noda cukup panjang di belakang Yama."Astaga… kamu masih hidup!" serunya panik menyadari sudah berapa lama Yama berusaha bertahan hanya dengan merangkak dalam luka yang tetap mengalirkan darah.Yama tak bisa menjawab. Dia merasa kedua lututnya mungkin sudah hancur. Tapi dia tidak peduli.Ia hanya menggeliat pelan, matanya mengerjap samar. Tapi itu cukup j
Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.Yama mendesis, menahan nyeri.Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih."Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
"Nona Dea," sapanya dengan suara bergetar dan canggung.“Eh, kamu!” suara itu membuatnya tercekat. “Kamu lihat Yama?”Ajudan itu menelan ludah. Pandangannya melirik ke belakang dengan canggung, lalu kembali ke wajah Dea yang terlihat khawatir. “T-tidak, Nona Dea... S-saya tidak melihatnya,” jawabnya cepat dan semakin terlihat canggung sambil menggeleng. “M-mungkin dia masih di bukit barat?”"A-aku harus kembali ke tenda," lanjutnya. Ia langsung berlari setelah itu, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata.Dea terdiam, keningnya berkerut. Hati kecilnya merasa ada yang aneh dengan gestur ajudan itu. Tapi ia menaikkan bahu lalu memilih masuk ke dalam tenda. Berharap, mungkin Pangeran Frans tahu.Di dalam, Pangeran Frans bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum lembut. Ia memeluk Dea erat, seperti ingin menunjukkan bahwa ia peduli.
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
“Aku lihat cara kamu menatapnya.” Suaranya rendah. “Aku tahu... kamu mencintainya.”Dea menghela napas. “Aku menganggapnya sebagai sahabatku.""Lalu aku?"Dea menatapnya dalam-dalam lalu menjawab, "sahabatku yang baik.”Frans tertawa kecil—pendek, tapi getir. Wajahnya tidak lagi bercanda.Ia mendekat, suara tertahan. “Sahabat baik?"Frans tertawa kecil.“Sahabat, ya?” Bibirnya miring mengejek. “Kamu sungguh tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padakuDea bergeming. "Apa maksudmu?"“Aku tak bisa tidur sejak malam itu. Kamu masuk ke pikiranku seperti racun. Dan yang paling membuatku muak adalah… aku bahkan tidak tahu, kenapa harus kamu?”“Karena kamu sangat baik, Frans.” Dea berbisik. “Dan kamu tidak suka wanita, jangan lupa
Ia melompat ke atas kendaraan milik relawan, memberikan instruksi tegas, suaranya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lain. Ketakutan yang tak bisa ia mengerti.“Bawa kami ke lokasi! Siapkan alat-alat penggali manual! Semua tenaga medis ikut!”Pangeran Frans akhirnya menyusul, melompat ke kendaraan berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada senyum jenaka, tidak ada komentar sarkastik. Ia hanya duduk diam dengan rahang mengeras, menyaksikan Dea mengurus semuanya dengan penuh kepanikan."Dia segelisah itu karena Yama?"Frans menggenggam lututnya, cemburu yang mendidih dalam dadanya mulai mengusik logika. Ia ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya sebatas masa lalu. Tapi kekhawatiran yang ia lihat di mata Dea barusan... bukan kekhawatiran biasa.Sesampainya di lokasi longsor, senja mulai merambat. Embun sisa longsor masih membuat pandangan mereka dalam jang
Yama tersenyum kecil. “Tapi setidaknya… kau tidak bilang ‘tidak mungkin.’”Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Dea tersenyum. Pangeran Frans yang mendengar percakapan mereka yang singkat itu, mengepalkan kedua tangannya di luar tenda. Dia mulai merasa marah dan sudah saatnya untuk bertindak.Namun, keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Pangeran muncul dengan semangkuk bubur di tangannya."Dea, Sayang. Bubur hangat untuk kesayanganku yang cantik," ucapnya dengan hangat lalu duduk di tepi ranjang Dea.Dea mengucek kedua matanya yang masih mengantuk dan meregangkan pinggangnya yang kaku."Hmm, ini terlihat enak dan hangat, tetapi mengapa harus mengantarkannya sampai ke tenda?" Dea segera menegakkan punggungnya."Dea, apakah kamu akan memberikan kesempatan lagi kepada Yama?"Dea sedikit terkejut pada saat mendengar pertanyaan Pangeran Frans, dia menghentik
Tangannya sibuk membalut luka di lutut seorang anak perempuan kecil, yang menangis tertahan. Pipinya merah membeku, rambutnya sedikit kusut, tetapi matanya tetap tenang dan lembut saat bicara pada si anak.“Tak apa, sebentar lagi selesai. Kamu hebat sekali, ya. Satu lagi, ya?” Dea berusaha membujuk agar anak kecil itu mau menelan pil anti nyeri untuk meringankan rasa sakit pada lukanya.Suara itu—masih sama. Sama seperti yang dulu ia dengar saat mereka duduk berdua di pinggir sungai kecil, saat dunia masih terasa sederhana. Tapi kini, dunia mereka penuh luka dan rahasia.Yama berdiri mematung. Untuk beberapa detik, waktu terasa berhenti. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia uraikan: rasa bersalah, harapan, dan kerinduan yang ia sembunyikan terlalu lama.Namun sebelum sempat ia membuka suara, langkah lain mendekat dari sisi tenda yang lain.“Sayang