Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”
Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”
Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.
“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.
Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu.
"Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
“Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit sebelum Tuan Yama tiba?” Suara seorang pria membuat Dea berusaha sadar dari pengaruh wine yang diminumnya setengah jam yang lalu.“Iya, Tuan hanya menginginkan nyawanya. Toh, dia akan dibuang ke jurang sesudah itu.” Seorang pria lain menyahut sambil tertawa."Tuan Y-yama? J-jurang?" Perkataannya membuat kedua mata Dea membulat seketika dan panik. Melihat beberapa pria yang sedang mengelilinginya saat ini. Dea menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha sadar dari pengaruh alkohol yang sudah semakin kuat menjalar di tubuhnya. Sebuah kamar mewah! Dia sadar harus segera melarikan diri walau kepalanya terasa sangat berat. Dia setengah mabuk.“Kalian siapa? Pergi!”Dea masih tidak mengerti bagaimana dia bisa terbangun di ranjang dengan beberapa pria berwajah sangar menatapnya seolah-olah mereka sangat lapar.Satu jam sebelumnya, dia menyaksikan bagaimana kekasihnya berlutut di hadapan salah seorang teman kerjanya. Sebuah cincin memb
"Arghh, kalian pintar membuat drama!" pekik Dea kegirangan. Efek mabukbercampur obat perangsang sudah menguasainya sepenuhnya. Sementara Yama tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai membuat gerakan yang membuai Dea sehingga gadis itu tidak sanggup menolak pesona yang ditawarkan pria dengan tubuh atletis yang sedang menuntunnya dengan cara unik tersebut.Beberapa pagutannya malah membuat Dea yang terpengaruh alkohol dengan kesadaran minim, tidak berkuasa menolak sama sekali. Sentuhan ringan yang diberikan pria bernama Yama itu membuat Dea mabuk benaran.Dea memekik tertahan saat bagian intinya robek dan kehormatan yang dia miliki selama dua puluh tahun akhirnya direngut oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lebih tepatnya, dia tahu sebagai pria yang disewa oleh sahabat untuk menghibur hatinya yang luka.“Ternyata aku penguasa yang pertama bagimu,” bisik Yama setelah berhasil menerobos pertahanan Dea, “ini bayaran yang sepadan.” Yama bukan hanya melakukannya satu kali, dia membiarkan
Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu."Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahka
Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi."Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi."Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia me
Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya."Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang
Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.**Drrtt... Drrtt...**Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak."Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.Dea segera menghapus air matanya dengan
"Kamu hanya punya satu jam!" balas Yama lalu menutup panggilan, matanya masih tajam menatap ke depan. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang berharga baginya tersakiti, apalagi Dea. Gadis itu mungkin belum menyadarinya, tapi sejak pertemuan mereka, Yama telah menaruh perhatian khusus padanya.Bagi orang lain, ini mungkin hanya insiden biasa—pertengkaran yang berujung pemukulan. Tapi Yama bukan orang yang mudah dibodohi. Ada sesuatu yang janggal di balik kejadian ini, dan dia tidak akan tinggal diam.Di dalam ruangan, Dea masih duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Tangannya menggenggam erat tangan pria paruh baya itu, seakan takut kehilangan."Ayah, siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih.Ayahnya menghela napas. "Tidak usah ikut campur, Dea. Ini bukan urusanmu.""Tapi, Ayah—""Diamlah!" Pria itu menguatkan suaranya, membuat Dea ter
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
“Aku lihat cara kamu menatapnya.” Suaranya rendah. “Aku tahu... kamu mencintainya.”Dea menghela napas. “Aku menganggapnya sebagai sahabatku.""Lalu aku?"Dea menatapnya dalam-dalam lalu menjawab, "sahabatku yang baik.”Frans tertawa kecil—pendek, tapi getir. Wajahnya tidak lagi bercanda.Ia mendekat, suara tertahan. “Sahabat baik?"Frans tertawa kecil.“Sahabat, ya?” Bibirnya miring mengejek. “Kamu sungguh tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padakuDea bergeming. "Apa maksudmu?"“Aku tak bisa tidur sejak malam itu. Kamu masuk ke pikiranku seperti racun. Dan yang paling membuatku muak adalah… aku bahkan tidak tahu, kenapa harus kamu?”“Karena kamu sangat baik, Frans.” Dea berbisik. “Dan kamu tidak suka wanita, jangan lupa
Ia melompat ke atas kendaraan milik relawan, memberikan instruksi tegas, suaranya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lain. Ketakutan yang tak bisa ia mengerti.“Bawa kami ke lokasi! Siapkan alat-alat penggali manual! Semua tenaga medis ikut!”Pangeran Frans akhirnya menyusul, melompat ke kendaraan berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada senyum jenaka, tidak ada komentar sarkastik. Ia hanya duduk diam dengan rahang mengeras, menyaksikan Dea mengurus semuanya dengan penuh kepanikan."Dia segelisah itu karena Yama?"Frans menggenggam lututnya, cemburu yang mendidih dalam dadanya mulai mengusik logika. Ia ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya sebatas masa lalu. Tapi kekhawatiran yang ia lihat di mata Dea barusan... bukan kekhawatiran biasa.Sesampainya di lokasi longsor, senja mulai merambat. Embun sisa longsor masih membuat pandangan mereka dalam jang
Yama tersenyum kecil. “Tapi setidaknya… kau tidak bilang ‘tidak mungkin.’”Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Dea tersenyum. Pangeran Frans yang mendengar percakapan mereka yang singkat itu, mengepalkan kedua tangannya di luar tenda. Dia mulai merasa marah dan sudah saatnya untuk bertindak.Namun, keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Pangeran muncul dengan semangkuk bubur di tangannya."Dea, Sayang. Bubur hangat untuk kesayanganku yang cantik," ucapnya dengan hangat lalu duduk di tepi ranjang Dea.Dea mengucek kedua matanya yang masih mengantuk dan meregangkan pinggangnya yang kaku."Hmm, ini terlihat enak dan hangat, tetapi mengapa harus mengantarkannya sampai ke tenda?" Dea segera menegakkan punggungnya."Dea, apakah kamu akan memberikan kesempatan lagi kepada Yama?"Dea sedikit terkejut pada saat mendengar pertanyaan Pangeran Frans, dia menghentik
Tangannya sibuk membalut luka di lutut seorang anak perempuan kecil, yang menangis tertahan. Pipinya merah membeku, rambutnya sedikit kusut, tetapi matanya tetap tenang dan lembut saat bicara pada si anak.“Tak apa, sebentar lagi selesai. Kamu hebat sekali, ya. Satu lagi, ya?” Dea berusaha membujuk agar anak kecil itu mau menelan pil anti nyeri untuk meringankan rasa sakit pada lukanya.Suara itu—masih sama. Sama seperti yang dulu ia dengar saat mereka duduk berdua di pinggir sungai kecil, saat dunia masih terasa sederhana. Tapi kini, dunia mereka penuh luka dan rahasia.Yama berdiri mematung. Untuk beberapa detik, waktu terasa berhenti. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia uraikan: rasa bersalah, harapan, dan kerinduan yang ia sembunyikan terlalu lama.Namun sebelum sempat ia membuka suara, langkah lain mendekat dari sisi tenda yang lain.“Sayang
"Astaga, Yama harus tahu hal ini sebelum terjadi sesuatu kepada Dea. Es mungkin menelan nyawa wanita cantik, eh... beracun itu."Hari itu juga, Pangeran Frans menyuruh pengawalnya membawa mobil menuju bandara. Ia tahu di mana bisa menemukan Yama. Negara matahari.Yama sudah mengganti nomor ponselnya setelah meninggalkan Inggris. Pria itu memutuskan kembali ke negara matahari dan meneruskan kerajaannya sendiri.Dia sudah memutuskan untuk melupakan Dea dan segala kenangan yang pernah terjadi di antara mereka.Dua belas jam perjalanan dan Pangeran Frans sama sekali tidak ingin menunda waktu. Pintu dibuka dengan suara keras. Yama menoleh dari balik meja besarnya.“Aku ingin bicara.”Tanpa menunggu jawaban, Frans masuk dan berdiri di hadapan sahabatnya itu.“Aku… telah menyuruh Ratu untuk mengirim Dea ke wilayah pengungsi di Inggris
"Lapor, Yang Mulia.""Katakan.""Pangeran Frans mengurung diri di kamar dan ini sudah hampir malam. Dia menolak makanan dan minuman. Kami mengkhawatirkan kesehatannya," lapor salah seorang ajudan kepada sang ratu."Mari kira pergi menemui Dea dan mendengar pendapatnya.""Baik, Yang Mulia."***Langkah-langkah Ratu terdengar mantap menyusuri lorong-lorong istana yang senyap. Di balik senyum kalemnya, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung sejak sarapan pagi. Ia sudah terlalu lama memimpin untuk mengabaikan isyarat kecil seperti ekspresi gugup, kata-kata yang meleset, dan sorot mata yang menyimpan cerita.Dia ingin tahu—bukan sebagai ratu, tapi sebagai seorang pengasuh Pangeran Frans. Pria flamboyan itu diasuhnya sejak Kakaknya meninggal. Pangeran Frans memang sedikit feminim, tetapi hatinya sangat lembut dan Ratu sangat memahaminya. Bagaimanapun ceritanya, tidak ada seorang pun yang bisa menolak fakta bahwa
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Frans merasakan sesuatu yang asing. Sesuatu yang mendesir halus di dadanya—mendebarkan tapi menenangkan. Wajah Dea begitu dekat, matanya yang bening memantulkan keraguan dan kemarahan, tapi juga kelembutan yang tertahan.Frans menelan ludah. “Kau… tidak apa-apa?”Dea buru-buru menarik diri. “Aku bisa berdiri sendiri.”Frans mundur, tangannya masih terasa hangat. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang tak biasa di pipinya. Ia, yang biasa dikelilingi wanita, yang selalu bersikap flamboyan dan percaya diri—kali ini justru gugup. Tangannya sempat gemetar.“Aku… aku harus pergi,” katanya tergesa, hampir terdengar konyol.“Begitu cepat?” tanya Dea curiga.Frans tersenyum kecil, menahan canggung. “Aku hanya ingin tahu... bagianmu. Dan s