Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"
Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi.
"Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"
Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi.
"Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.
Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia membuka lemari dengan semangat, memilih gaun terbaik yang dimilikinya.
Lipstik merah, rambut yang digerai anggun, dan sepatu hak tinggi menjadi pilihan andalannya. Dengan riasan sederhana, dia memoles supaya luka pada sudut mata dan pelipisnya tidak terlihat.
"Hmm, masih cukup cantik," puji Dea seraya mematut dirinya di depan cermin.
Namun, sebelum sempat melangkah keluar kamar, pintu tiba-tiba terbuka lebar. Ibunya berdiri di sana, wajahnya merah padam dengan mata penuh kemarahan.
"Dea!" teriak sang ibu sambil mendekat dengan langkah cepat. Tanpa aba-aba, tangan ibunya melayang, memberikan tamparan keras di pipi kanan Dea.
"Ibu?!" Dea memegang pipinya yang terasa panas, matanya membelalak tak percaya.
"Menginap di mana kau semalam?!" seru sang ibu, nadanya penuh amarah sekaligus kekhawatiran. "Jangan katakan kau sudah menjual dirimu hanya karena uang!"
"Kau tidur dengan Sanjaya?" omel sang Ibu.
Dea terdiam, napasnya tertahan. Kata-kata itu menusuk seperti pisau tajam. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, ingin membela diri tetapi lidahnya terasa kelu.
"Apa yang kau pikirkan, Dea? Pergi tanpa kabar, tidak pulang semalaman, dan sekarang berdandan seperti ini?!" lanjut sang ibu sambil menunjuk gaun yang dikenakan Dea.
"Ibu, tunggu..." suara Dea akhirnya keluar, pelan dan bergetar. "Aku tidak menjual diriku. Aku hanya... aku hanya... Semua ini kesalahpahaman!"
"Aku harus pergi ke pernikahan Sanjaya."
Ibunya mengerutkan dahi, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Salah paham? Apa maksudmu, Dea? Kau tahu betapa cemasnya ibu? Jean sibuk mencarimu dari semalam dan sekarang kau bicara soal pernikahan Sanjaya? Dia menikah sama siapa? Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Dea menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjelaskan dari mana karena pertanyaan sang ibu sangat banyak.
Di satu sisi, dia merasa bersalah telah membuat ibunya khawatir, tetapi dia juga tidak bisa mengungkapkan sepenuhnya apa yang terjadi semalam, apalagi mengenai pria semalam yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Ibu, aku... aku akan menjelaskan nanti. Tapi sekarang, aku harus pergi," katanya akhirnya, menghindari tatapan ibunya dan bergegas melangkah menuju pintu.
"Dea! kembali! Hei! Jangan buat masalah lagi! Dengarkan ibu!" panggil sang ibu dari belakang, tetapi Dea terus melangkah keluar dan berlari secepat mungkin.
Saat berada agak jauh dari rumah dan yakin bahwa langkah sang ibu sudah ketinggalan, Dea akhirnya bisa menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, hatinya tetap bergejolak.
"Aku harus fokus," gumam Dea, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Pelajaran pertama adalah untuk Sanjaya yang tidak setia! Sesudahnya, aku akan berurusan dengan pria sombong bernama Yama itu!"
***
Dea memasuki gedung di mana pesta pernikahan mantan kekasihnya diangsungkan dengan penuh percaya diri.
Namun, ketika pandangannya tertuju pada altar, jantungnya serasa berhenti.
Di sana, berdiri Melia dengan gaun pengantin putih berkilau nan mewah, dan di sampingnya, dengan setelan jas hitam yang elegan, adalah pengantin pria, Sanjaya.
"Sanjaya!" seru Dea dengan suara bergetar.
Mata Dea melebar, dan tangan yang menggenggam tas selempeng mulai gemetar
Kepala Dea dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Bagaimana mungkin kekasihnya tiba-tiba menikah dengan teman kerjanya sendiri tanpa sepengetahuannya? Sejak kapan mereka mulai berselingkuh?
Semua terasa seperti mimpi buruk. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya. Di tengah kebingungannya, seorang pelaksana acara menepuk bahunya, “Nona, anda ingin naik ke panggung untuk memberi ucapan selamat? Di belakangmu masih banyak yang sedang mengantri.”
"Oh!"
Dengan tangan gemetar, Dea mengangguk lalu mundur beberapa langkah, memberi jalan kepada tamu yang lain untuk lewat dan naik ke panggung.
Dea bisa melihat Melia yang tersenyum bahagia sambil berjabat tangan dengan beberapa tamu yang memberi selamat.
Senyum yang dulu Dea kenal begitu baik kini terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Teman kerjanya selalu siap memberikan bantuan pada saat dia mengalami kesulitan di kantor, saat ini malah merebut kekasihnya.
Sementara Sanjaya mematung dan melihat keberadaan Dea di sudut tangga menuju panggung, dengan lidah yang terasa kelu.
Dea berbalik dengan lutut lemas dan pandangan mata yang mulai buram, berusaha meninggalkan gedung dengan langkah berat. Namun, sebelum ia mencapai langkah ketiga, Sanjaya memanggilnya, “Dea, tunggu!”
Dea berhenti, punggungnya kaku. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ia tidak berbalik dan tidak berkata apa pun. Saat ini, dia tahu bahwa semua mata hadirin sedang tertuju padanya dan Sanjaya.
“Aku bisa jelaskan semua ini,” kata Sanjaya dengan nada mendesak.
Jarak mereka berada sejauh dua meter dan Dea menahan langkahnya. Musik yang mengalun mendadak terdiam, seolah-olah sudah diatur sedemikian rupa sehingga mereka menjadi fokus utama.
Dea menghela napas dalam, menguatkan diri sebelum akhirnya menoleh, menatap Sanjaya dengan mata penuh kebencian dan rasa sakit. “Kau punya banyak hal untuk dijelaskan, Sanjaya, tapi aku tidak yakin aku siap mendengarnya.”
"S-selamat," ucapnya dengan suara parau.
Dengan kata-kata itu, Dea berbalik, melangkah keluar, berusaha meninggalkan Sanjaya yang terpaku di tempat. Hatinya hancur, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi!
Namun, sebelum ia mencapai pintu keluar, sebuah suara wanita dari speaker terdengar lantang, “Tunggu, Dea!”
Dea berhenti, jantungnya berdetak kencang.
Seluruh ruangan hening, dan semua mata sudah pasti sedang tertuju pada mereka. Menyimak, memantau dan sebagain mulai mencibir dengan bumbu-bumbu yang lezat tentunya.
Di panggung, Melia memegang microphone dengan senyum penuh kemenangan.
“Sanjaya ingin kamu mendengar beberapa hal sebelum kamu pergi,” katanya dengan nada yang dibuat-buat manis, tapi penuh sindiran.
Dea merasakan dunia berputar di sekitarnya.
Perlahan, Sanjaya mengambil alih microphone dan mulai berkata-kata “Ini semua sudah diatur,” kata Sanjaya pelan, hampir berbisik.
"Kedua orang tuaku menganggap pernikahanku dengan Melia adalah lebih tepat daripada bersama denganmu," lanjutnya sambil menatap Dea dengan tatapan penuh arti.
Sebelum Dea bisa merespons, suara lain terdengar dari sudut panggung. Berteriak dengan suara lantang tanpa menggunakan microphone.
Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya."Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang
Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.**Drrtt... Drrtt...**Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak."Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.Dea segera menghapus air matanya dengan
"Kamu hanya punya satu jam!" balas Yama lalu menutup panggilan, matanya masih tajam menatap ke depan. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang berharga baginya tersakiti, apalagi Dea. Gadis itu mungkin belum menyadarinya, tapi sejak pertemuan mereka, Yama telah menaruh perhatian khusus padanya.Bagi orang lain, ini mungkin hanya insiden biasa—pertengkaran yang berujung pemukulan. Tapi Yama bukan orang yang mudah dibodohi. Ada sesuatu yang janggal di balik kejadian ini, dan dia tidak akan tinggal diam.Di dalam ruangan, Dea masih duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Tangannya menggenggam erat tangan pria paruh baya itu, seakan takut kehilangan."Ayah, siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih.Ayahnya menghela napas. "Tidak usah ikut campur, Dea. Ini bukan urusanmu.""Tapi, Ayah—""Diamlah!" Pria itu menguatkan suaranya, membuat Dea ter
Yama menyelipkan tangannya ke saku celana, memandang Dea yang panik dengan sorot mata tenang. "Jadi kamu menilaiku seperti itu?" tanyanya dengan wajah kalem."Aku tahu," kata Dea lagi, suaranya lebih rendah tapi tetap penuh curiga. Dea menyipitkan kedua matanya. "Kau pasti meminta bayaran lebih, ya? Baiklah, aku berjanji akan membayarmu dua ratus ribu lagi. Tidak bisa lebih lagi.""Lagian, ternyata kamu bukan pria yang dicari temanku, Jean. Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa tertukar," lanjutnya tanpa mempedulikan reaksi aneh dan bingung dari Yama."Aku juga sudah rugi karena masih harus membayar pria lain yang tidak pernah melakukan tugasnya, kau tahu? Jean sudah membayarnya!"Ia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan ponselnya dan menatap Yama dengan kesal. "Sekarang pergi, dan aku akan mengirimkannya ke rekeningmu besok. Berikan nomor ponselmu!"Yama tertawa kecil, menggeleng pela
"Lima belas? Astaga!"Dea terkejut dengan jumlah fantastis yang disebut Zacky, terlebih tidak mengerti, bagaimana seseorang yang arogan seperti dia bisa berlutut dan memohon ampun dan belas kasihan kepadanya.Yama mendekati Dea, suaranya lebih lembut saat berkata, "Dengar, Dea. Ini adalah kesempatanmu untuk keluar dari cengkeraman Zacky. Apa pun kesepakatan yang sudah kau buat dengannya, anggap saja batal.""Benarkah?" Dea menatap Zacky, yang masih berlutut gemetar, lalu menatap Yama. Ia tak bisa mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat."Ya, batal! Semua batal! Izinkan aku pulang. Keempat istriku dan anak-anakku sedang menungguku, mereka masih kecil, tolong berbaik hatilah, Dea.""Aku..." Dea tidak tahu mau menjawab apa."Ayo pergi dari sini," kata Yama lagi, suaranya kini lebih tegas.Dea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ada sesuatu ya
Dea selesai lebih cepat dan segera bangkit untuk membayar di kasir. Saat ia hendak kembali, ponselnya berdering. Ia melihat nama di layar dan mengangkatnya.“Halo? Jean? Kamu sudah di sana? Apa? Serius?” Dea mengerutkan dahinya. “Haruskah aku datang sekarang?”Yama, yang masih duduk dengan perut terasa melilit, tidak bisa berkonsentrasi pada percakapan itu. Akhirnya, dia tidak tahan lagi.“K-Kamar kecil di mana?” serunya panik.Dea menunjuk ke arah kanan tanpa menoleh. “Di sana, cepat!”Tanpa menunggu lebih lama, Yama melesat dengan kecepatan penuh menuju kamar kecil, meninggalkan jejak penderitaan dan setengah piring nasi goreng yang tak tersentuh.“Hei, aku mau pergi!” seru Dea sambil menoleh ke arah kamar mandi. Namun, Yama sudah terlanjur menghilang di balik pintu.Dea menghela napas, lalu bergegas pergi mencari Jean dengan menaiki taksi. Jean sudah menunggunya di sebuah restoran tidak jauh dari sana, tapi wajahnya tampak cemas saat Dea tiba di sana.“Jean, ada apa?” tanya Dea, me
Arman mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. “Akan saya lakukan segera, Pak.”Bob menatap Arman dengan tajam. “Jangan sampai ada kesalahan.”“Dimengerti.”Dea dan Jean tiba di restoran yang sudah ditentukan. Restoran itu tampak cukup ramai, tetapi sudut tempat mereka bertemu berada di bagian yang lebih sepi."Ini Steven dan Mommy Dara." Jean yang lebih dahulu memperkenalkan dua orang itu kepada Dea."Uhm, ini Dea."Steven, pria yang merasa dirugikan, sudah duduk di sana bersama seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor dan wajah penuh kepalsuan. Tatapan keduanya penuh tipu daya, seolah sudah merencanakan sesuatu."Duduklah," balas Mommy Dara dengan ketus, sementara pria di sampingnya melirik dengan enggan.Dea duduk dengan sikap waspada, sementara Jean tampak gelisah. Kedua mata Dea menelusuri dua makhluk di hadapannya.Steven, terlihat cukup tampan, tetapi tampil dengan gaya flamboyan dan senyuman tipis yang menjengkelkan mulai membuka suara."Kami mengenakan denda kepada pelan
Steven dan Mommy terdiam sejenak. Keringat mulai muncul di pelipis mereka, tapi Mommy masih mencoba mempertahankan sikap galaknya. Wanita gempal itu segera menggoyangkan kipas tangannya beberapa kali dengan gerakan canggung.“Jangan coba-coba bermain api, gadis kecil.”Dea menatap mereka dengan pandangan dingin. “Kau yang akan terbakar duluan.”Ketegangan menggantung di udara, dan jelas sekali bahwa Steven dan Mommy tidak menyangka Dea bisa seberani ini. Jean, meski masih gemetar, merasa ada harapan untuk lolos dari situasi ini tanpa menyerah pada pemerasan.Dia mengenal Dea dengan baik dan mereka bersahabat semenjak kecil. Watak seorang Dea tidak cepat mengalah terhadap keadaan. Kehidupannya yang keras selama ini, sudah mendidiknya agar mampu membela dirinya sendiri dan tidak menyerah terhadap keadaan.Wanita gempal yang dipanggil Mommy itu tiba-tiba memukul meja denga
Yama mengangguk kecil dan Dea segera memberi isyarat agar para medis segera membalut luka Yama dan memberikan obat yang dibutuhkan.“Lalu... Frans…, dia” kata Yama terputus-putus.“Sudah, aku sudah tahu. Pangeran itu yang menjadi dalang dari semua ini,” kata Dea pelan tapi tegas.“Semua sudah beres. Rekaman sudah sampai ke pengawal. Dia akan diadili oleh Ratu," lanjutnya.Yama memejamkan mata. Mengangguk kecil. Air mata kecil lolos dari pelupuknya. Entah karena lega, atau karena luka terlalu banyak, terlalu dalam, baik di tubuh maupun hati. Entah juga karena kerinduannya sangat besar kepada Dea"D-dingin." Suara Yama bergetar hebat."Tambahkan selimut!" perintah Dea.Seorang perawat segera memberikan suntikan gizi dan infus cairan hangat kristasoid agar Yama tidak terlalu menderita dalam hipotermia yang dia alami saat ini.Gubuk i
Pak Jio itu memungut ponsel itu, menyalakan kembali rekaman.Suara Frans yang dingin, suara ajudan yang ragu, kalimat demi kalimat, semua mengalir dari benda pipih itu. Tidak ada lagi yang bisa disangkal.Pak Jio menatap Pangeran Frans dengan wajah serius. “Atas nama Ratu, Anda diminta segera kembali ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban.”Pak Jio segera memberi isyarat kepada dua pengawal lainnya dan mereka dengan gerakan cepat menahan ajudan dan Pangeran Frans. Memelintir tangan mereka ke belakang, melepaskan Dea.Frans menggeram. Matanya menatap Dea penuh benci. “Kau memilih jalan yang salah, Dea. Kau akan menyesali ini. Sepertinya kamu lupa satu hal, aku punya hubungan darah daging dengan Ratu!” geramnya.Dea menatapnya balik, penuh keberanian. “Tidak. Yang akan menyesal... adalah orang-orang yang mengira mereka bisa bermain di atas nyawa orang lain tanpa konsekuensi.”&
Namun, Yama akhirnya bisa bernapas lega pada saat seseorang akhirnya menemukannya. Saat dia melihat bayangan samar di antara es yang sudah membentuk lingkaran sekeliling matanya."T-tolong."Seorang lelaki tua dari pemukiman bawah, dengan kereta kayu berisi ramuan dan kayu bakar. Matanya membelalak saat melihat tubuh tergeletak di antara bebatuan. "Hei!" pekiknya seraya berlari mendekati dengan langkah besar menginjak salju yang tebal.Luka dan darah Yama yang mulai membeku sudah hampir menyatu dengan salju. Pria tua itu bergidik dengan bekas noda cukup panjang di belakang Yama."Astaga… kamu masih hidup!" serunya panik menyadari sudah berapa lama Yama berusaha bertahan hanya dengan merangkak dalam luka yang tetap mengalirkan darah.Yama tak bisa menjawab. Dia merasa kedua lututnya mungkin sudah hancur. Tapi dia tidak peduli.Ia hanya menggeliat pelan, matanya mengerjap samar. Tapi itu cukup j
Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.Yama mendesis, menahan nyeri.Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih."Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
"Nona Dea," sapanya dengan suara bergetar dan canggung.“Eh, kamu!” suara itu membuatnya tercekat. “Kamu lihat Yama?”Ajudan itu menelan ludah. Pandangannya melirik ke belakang dengan canggung, lalu kembali ke wajah Dea yang terlihat khawatir. “T-tidak, Nona Dea... S-saya tidak melihatnya,” jawabnya cepat dan semakin terlihat canggung sambil menggeleng. “M-mungkin dia masih di bukit barat?”"A-aku harus kembali ke tenda," lanjutnya. Ia langsung berlari setelah itu, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata.Dea terdiam, keningnya berkerut. Hati kecilnya merasa ada yang aneh dengan gestur ajudan itu. Tapi ia menaikkan bahu lalu memilih masuk ke dalam tenda. Berharap, mungkin Pangeran Frans tahu.Di dalam, Pangeran Frans bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum lembut. Ia memeluk Dea erat, seperti ingin menunjukkan bahwa ia peduli.
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
“Aku lihat cara kamu menatapnya.” Suaranya rendah. “Aku tahu... kamu mencintainya.”Dea menghela napas. “Aku menganggapnya sebagai sahabatku.""Lalu aku?"Dea menatapnya dalam-dalam lalu menjawab, "sahabatku yang baik.”Frans tertawa kecil—pendek, tapi getir. Wajahnya tidak lagi bercanda.Ia mendekat, suara tertahan. “Sahabat baik?"Frans tertawa kecil.“Sahabat, ya?” Bibirnya miring mengejek. “Kamu sungguh tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padakuDea bergeming. "Apa maksudmu?"“Aku tak bisa tidur sejak malam itu. Kamu masuk ke pikiranku seperti racun. Dan yang paling membuatku muak adalah… aku bahkan tidak tahu, kenapa harus kamu?”“Karena kamu sangat baik, Frans.” Dea berbisik. “Dan kamu tidak suka wanita, jangan lupa
Ia melompat ke atas kendaraan milik relawan, memberikan instruksi tegas, suaranya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lain. Ketakutan yang tak bisa ia mengerti.“Bawa kami ke lokasi! Siapkan alat-alat penggali manual! Semua tenaga medis ikut!”Pangeran Frans akhirnya menyusul, melompat ke kendaraan berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada senyum jenaka, tidak ada komentar sarkastik. Ia hanya duduk diam dengan rahang mengeras, menyaksikan Dea mengurus semuanya dengan penuh kepanikan."Dia segelisah itu karena Yama?"Frans menggenggam lututnya, cemburu yang mendidih dalam dadanya mulai mengusik logika. Ia ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya sebatas masa lalu. Tapi kekhawatiran yang ia lihat di mata Dea barusan... bukan kekhawatiran biasa.Sesampainya di lokasi longsor, senja mulai merambat. Embun sisa longsor masih membuat pandangan mereka dalam jang