Arman mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. “Akan saya lakukan segera, Pak.”Bob menatap Arman dengan tajam. “Jangan sampai ada kesalahan.”“Dimengerti.”Dea dan Jean tiba di restoran yang sudah ditentukan. Restoran itu tampak cukup ramai, tetapi sudut tempat mereka bertemu berada di bagian yang lebih sepi."Ini Steven dan Mommy Dara." Jean yang lebih dahulu memperkenalkan dua orang itu kepada Dea."Uhm, ini Dea."Steven, pria yang merasa dirugikan, sudah duduk di sana bersama seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor dan wajah penuh kepalsuan. Tatapan keduanya penuh tipu daya, seolah sudah merencanakan sesuatu."Duduklah," balas Mommy Dara dengan ketus, sementara pria di sampingnya melirik dengan enggan.Dea duduk dengan sikap waspada, sementara Jean tampak gelisah. Kedua mata Dea menelusuri dua makhluk di hadapannya.Steven, terlihat cukup tampan, tetapi tampil dengan gaya flamboyan dan senyuman tipis yang menjengkelkan mulai membuka suara."Kami mengenakan denda kepada pelan
Steven dan Mommy terdiam sejenak. Keringat mulai muncul di pelipis mereka, tapi Mommy masih mencoba mempertahankan sikap galaknya. Wanita gempal itu segera menggoyangkan kipas tangannya beberapa kali dengan gerakan canggung.“Jangan coba-coba bermain api, gadis kecil.”Dea menatap mereka dengan pandangan dingin. “Kau yang akan terbakar duluan.”Ketegangan menggantung di udara, dan jelas sekali bahwa Steven dan Mommy tidak menyangka Dea bisa seberani ini. Jean, meski masih gemetar, merasa ada harapan untuk lolos dari situasi ini tanpa menyerah pada pemerasan.Dia mengenal Dea dengan baik dan mereka bersahabat semenjak kecil. Watak seorang Dea tidak cepat mengalah terhadap keadaan. Kehidupannya yang keras selama ini, sudah mendidiknya agar mampu membela dirinya sendiri dan tidak menyerah terhadap keadaan.Wanita gempal yang dipanggil Mommy itu tiba-tiba memukul meja denga
Dea hanya mengangkat bahu seolah mencoba bersikap santai, tapi rona merah samar muncul di pipinya. Sebelum Jean sempat berkomentar lebih jauh, ponsel Dea tiba-tiba berdering. Nama ibunya tertera di layar.“Halo, Bu?” jawab Dea.Suara ibunya langsung menggelegar dari seberang telepon. “Kau ke mana? Kenapa tidak bekerja? Biaya rumah sakit ini siapa yang bayar kalau kamu tidak bekerja?!”"Majikanmu menghubungi Ibu dan melaporkan dirimu yang absen! Cepat ke sana sekarang sebelum kau dipecat, gadis nakal!"Dea memejamkan mata, berusaha menahan emosi. Dia tidak suka dipanggil gadis nakal. Ibunya selalu mengomelinya dan membebaninya dengan biaya apa pun yang dibutuhkan keluarganya.“Baik, Bu. Aku akan segera ke tempat kerja.”Setelah menutup telepon, Dea berbalik ke arah Jean. “Sudahlah, aku mau pergi bekerja dulu. Nanti kit
Dia menatap Yama dengan lembut. Meisya telah mencintainya sejak kecil. Dan meskipun dia tidak bisa mencintai Meisya, Meisya tidak bisa berhenti peduli padanya.Yama yang tidak menyadari perasaan Meisya memalingkan wajah, menatap keluar jendela. Dalam pikirannya malah bayangan Dea lewat saat Dea mengambil celana panjang miliknya lalu melarikan diri.Tanpa sadar, Yama menaikkan sudut bibirnya kemudian berpaling ke arah Meisya, "kau tahu, seseorang yang mungkin akan mengisi posisi istri bagiku adalah seseorang yang unik dan itu bukan kamu, Meisya. Jadi berhenti menempel terus kepada Nenek karena kamu tahu jawabanku."Perkataan Yama sangat tajam dan langsung mengores hati Meisya, tetapi wanita itu hanya membalas dengan senyuman yang penuh kepalsuan."Ya, aku tahu. Sikapmu memang seperti itu sejak dulu. Tapi kamu juga harus mengerti, tidak ada seorang wanita pun yang akan tahan dengan sikapmu yang egois itu kecuali aku
Air mata segera mengalir dengan deras, membasahi kedua pipinya yang mulus."Tolong, jangan lagi membuatku takut. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaan yang tidak pernah habis ini! Berhenti sekarang juga!" pekiknya seolah-olah sedang memerintahkan hujan dan petir agar berhenti.Tidak lama kemudian, suasana menjadi adem kembali. Hanya terdengar suara air hujan menandakan gerimis. Dea segera melanjutkan pekerjaannya.Saat ia mengganti air di ember, pikirannya melayang pada apa yang dikatakan bosnya tadi."Kalau bukan karena Ibu... "Kata-kata itu menusuk hati Dea. Kenapa aku selalu harus bergantung pada Ibu? Kenapa aku tidak bisa membuat hidupku sendiri lebih baik?Hujan makin deras, dan Dea semakin khawatir. Jika dia tidak selesai sebelum jam delapan, lampu gedung akan dipadamkan secara otomatis, dan dia harus bekerja dalam gelap.Gelap, hujan badai dit
“Kita akan sampai dalam beberapa menit,” Bob berkata dengan nada ramah, memotong lamunan Dea. “Saya bisa mengantar Anda ke kamar Ayah Anda terlebih dahulu. Setelah itu, jika Anda siap, kita bisa naik ke lantai atas menemui Tuan Yama.”Dea mengangguk pelan. “Terima kasih. Itu rencana yang bagus.”Mobil terus meluncur mulus menuju rumah sakit, dan Dea merasa detak jantungnya semakin tak menentu. Ada terlalu banyak hal yang harus ia hadapi malam ini."Yama pasti akan menyalahkanku karena makanan yang meracuninya, padahal aku yang membayar nasi goreng. Sungguh sial sekali!" geram Dea dalam hati. "Pria tak tahu diri itu pasti akan meminta bayaran lagi. Kemanalah aku harus mencari uang lagi."Dea merasa semakin frustasi karena arus pengeluaran yang semakin banyak dari hari ke hari dan masalah yang terus menerus terjadi tanpa bisa dia cegah.Saat mobi
Dea menggigit bibir bawahnya, bingung bagaimana menjelaskannya. “Aku... aku juga tidak tahu banyak, Ayah. Tapi nanti aku akan menanyakannya langsung padanya. Setelah itu, aku pasti akan menjelaskannya pada Ayah dan Ibu.”Sang ibu menatap Dea dengan khawatir. “Berhati-hatilah, Dea. Orang-orang seperti itu biasanya membawa masalah. Jangan sampai seperti Tuan Zacky.”“Aku akan berhati-hati, Bu. Jangan khawatir,” jawab Dea dengan senyum kecil yang berusaha menenangkan.Bob merasa lega karena drama yang tidak terasa penting di hadapannya itu sudah selesai, dia segera membuka pintu dan menunggu Dea keluar dari ruangan. Dea menatap ayah dan ibunya untuk terakhir kali sebelum melangkah keluar.Pikirannya bercampur aduk antara rasa penasaran dan kecemasan. Dia takut Yama akan menagih banyak hal dan dalam pikirannya, berapa lagi jumlah yang dia harus bayar serta bagaimana cara mendapatkan
Dia segera membayangkan berapa banyak uang yang bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga jika uang sebanyak itu jatuh ke tangannya. “Kalau Dea memang terlibat dengan pria seperti itu, masa depan keluarga ini akan terjamin!” pikirnya, meski ada kekhawatiran samar dalam benaknya.Sambil bergegas meninggalkan papan harga, Ibu Dea mulai menyusun rencana. “Aku harus memastikan Dea tidak hanya sekadar bermain-main. Pria itu harus serius! Jika dia berani mempermainkan anakku, aku sendiri yang akan menyelesaikan semuanya!” Tekad itu jelas terpancar di wajahnya."Mereka harus segera menikah dan aku... astaga aku akan menjadi Mertua yang kaya!"Wanita itu kegirangan setengah mati dan segera menutup mulutnya dengan sebelah tangan.Dia berbalik dan segera melangkah menuju ke kamar suaminya kembali untuk menyampaikan dugaannya.Sementara itu di dalam kamar Yama, Dea melangkah mendekati ranjang dengan perlah
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di
"Hanya makan bersama dan saling berbicara, mungkin saya bisa memberikan beberapa penjelasan kepadamu mengenai alasan saya melakukan semua ini, jangan takut. Aku belum berniat memakanmu," gurau Frans seraya mengandeng tangan Dea menuju kursinya.“Apa yang ingin Anda katakan, Pangeran?” tanyanya dingin seraya menghentakkan pantatnya ke kursi, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya sudah cukup mendengar penjelasan dari Anda tadi, bukan?”Frans menyandarkan punggungnya ke kursi, terlihat serius. “Saya tahu saya tidak bisa menghapus apa yang telah saya lakukan dengan mudah. Saya tahu Anda membenci saya sekarang, Dea. Tetapi saya ingin Anda tahu bahwa saya benar-benar menyesal. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjebak dalam kasus ini, tetapi sekarang saya sadar, baiklah...saya memang salah karena berusaha menyingkirkan Yama.”Dea menatapnya dengan mata penuh curiga. Ka
Keputusan sudah diambil, dan Dea harus melangkah maju dengan kepala tegak. Itulah yang dikatakan Ratu, dan Dea tahu betul bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dea mengusap wajahnya kasar. Merasa kesal dan ingin berteriak.Pangeran yang selama ini ia anggap sebagai musuh, yang telah membuat hidupnya penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Namun kini, ia dipaksa untuk bersatu dengannya, sebagai suami istri yang sah. Entah karena politik atau karena Ratu merasa tidak ada jalan lain. Dea tidak tahu, dan ia juga tidak ingin tahu. Yang pasti, Frans masih berada dalam Kerajaan, masih dalam jangkauan yang bisa membuat hidupnya semakin kacau.Dea tiba di ruang makan besar, tempat biasa para keluarga kerajaan dan tamu kerajaan makan bersama. Namun, kali ini ruang itu terasa sepi, hanya ada Frans yang duduk dengan santai, menunggu kedatangannya. Pandangannya tertuju pada Dea dengan tatapan yang sulit dibaca.“Lady Dea, silak
Yama memicingkan mata. Jantungnya berdetak cepat, sangat terkejut, bukan karena efek obat, tapi karena luka lain yang baru saja dibuka paksa. Kata-kata mereka menggema dalam benaknya seperti palu godam yang menghancurkan kepercayaannya terhadap Dea.“Serius? Dia tega gitu?”“Ya iyalah. Siapa sih yang bisa menolak gelar Lady dan pernikahan dengan Pangeran? Lagipula… mereka bilang dia sudah bosan sama Yama. Katanya pria itu terlalu rumit dan nggak bisa berkomitmen.”"Betul, kabarnya pria itu bahkan tidak bisa lagi merasakan kakinya.""Nah, itulah, mungkin juga dia sudah tidak mampu untuk..."Terdengar cekikikan dari arah belakang mereka.Yama memalingkan wajah, menelan amarah yang mendidih di tenggorokan. Otot-ototnya menegang, dan sebelum para perawat bisa mengantisipasi, dia berontak. Selang infusnya tercabut, dan darah menetes dari pergelangan tangan saat ia memaksakan diri bangkit."Eh, Tuan!" Salah seorang perawat segera bangkit dari kursinya saat mendapatkan gerakan mendadak dari
Dea menatapnya, merasa seolah dunia berhenti berputar. "Maaf, Yang Mulia? Ini tidak sesuai dengan keputusan awal, boleh saya tahu, apa yang terjadi?""Keputusan ini adalah titah kerajaan," ucap Ratu, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diganggu. "Sebagai seorang Lady, pernikahanmu dengan Pangeran Frans akan menyatukan dua bagian penting kerajaan ini. Pernikahan ini juga akan membuat kehidupan kalian menjadi lebih stabil dan mengembalikan citra Pangeran Frans di mata rakyat."Dea merasa matanya terbelalak tidak percaya. “Tapi… Yama? Apa yang akan terjadi pada Yama?” Suaranya bergetar, penuh kebingungan dan ketakutan.“Yama telah membuat pilihan sendiri. Kini saatnya dia meninggalkan kerajaan ini,” jawab Ratu, tanpa emosi. "Dia bukan bagian dari masa depan kerajaan ini, Dea."Dea merasa mulutnya kering. Hatinya seakan ditarik keluar dari dadanya, terasa kosong dan h
Marlina menegakkan tubuhnya dan memberikan senyuman dengan penuh kemenangan, dia merasa berhasil menguasai peperangan kali ini."Berikan mereka pernikahan. Pangeran Frans akan berubah menjadi Pangeran yang normal, layaknya Pangeran lain dalam kerajaan. Memiliki keluarga, anak dan bisa bekerja dalam lingkungan kerajaan. Dia hanya mencintai wanita bernama Dea itu, bukan ingin mencelakai siapa pun.""Pernikahan?" Ratu mencubit dagunya sendiri, mempertimbangkan.Marlina mengangguk tegas, "ya. Anggap saja Frans sedang mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Dia ingin mempertahankan Dea di sisinya. Pria mana pun sanggup melakukannya, bukan?""Lalu Yama? Kembalikan saja pria itu ke negaranya sendiri dan jangan izinkan dia menginjak kerajaan kita lagi," lanjut Marlina dengan berapi-api.Keheningan sejenak menyelimuti ruangan mewah itu.Marlina melanjutkan kalimatnya,"kasihan sek
“Mulai malam ini, atas nama tahta Kerajaan, saya menganugerahkanmu gelar Lady Dea.""Terimalah."Dea tertegun, tak sempat bicara. Jantungnya berdegup lebih cepat. Kedua lututnya terasa lemas sehingga dia berlutut tanpa sadar."L-Lady?"Sang Ratu mengangguk. "Ini bukan hanya penghargaan. Ini adalah pengakuan. Kemari, berdiri dan terimalah gulungan emas ini lalu bukakah.”“Dengan gelar itu, kamu akan memiliki hak untuk duduk di dalam rapat penasihat dalam kasus khusus terutama dalam hal aksi sosial yang sedang kamu jalani,” lanjut Ratu. “Dan siapa pun yang berani menyentuhmu… akan dianggap mencemarkan kehormatan Kerajaan.”Dea berdiri dan melangkah dengan lutut yang masih gemetar. Tangan Dea bergetar saat menerima gulungan bermotif mewah itu. Tubuhnya mungkin masih lelah, tapi hatinya menyala dengan tekad baru. Ia bukan lagi gadis biasa yang selalu terseret badai. Ia