“Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit sebelum Tuan Yama tiba?” Suara seorang pria membuat Dea berusaha sadar dari pengaruh wine yang diminumnya setengah jam yang lalu.
“Iya, Tuan hanya menginginkan nyawanya. Toh, dia akan dibuang ke jurang sesudah itu.” Seorang pria lain menyahut sambil tertawa.
"Tuan Y-yama? J-jurang?" Perkataannya membuat kedua mata Dea membulat seketika dan panik. Melihat beberapa pria yang sedang mengelilinginya saat ini. Dea menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha sadar dari pengaruh alkohol yang sudah semakin kuat menjalar di tubuhnya. Sebuah kamar mewah! Dia sadar harus segera melarikan diri walau kepalanya terasa sangat berat. Dia setengah mabuk.
“Kalian siapa? Pergi!”
Dea masih tidak mengerti bagaimana dia bisa terbangun di ranjang dengan beberapa pria berwajah sangar menatapnya seolah-olah mereka sangat lapar.
Satu jam sebelumnya, dia menyaksikan bagaimana kekasihnya berlutut di hadapan salah seorang teman kerjanya. Sebuah cincin membuat kedua insan itu bertunangan secara resmi. Dia merasa dikhianati dan terpuruk.
Jean-Sahabatnya menelepon, berusaha menghibur hatinya dan mengatakan bahwa dia sudah mempersiapkan sebuah hiburan untuk menghibur Dea yang terluka. Sahabatnya malah mengatakan bahwa dia sudah menyiapkan beberapa pria penghibur yang ketampanannya ribuan kali dari mantan pacarnya.
Akan tetapi, saat sampai di Bar tempat mereka janji untuk bertemu, malah tidak terlihat bayangan sahabatnya—Jean.
Alhasil, Dea memesan sejumlah wine dan setengah botol minuman itu sudah berhasil membuat dirinya sempoyongan. Dea memilih pulang untuk mencegah terjadinya hal yang tidak dia inginkan. Namun, saat keluar dari cafe itu, dia malah diculik oleh beberapa pria asing dan tidak mampu melawan.
Dea berakhir di ranjang saat ini. Ada enam pria berwajah sangar sedang mengelilinginya. Salah satu mereka sudah memaksanya minum obat perangsang sehingga Dea sudah hampir kehilangan kesadarannya, ditambah efek minuman yang sudah dihabiskannya setengah botol tadi juga sudah mulai menguasai dirinya.
Tiba-tiba, salah seorang dari pria itu melangkah maju, berusaha meraih tangan Dea dan mulai mencoba menarik gaun yang dipakai Dea, membuat lamunan Dea buyar seketika.
"J-jangan!" pekik Dea berusaha meronta di antara cahaya minim yang membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.
Tanpa bisa dicegah, gaunnya sudah berhasil dikoyak oleh beberapa pria yang tertawa terus sepanjang aksinya.
"Sret! Sret!"
Bagian atas gaun yang dipakainya ikut terkoyak dan dalam hitungan detik sudah menyisakan dalaman yang membuat mata mereka yang lapar semakin lapar.
"Wow! Jalang kecil ini masih mulus." Ejekan menjijikkan keluar dari mulut mereka disertai siulan nakal beberapa pria.
"Lepaskan!" pekik Dea histeris dengan suara penuh keputusasaan.
"Plak!"
Sebuah tamparan mengenai pipi Dea dan membuat pelipisnya sobek, darah mengalir membasahi sudut matanya sehingga matanya basah bercampur air mata.
"J-jangan..." Suara Dea bergetar dan tanpa daya berada dalam kukungan beberapa pria yang siap mengerogoti tubuhnya dengan kejam. Tetapi sebelum para pria itu sempat melakukan aksi bejatnya lebih lanjut, sebuah suara berat memerintah dari belakang mereka.
“Kalian pergi. Dia pasti sudah mendapat pelajaran kali ini."
Dea bisa menebak, suara itu berasal dari Tuan yang mereka panggil Yama. Siluet sosok pria itu berjalan mendekat dengan langkah mantap. Sorot matanya tajam dan penuh otoritas. Dea segera menutupi dirinya dengan selimut kamar berwarna putih.
Dea tidak bisa melihat lebih jelas karena darah yang membasahi sebelah matanya membuatnya terasa perih. Dia hanya tahu, pria itu memiliki sosok rahang tegas dan berperawakan tinggi dengan suara bariton. Kepalanya berat dan pandangannya tidak jelas.
"T-tuan..."
Pria-pria itu segera mundur dengan patuh, meskipun salah satu dari mereka tampak enggan sambil memegang sudut celananya yang sudah terasa ketat. Beberapa dari mereka sudah sempat membuka kemeja dan hanya menyisakan celana pendek.
“Kalian dengar apa yang kukatakan? Pergi!” ulang Yama, kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Akhirnya, mereka pergi, meninggalkan Dea sendirian dengan pria itu.
Dea yang masih terisak menggenggam pakaian koyaknya dengan erat. “Kalian sebenarnya siapa? Dan mengapa menangkapku?” tanyanya dengan suara bergetar. "Permainan kalian kasar. Aku tidak suka ini! Panggil Jean!"
"Siapa Jean? Kau menganggap ini permainan?" Yama merapat dan mengungkung Dea dengan cepat. Kedua tangan Dea ditekan ke atas kepalanya dan menempel di sandaran tempat tidur.
"Lepaskan, aku tidak akan membayar kalian!" geram Dea.
Pria itu menatapnya beberapa saat dan merasa bingung, sebelum akhirnya berkata, “Aku yang seharusnya bertanya, mengapa Ibumu mencelakakan Ibuku?"
"I-ibuku?"
Kondisi Dea membuat kedua mata Yama tertuju pada belahan depan gadis itu yang sudah tidak tertutup pakaian lagi.
“Siapa Ibumu?” Dea menatapnya bingung dengan mata nanar. Kepalanya tidak bisa mencerna dengan baik akibat efek mabuk yang mulai menguasainya sehingga dia juga tidak bisa membedakan apakah dia sedang bermimpi atau sedang dalam kondisi naas.
Kedua mata indah milik Dea berkedip-kedip terus dan berusaha melihat pria di depannya lebih jelas. Yama mengernyitkan keningnya lalu melepaskan tangan Dea.
“Errgh…” Suara Dea terdengar manja.
Pria yang dipanggil Yama itu menjepit dagu Dea dengan kedua jarinya sehingga wajah mereka bertemu. Saat itu, di antar cahaya remang lampu kamar, akhirnya Dea bisa melihat wajah Yama yang terlihat garang. Kumis tipis mengelilingi wajah tampan itu di antara cahaya samar-samar yang memantul di antara mereka.
"Ternyata kamu pria tampan," puji Dea tanpa sadar. Tenaganya untuk melawan sudah habis dan dia pasrah terhadap keadaan akibat obat perangsang yang didapatnya tadi.
Pria itu mengeryitkan alisnya sekali lagi dan melepaskan dagu Dea, tetapi masih tetap mengukung gadis itu di bawahnya.
Di luar dugaan, bukannya melarikan diri, Dea malah mengelus pipi Yama dengan lembut dan tidak menyadari bahaya yang dibawa pria itu.
"Kau mabuk?" Tanpa sadar, tatapan Yama menelusuri tubuh yang terkulai tak berdaya di bawah kukungannya. Seolah-olah sedang mengagumi kecantikan dari gadis yang sudah kehilangan tenaganya untuk meronta itu.
Kulit mulus Dea dengan beberapa tetesan keringat sebesar butiran jagung menghiasi tengkuk leher dan lekuk tubuhnya yang hanya tertutup kain dengan jumlah sangat minim, menimbulkan sebuah hasrat yang tidak mampu ditahan oleh pria normal seperti dirinya.
Bau alkohol menyeruak dari bibir tipis yang mungil miliknya, membuat dada Yama berdesir seakan-akan ingin ikut menikmati rasa manis yang mungkin disuguhkan.
"Pria Tampan, aku ingat sekarang. Jean memesanmu untuk melayaniku, bukan? Lakukanlah tugasmu sekarang!" bisik Dea dengan mata penuh manja.
Yama menelan salivanya sebelum berkata, "Baiklah, kalau kau masih tidak mau mengakuinya. Sepertinya aku harus mengambil sedikit keuntungan darimu sebagai bayaran atas apa yang sudah kalian perbuat!"
Sret!
Dalaman sebagai penutup bagian atas yang dipakai Dea koyak seketika dan dilempar ke belakang oleh pria itu secara asal. Membuat tubuh gadis itu polos seutuhnya.
"Arghh, kalian pintar membuat drama!" pekik Dea kegirangan. Efek mabukbercampur obat perangsang sudah menguasainya sepenuhnya. Sementara Yama tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai membuat gerakan yang membuai Dea sehingga gadis itu tidak sanggup menolak pesona yang ditawarkan pria dengan tubuh atletis yang sedang menuntunnya dengan cara unik tersebut.Beberapa pagutannya malah membuat Dea yang terpengaruh alkohol dengan kesadaran minim, tidak berkuasa menolak sama sekali. Sentuhan ringan yang diberikan pria bernama Yama itu membuat Dea mabuk benaran.Dea memekik tertahan saat bagian intinya robek dan kehormatan yang dia miliki selama dua puluh tahun akhirnya direngut oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lebih tepatnya, dia tahu sebagai pria yang disewa oleh sahabat untuk menghibur hatinya yang luka.“Ternyata aku penguasa yang pertama bagimu,” bisik Yama setelah berhasil menerobos pertahanan Dea, “ini bayaran yang sepadan.” Yama bukan hanya melakukannya satu kali, dia membiarkan
Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu."Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahka
Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi."Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi."Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia me
Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya."Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang
Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.**Drrtt... Drrtt...**Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak."Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.Dea segera menghapus air matanya dengan
"Kamu hanya punya satu jam!" balas Yama lalu menutup panggilan, matanya masih tajam menatap ke depan. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang berharga baginya tersakiti, apalagi Dea. Gadis itu mungkin belum menyadarinya, tapi sejak pertemuan mereka, Yama telah menaruh perhatian khusus padanya.Bagi orang lain, ini mungkin hanya insiden biasa—pertengkaran yang berujung pemukulan. Tapi Yama bukan orang yang mudah dibodohi. Ada sesuatu yang janggal di balik kejadian ini, dan dia tidak akan tinggal diam.Di dalam ruangan, Dea masih duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Tangannya menggenggam erat tangan pria paruh baya itu, seakan takut kehilangan."Ayah, siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih.Ayahnya menghela napas. "Tidak usah ikut campur, Dea. Ini bukan urusanmu.""Tapi, Ayah—""Diamlah!" Pria itu menguatkan suaranya, membuat Dea ter
Yama menyelipkan tangannya ke saku celana, memandang Dea yang panik dengan sorot mata tenang. "Jadi kamu menilaiku seperti itu?" tanyanya dengan wajah kalem."Aku tahu," kata Dea lagi, suaranya lebih rendah tapi tetap penuh curiga. Dea menyipitkan kedua matanya. "Kau pasti meminta bayaran lebih, ya? Baiklah, aku berjanji akan membayarmu dua ratus ribu lagi. Tidak bisa lebih lagi.""Lagian, ternyata kamu bukan pria yang dicari temanku, Jean. Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa tertukar," lanjutnya tanpa mempedulikan reaksi aneh dan bingung dari Yama."Aku juga sudah rugi karena masih harus membayar pria lain yang tidak pernah melakukan tugasnya, kau tahu? Jean sudah membayarnya!"Ia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan ponselnya dan menatap Yama dengan kesal. "Sekarang pergi, dan aku akan mengirimkannya ke rekeningmu besok. Berikan nomor ponselmu!"Yama tertawa kecil, menggeleng pela
"Lima belas? Astaga!"Dea terkejut dengan jumlah fantastis yang disebut Zacky, terlebih tidak mengerti, bagaimana seseorang yang arogan seperti dia bisa berlutut dan memohon ampun dan belas kasihan kepadanya.Yama mendekati Dea, suaranya lebih lembut saat berkata, "Dengar, Dea. Ini adalah kesempatanmu untuk keluar dari cengkeraman Zacky. Apa pun kesepakatan yang sudah kau buat dengannya, anggap saja batal.""Benarkah?" Dea menatap Zacky, yang masih berlutut gemetar, lalu menatap Yama. Ia tak bisa mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat."Ya, batal! Semua batal! Izinkan aku pulang. Keempat istriku dan anak-anakku sedang menungguku, mereka masih kecil, tolong berbaik hatilah, Dea.""Aku..." Dea tidak tahu mau menjawab apa."Ayo pergi dari sini," kata Yama lagi, suaranya kini lebih tegas.Dea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ada sesuatu ya
Namun, Yama akhirnya bisa bernapas lega pada saat seseorang akhirnya menemukannya. Saat dia melihat bayangan samar di antara es yang sudah membentuk lingkaran sekeliling matanya."T-tolong."Seorang lelaki tua dari pemukiman bawah, dengan kereta kayu berisi ramuan dan kayu bakar. Matanya membelalak saat melihat tubuh tergeletak di antara bebatuan. "Hei!" pekiknya seraya berlari mendekati dengan langkah besar menginjak salju yang tebal.Luka dan darah Yama yang mulai membeku sudah hampir menyatu dengan salju. Pria tua itu bergidik dengan bekas noda cukup panjang di belakang Yama."Astaga… kamu masih hidup!" serunya panik menyadari sudah berapa lama Yama berusaha bertahan hanya dengan merangkak dalam luka yang tetap mengalirkan darah.Yama tak bisa menjawab. Dia merasa kedua lututnya mungkin sudah hancur. Tapi dia tidak peduli.Ia hanya menggeliat pelan, matanya mengerjap samar. Tapi itu cukup j
Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.Yama mendesis, menahan nyeri.Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih."Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
"Nona Dea," sapanya dengan suara bergetar dan canggung.“Eh, kamu!” suara itu membuatnya tercekat. “Kamu lihat Yama?”Ajudan itu menelan ludah. Pandangannya melirik ke belakang dengan canggung, lalu kembali ke wajah Dea yang terlihat khawatir. “T-tidak, Nona Dea... S-saya tidak melihatnya,” jawabnya cepat dan semakin terlihat canggung sambil menggeleng. “M-mungkin dia masih di bukit barat?”"A-aku harus kembali ke tenda," lanjutnya. Ia langsung berlari setelah itu, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata.Dea terdiam, keningnya berkerut. Hati kecilnya merasa ada yang aneh dengan gestur ajudan itu. Tapi ia menaikkan bahu lalu memilih masuk ke dalam tenda. Berharap, mungkin Pangeran Frans tahu.Di dalam, Pangeran Frans bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum lembut. Ia memeluk Dea erat, seperti ingin menunjukkan bahwa ia peduli.
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
“Aku lihat cara kamu menatapnya.” Suaranya rendah. “Aku tahu... kamu mencintainya.”Dea menghela napas. “Aku menganggapnya sebagai sahabatku.""Lalu aku?"Dea menatapnya dalam-dalam lalu menjawab, "sahabatku yang baik.”Frans tertawa kecil—pendek, tapi getir. Wajahnya tidak lagi bercanda.Ia mendekat, suara tertahan. “Sahabat baik?"Frans tertawa kecil.“Sahabat, ya?” Bibirnya miring mengejek. “Kamu sungguh tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padakuDea bergeming. "Apa maksudmu?"“Aku tak bisa tidur sejak malam itu. Kamu masuk ke pikiranku seperti racun. Dan yang paling membuatku muak adalah… aku bahkan tidak tahu, kenapa harus kamu?”“Karena kamu sangat baik, Frans.” Dea berbisik. “Dan kamu tidak suka wanita, jangan lupa
Ia melompat ke atas kendaraan milik relawan, memberikan instruksi tegas, suaranya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lain. Ketakutan yang tak bisa ia mengerti.“Bawa kami ke lokasi! Siapkan alat-alat penggali manual! Semua tenaga medis ikut!”Pangeran Frans akhirnya menyusul, melompat ke kendaraan berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada senyum jenaka, tidak ada komentar sarkastik. Ia hanya duduk diam dengan rahang mengeras, menyaksikan Dea mengurus semuanya dengan penuh kepanikan."Dia segelisah itu karena Yama?"Frans menggenggam lututnya, cemburu yang mendidih dalam dadanya mulai mengusik logika. Ia ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya sebatas masa lalu. Tapi kekhawatiran yang ia lihat di mata Dea barusan... bukan kekhawatiran biasa.Sesampainya di lokasi longsor, senja mulai merambat. Embun sisa longsor masih membuat pandangan mereka dalam jang
Yama tersenyum kecil. “Tapi setidaknya… kau tidak bilang ‘tidak mungkin.’”Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Dea tersenyum. Pangeran Frans yang mendengar percakapan mereka yang singkat itu, mengepalkan kedua tangannya di luar tenda. Dia mulai merasa marah dan sudah saatnya untuk bertindak.Namun, keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Pangeran muncul dengan semangkuk bubur di tangannya."Dea, Sayang. Bubur hangat untuk kesayanganku yang cantik," ucapnya dengan hangat lalu duduk di tepi ranjang Dea.Dea mengucek kedua matanya yang masih mengantuk dan meregangkan pinggangnya yang kaku."Hmm, ini terlihat enak dan hangat, tetapi mengapa harus mengantarkannya sampai ke tenda?" Dea segera menegakkan punggungnya."Dea, apakah kamu akan memberikan kesempatan lagi kepada Yama?"Dea sedikit terkejut pada saat mendengar pertanyaan Pangeran Frans, dia menghentik
Tangannya sibuk membalut luka di lutut seorang anak perempuan kecil, yang menangis tertahan. Pipinya merah membeku, rambutnya sedikit kusut, tetapi matanya tetap tenang dan lembut saat bicara pada si anak.“Tak apa, sebentar lagi selesai. Kamu hebat sekali, ya. Satu lagi, ya?” Dea berusaha membujuk agar anak kecil itu mau menelan pil anti nyeri untuk meringankan rasa sakit pada lukanya.Suara itu—masih sama. Sama seperti yang dulu ia dengar saat mereka duduk berdua di pinggir sungai kecil, saat dunia masih terasa sederhana. Tapi kini, dunia mereka penuh luka dan rahasia.Yama berdiri mematung. Untuk beberapa detik, waktu terasa berhenti. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia uraikan: rasa bersalah, harapan, dan kerinduan yang ia sembunyikan terlalu lama.Namun sebelum sempat ia membuka suara, langkah lain mendekat dari sisi tenda yang lain.“Sayang