“Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit sebelum Tuan Yama tiba?” Suara seorang pria membuat Dea berusaha sadar dari pengaruh wine yang diminumnya setengah jam yang lalu.
“Iya, Tuan hanya menginginkan nyawanya. Toh, dia akan dibuang ke jurang sesudah itu.” Seorang pria lain menyahut sambil tertawa.
"Tuan Y-yama? J-jurang?" Perkataannya membuat kedua mata Dea membulat seketika dan panik. Melihat beberapa pria yang sedang mengelilinginya saat ini. Dea menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha sadar dari pengaruh alkohol yang sudah semakin kuat menjalar di tubuhnya. Sebuah kamar mewah! Dia sadar harus segera melarikan diri walau kepalanya terasa sangat berat. Dia setengah mabuk.
“Kalian siapa? Pergi!”
Dea masih tidak mengerti bagaimana dia bisa terbangun di ranjang dengan beberapa pria berwajah sangar menatapnya seolah-olah mereka sangat lapar.
Satu jam sebelumnya, dia menyaksikan bagaimana kekasihnya berlutut di hadapan salah seorang teman kerjanya. Sebuah cincin membuat kedua insan itu bertunangan secara resmi. Dia merasa dikhianati dan terpuruk.
Jean-Sahabatnya menelepon, berusaha menghibur hatinya dan mengatakan bahwa dia sudah mempersiapkan sebuah hiburan untuk menghibur Dea yang terluka. Sahabatnya malah mengatakan bahwa dia sudah menyiapkan beberapa pria penghibur yang ketampanannya ribuan kali dari mantan pacarnya.
Akan tetapi, saat sampai di Bar tempat mereka janji untuk bertemu, malah tidak terlihat bayangan sahabatnya—Jean.
Alhasil, Dea memesan sejumlah wine dan setengah botol minuman itu sudah berhasil membuat dirinya sempoyongan. Dea memilih pulang untuk mencegah terjadinya hal yang tidak dia inginkan. Namun, saat keluar dari cafe itu, dia malah diculik oleh beberapa pria asing dan tidak mampu melawan.
Dea berakhir di ranjang saat ini. Ada enam pria berwajah sangar sedang mengelilinginya. Salah satu mereka sudah memaksanya minum obat perangsang sehingga Dea sudah hampir kehilangan kesadarannya, ditambah efek minuman yang sudah dihabiskannya setengah botol tadi juga sudah mulai menguasai dirinya.
Tiba-tiba, salah seorang dari pria itu melangkah maju, berusaha meraih tangan Dea dan mulai mencoba menarik gaun yang dipakai Dea, membuat lamunan Dea buyar seketika.
"J-jangan!" pekik Dea berusaha meronta di antara cahaya minim yang membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.
Tanpa bisa dicegah, gaunnya sudah berhasil dikoyak oleh beberapa pria yang tertawa terus sepanjang aksinya.
"Sret! Sret!"
Bagian atas gaun yang dipakainya ikut terkoyak dan dalam hitungan detik sudah menyisakan dalaman yang membuat mata mereka yang lapar semakin lapar.
"Wow! Jalang kecil ini masih mulus." Ejekan menjijikkan keluar dari mulut mereka disertai siulan nakal beberapa pria.
"Lepaskan!" pekik Dea histeris dengan suara penuh keputusasaan.
"Plak!"
Sebuah tamparan mengenai pipi Dea dan membuat pelipisnya sobek, darah mengalir membasahi sudut matanya sehingga matanya basah bercampur air mata.
"J-jangan..." Suara Dea bergetar dan tanpa daya berada dalam kukungan beberapa pria yang siap mengerogoti tubuhnya dengan kejam. Tetapi sebelum para pria itu sempat melakukan aksi bejatnya lebih lanjut, sebuah suara berat memerintah dari belakang mereka.
“Kalian pergi. Dia pasti sudah mendapat pelajaran kali ini."
Dea bisa menebak, suara itu berasal dari Tuan yang mereka panggil Yama. Siluet sosok pria itu berjalan mendekat dengan langkah mantap. Sorot matanya tajam dan penuh otoritas. Dea segera menutupi dirinya dengan selimut kamar berwarna putih.
Dea tidak bisa melihat lebih jelas karena darah yang membasahi sebelah matanya membuatnya terasa perih. Dia hanya tahu, pria itu memiliki sosok rahang tegas dan berperawakan tinggi dengan suara bariton. Kepalanya berat dan pandangannya tidak jelas.
"T-tuan..."
Pria-pria itu segera mundur dengan patuh, meskipun salah satu dari mereka tampak enggan sambil memegang sudut celananya yang sudah terasa ketat. Beberapa dari mereka sudah sempat membuka kemeja dan hanya menyisakan celana pendek.
“Kalian dengar apa yang kukatakan? Pergi!” ulang Yama, kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Akhirnya, mereka pergi, meninggalkan Dea sendirian dengan pria itu.
Dea yang masih terisak menggenggam pakaian koyaknya dengan erat. “Kalian sebenarnya siapa? Dan mengapa menangkapku?” tanyanya dengan suara bergetar. "Permainan kalian kasar. Aku tidak suka ini! Panggil Jean!"
"Siapa Jean? Kau menganggap ini permainan?" Yama merapat dan mengungkung Dea dengan cepat. Kedua tangan Dea ditekan ke atas kepalanya dan menempel di sandaran tempat tidur.
"Lepaskan, aku tidak akan membayar kalian!" geram Dea.
Pria itu menatapnya beberapa saat dan merasa bingung, sebelum akhirnya berkata, “Aku yang seharusnya bertanya, mengapa Ibumu mencelakakan Ibuku?"
"I-ibuku?"
Kondisi Dea membuat kedua mata Yama tertuju pada belahan depan gadis itu yang sudah tidak tertutup pakaian lagi.
“Siapa Ibumu?” Dea menatapnya bingung dengan mata nanar. Kepalanya tidak bisa mencerna dengan baik akibat efek mabuk yang mulai menguasainya sehingga dia juga tidak bisa membedakan apakah dia sedang bermimpi atau sedang dalam kondisi naas.
Kedua mata indah milik Dea berkedip-kedip terus dan berusaha melihat pria di depannya lebih jelas. Yama mengernyitkan keningnya lalu melepaskan tangan Dea.
“Errgh…” Suara Dea terdengar manja.
Pria yang dipanggil Yama itu menjepit dagu Dea dengan kedua jarinya sehingga wajah mereka bertemu. Saat itu, di antar cahaya remang lampu kamar, akhirnya Dea bisa melihat wajah Yama yang terlihat garang. Kumis tipis mengelilingi wajah tampan itu di antara cahaya samar-samar yang memantul di antara mereka.
"Ternyata kamu pria tampan," puji Dea tanpa sadar. Tenaganya untuk melawan sudah habis dan dia pasrah terhadap keadaan akibat obat perangsang yang didapatnya tadi.
Pria itu mengeryitkan alisnya sekali lagi dan melepaskan dagu Dea, tetapi masih tetap mengukung gadis itu di bawahnya.
Di luar dugaan, bukannya melarikan diri, Dea malah mengelus pipi Yama dengan lembut dan tidak menyadari bahaya yang dibawa pria itu.
"Kau mabuk?" Tanpa sadar, tatapan Yama menelusuri tubuh yang terkulai tak berdaya di bawah kukungannya. Seolah-olah sedang mengagumi kecantikan dari gadis yang sudah kehilangan tenaganya untuk meronta itu.
Kulit mulus Dea dengan beberapa tetesan keringat sebesar butiran jagung menghiasi tengkuk leher dan lekuk tubuhnya yang hanya tertutup kain dengan jumlah sangat minim, menimbulkan sebuah hasrat yang tidak mampu ditahan oleh pria normal seperti dirinya.
Bau alkohol menyeruak dari bibir tipis yang mungil miliknya, membuat dada Yama berdesir seakan-akan ingin ikut menikmati rasa manis yang mungkin disuguhkan.
"Pria Tampan, aku ingat sekarang. Jean memesanmu untuk melayaniku, bukan? Lakukanlah tugasmu sekarang!" bisik Dea dengan mata penuh manja.
Yama menelan salivanya sebelum berkata, "Baiklah, kalau kau masih tidak mau mengakuinya. Sepertinya aku harus mengambil sedikit keuntungan darimu sebagai bayaran atas apa yang sudah kalian perbuat!"
Sret!
Dalaman sebagai penutup bagian atas yang dipakai Dea koyak seketika dan dilempar ke belakang oleh pria itu secara asal. Membuat tubuh gadis itu polos seutuhnya.
"Arghh, kalian pintar membuat drama!" pekik Dea kegirangan. Efek mabukbercampur obat perangsang sudah menguasainya sepenuhnya. Sementara Yama tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai membuat gerakan yang membuai Dea sehingga gadis itu tidak sanggup menolak pesona yang ditawarkan pria dengan tubuh atletis yang sedang menuntunnya dengan cara unik tersebut.Beberapa pagutannya malah membuat Dea yang terpengaruh alkohol dengan kesadaran minim, tidak berkuasa menolak sama sekali. Sentuhan ringan yang diberikan pria bernama Yama itu membuat Dea mabuk benaran.Dea memekik tertahan saat bagian intinya robek dan kehormatan yang dia miliki selama dua puluh tahun akhirnya direngut oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lebih tepatnya, dia tahu sebagai pria yang disewa oleh sahabat untuk menghibur hatinya yang luka.“Ternyata aku penguasa yang pertama bagimu,” bisik Yama setelah berhasil menerobos pertahanan Dea, “ini bayaran yang sepadan.” Yama bukan hanya melakukannya satu kali, dia membiarkan
Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu."Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahka
Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi."Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi."Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia me
Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya."Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang
Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.**Drrtt... Drrtt...**Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak."Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.Dea segera menghapus air matanya dengan
"Kamu hanya punya satu jam!" balas Yama lalu menutup panggilan, matanya masih tajam menatap ke depan. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang berharga baginya tersakiti, apalagi Dea. Gadis itu mungkin belum menyadarinya, tapi sejak pertemuan mereka, Yama telah menaruh perhatian khusus padanya.Bagi orang lain, ini mungkin hanya insiden biasa—pertengkaran yang berujung pemukulan. Tapi Yama bukan orang yang mudah dibodohi. Ada sesuatu yang janggal di balik kejadian ini, dan dia tidak akan tinggal diam.Di dalam ruangan, Dea masih duduk di tepi tempat tidur ayahnya. Tangannya menggenggam erat tangan pria paruh baya itu, seakan takut kehilangan."Ayah, siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih.Ayahnya menghela napas. "Tidak usah ikut campur, Dea. Ini bukan urusanmu.""Tapi, Ayah—""Diamlah!" Pria itu menguatkan suaranya, membuat Dea ter
Yama menyelipkan tangannya ke saku celana, memandang Dea yang panik dengan sorot mata tenang. "Jadi kamu menilaiku seperti itu?" tanyanya dengan wajah kalem."Aku tahu," kata Dea lagi, suaranya lebih rendah tapi tetap penuh curiga. Dea menyipitkan kedua matanya. "Kau pasti meminta bayaran lebih, ya? Baiklah, aku berjanji akan membayarmu dua ratus ribu lagi. Tidak bisa lebih lagi.""Lagian, ternyata kamu bukan pria yang dicari temanku, Jean. Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa tertukar," lanjutnya tanpa mempedulikan reaksi aneh dan bingung dari Yama."Aku juga sudah rugi karena masih harus membayar pria lain yang tidak pernah melakukan tugasnya, kau tahu? Jean sudah membayarnya!"Ia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan ponselnya dan menatap Yama dengan kesal. "Sekarang pergi, dan aku akan mengirimkannya ke rekeningmu besok. Berikan nomor ponselmu!"Yama tertawa kecil, menggeleng pela
"Lima belas? Astaga!"Dea terkejut dengan jumlah fantastis yang disebut Zacky, terlebih tidak mengerti, bagaimana seseorang yang arogan seperti dia bisa berlutut dan memohon ampun dan belas kasihan kepadanya.Yama mendekati Dea, suaranya lebih lembut saat berkata, "Dengar, Dea. Ini adalah kesempatanmu untuk keluar dari cengkeraman Zacky. Apa pun kesepakatan yang sudah kau buat dengannya, anggap saja batal.""Benarkah?" Dea menatap Zacky, yang masih berlutut gemetar, lalu menatap Yama. Ia tak bisa mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat."Ya, batal! Semua batal! Izinkan aku pulang. Keempat istriku dan anak-anakku sedang menungguku, mereka masih kecil, tolong berbaik hatilah, Dea.""Aku..." Dea tidak tahu mau menjawab apa."Ayo pergi dari sini," kata Yama lagi, suaranya kini lebih tegas.Dea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ada sesuatu ya
Dea terdiam, akhirnya mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Di luar, langit malam tampak begitu luas dan dingin. Hatinya juga terasa sama—dingin dan penuh ketidakpastian.***Sementara itu, di mansion keluarga Yama, pria tinggi itu melangkah masuk dengan ekspresi gelap. Para pelayan menunduk dalam ketakutan saat melihat wajahnya yang penuh amarah. Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju ruang utama, di mana neneknya sudah menunggu dengan ekspresi dingin."Duduk," perintah wanita tua itu.Yama menahan diri untuk tidak melawan. Dengan rahang mengeras, ia duduk di sofa berhadapan dengan neneknya."Apa yang sedang kau lakukan, Yama?" suara neneknya terdengar tenang, namun penuh tekanan."Menutup bandara hanya untuk mencari seorang wanita tidak berguna? Berita apa lagi yang ingin kau timbulkan untuk membuat saham kita jatuh?""Ak
Mobil sudah sampai di terminal keberangkatan. Dengan kemarahan yang nyaris meledak, Yama melangkah cepat masuk ke dalam terminal VIP bandara yang kini ditutup atas perintahnya.Matanya menyapu sekeliling dengan penuh harapan, namun bayangan Dea sama sekali tidak terlihat. Rasa frustrasi menyelimutinya. Sudah pasti mereka terlambat."Brengsek!" Yama menghempaskan pantatnya dengan kasar di kursi tunggu. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan amarah yang nyaris meluap. Kedua matanya penuh dengan sklera merah.Yama menyadari sesuatu, Neneknya terlibat dalam hal ini. Atau Meisya! Mereka sengaja mengatur agar Dea segera menghilang dalam kehidupannya, tapi ke Inggris?Yama mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Satu-satunya negara yang belum dia taklukkan! Rencana Nenek secara keseluruhan sudah mulai tercium olehnya.Bob menelan ludah, lalu mencoba meredakan ketegangan. "Kita bisa kejar k
Ibunya tampak sedikit goyah saat mereka menaiki helikopter, tapi tidak berkata apa-apa. Dea sendiri hanya bisa menatap kosong ke layar ponselnya yang masih berdering sesekali, menunjukkan panggilan terakhir dari Jean. Ia menggenggam ponselnya erat, lalu memasukkannya ke dalam saku jaketnya sebelum melangkah masuk.Saat helikopter mulai lepas landas, Dea menoleh ke samping. Ibunya sibuk dengan ponselnya, mengetik pesan dengan cepat. Sesekali, wanita itu mengambil beberapa foto selfie dengan ekspresi bangga, seolah ini adalah perjalanan wisata bukannya perjalanan penuh kecemasan menuju ketidakpastian.Dea hanya bisa menatap lurus ke depan. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosi yang sejak tadi menghantam dirinya. Ini bukan sekadar perjalanan untuk ayahnya. Ini adalah perjalanan yang akan mengubah segalanya.Di dalam benaknya, nama Yama berkelebat. Pria yang hanya singgah sesaat, j
"Pergilah mengurusnya! Jadilah anak berbakti, Dea," sahut ibunya tanpa melihat ke arahnya. Fokus utamanya ke layar ponsel berisi foto Leo-sang adik.Ibunya mengibas sebelah tangannya seperti mengusir lalat imajiner, matanya masih berbinar penuh kebanggaan terhadap adik Dea, tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi di hati putri sulungnya. Dia bahkan lupa menanyakan tentang helikopter ambulance yang akan mereka pakai atau bagaimana mereka akan membayar semua itu seolah-olah semua adalah tanggung jawab Dea.Dia merasa tidak perlu memusingkan hal itu.Dengan langkah berat, Dea beranjak menuju ruang administrasi rumah sakit untuk memastikan semua berkas keberangkatan telah siap.Perawat memberikan beberapa dokumen yang perlu ditandatangani, dan ia menandatanganinya dengan tangan yang sedikit gemetar. Semua ini terasa begitu nyata sekarang."Lima ratus juta... " gumam Dea dengan suara kecil seraya mengeluarkan kartu tipis yang diberikan
Dea memeluk dirinya, terasa nyeri di bagian depan dadanya karena apa yang dilakukan oleh Yama tadi. Dia menyadari betapa terobsesinya pria itu terhadap tubuhnya dan itu sangat menjijikkan serta membuat hatinya terpuruk.Dea terdiam sejenak, sebelum menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca, suaranya terdengar rapuh ketika berbicara. "Tidak..."Suaranya kecil, hampir tidak terdengar."Yama... dia hanya menginginkan tubuhku, tapi saat aku menyerah... saat aku pasrah, dia malah tidak melanjutkan aksinya."Dea merasa dirinya mungkin akan menginginkan sentuhan Yama bila dilakukan dengan cara yang lebih lembut. Pemaksaan seperti itu lebih bisa dinilai sebagai sebuah pelecehan daripada pemuasan gairah dan itu sangat menjengkelkan baginya.Jean mengernyit. "Apa maksud dia?" tanyanya bingung. "Arghhh!" geram Jean."Entah apa yang ada di dalam pikiran para pria itu?"Bayangan Bob yang memaksa mencium serta menindihnya tadi tiba-tiba
"Sial!" Jean memaki dalam hati. Dia tertangkap lagi oleh Bob. Tubuhnya dipikul di bahu Bob dengan mudah seperti memikul karung goni.Bob, yang masih kesakitan, bangkit dengan cepat. Matanya membara penuh kemarahan. "Kau membuatku benar-benar marah sekarang."Jean melakukan perlawan dengan memukul punggung Bob, kedua matanya mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. Jean bisa mendengar dengan jelas, suara Dea di dalam kamar mandi. Temannya juga sedang dilecehkan oleh Yama. Tubuhnya bergetar karena marah!Kebencian Jean berkilat di matanya. Saat Bob menurunkan tubuhnya. Matanya melirik vas bunga di meja sudut. Ia meraihnya dengan cepat dan mengangkatnya tinggi-tinggi."Jangan mendekat, Bob!" ancamnya dengan suara gemetar.Bob menyeringai, lalu melangkah maju. "Dan kalau aku tetap maju? Kau mau apa?"Jean tidak ragu. Dengan sekuat tenaga, ia
Tanpa pikir panjang, dia menghampiri pintu itu dan mendapati bahwa terkunci. Namun, itu tidak menghentikannya.Brak!Pintu kamar mandi terbuka dengan keras akibat tendangan Yama. Dea, yang tengah mandi di balik tirai shower, terlonjak kaget dan memekik. Segera menutup bagian tubuhnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Yama?! Apa yang kau lakukan?!" serunya dengan panik, tangannya buru-buru menarik handuk untuk menutupi tubuhnya yang basah.Namun Yama tidak menjawab. Nafasnya memburu, emosinya menggelegak, dan sebelum Dea sempat berbuat lebih banyak, dia melangkah maju dan meraih dagu gadis itu dengan kasar."Kau pikir bisa kembali kepada mantan kekasihmu itu?" suaranya dalam dan sarat emosi. "Di mana harga dirimu, Dea?""Lepaskan aku! Kau sudah gila!" Dea meronta, berusaha mendorong Yama
Nenek yang mendengar suara itu hanya menoleh sekilas. Tatapannya dingin, tak ada kepedulian dalam sorot matanya. Ia menatap luka kecil di jari Meisya sebentar, lalu dengan sikap acuh, ia kembali memalingkan wajahnya.Meisya merasakan sesuatu mencubit perasaannya. Ia tahu bahwa dirinya bukan cucu kesayangan neneknya, hanya calon cucu menantu yang akan terlihat seperti bawahannya.Meisya mengerti perbedaan dalam status mereka, tetapi betapa dinginnya wanita itu tetap saja membuatnya merasa tidak berarti. Seolah-olah keberadaannya tidak penting. Seolah-olah ia hanyalah bayangan yang tidak perlu diperhatikan.Perasaan itu menggerogoti hatinya, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa duduk diam, menatap apel yang belum selesai ia kupas, dan membiarkan perasaan tidak berharga itu semakin mengakar dalam dirinya."Pergilah kalau kamu sudah selesai. Nenek ingin istrahat." Suara nan ketus dari wanita tua itu membuat Meisya
Dia memang memilih menjalani skenario ini tanpa sadar. Dia memang murahan! Di hadapan mereka. Di hadapan semua orang saat ini.Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga, mengalir membasahi pipinya. Dia mengepalkan tangannya, menatap punggung Yama yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang berubah dalam diri pria itu. Dan perubahan itu membuat Dea semakin merasa kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Tidak sanggup dia jelaskan sendiri.Walaupun Dea berusaha menanamkan pikiran bahwa Yama hanya pria yang singgah dalam waktu seminggu dan belum memiliki arti apa-apa, namun entah mengapa, hatinya terasa nyeri saat ini.Sementara itu, Sanjaya masih berdiri di tempatnya. Dengan nada mengejek, ia berkata, "Tak perlu menangis, Dea. Toh, sejak awal kau memang tidak punya pilihan.""Apa maksudmu?" Dea menoleh tajam ke arahnya, kemarahan bercampur dengan luka menguasai tatapannya. "Aku lebih baik mati daripada diperm