Setelah membersihkan hampir setengah halaman yang penuh semak belukar dan tanaman rambat, mendobrak pintu rahasia yang sudah usang dimakan musim dengan penuh semangat, Rangga harus menelan kekecewaan. Pasalnya, di depannya berdiri tembok beton dua kali tinggi badannya berbentuk U yang artinya, Rangga masih tidak bisa menembus Puri Mangkunegaran lewat jalur rahasia miliknya.
“Astaga ... sejak kapan kau berdiri di situ?!” geram Rangga kesal.
“Sejak bulan lalu,” sahut Jelita dari balik punggung Rangga.
Rangga tersentak kaget dan berbalik cepat menghadap Jelita. “Eyang!”
“Aku sudah tahu kamu akan membuka kembali jalur rahasia milikmu.” Jelita maju satu langkah mendekati Rangga.
“Sebelum aku menghadiri pernikahan Alina, ada seekor ulat piton yang cukup besar masuk ke dalam puri. Jadi, aku menyuruh Kirman membersihkan halaman belakang dan berakhir menemukan jalur rahasia milikmu. Saat itu, aku langsun
Dua hari berlalu, Rangga masih setia duduk di kursi ukiran kayu, menunggu pintu di depan rumah utama dan berharap pintu itu terbuka. Warsih dan Kirman bergantian mengantar makanan dan baju ganti untuk Rangga—yang tidak pernah disentuhnya, tanpa sepatah kata keluar dari mulut mereka.Cemas dan putus asa berhasil membuat mata Rangga terus terjaga tanpa istirahat selama dua hari. Matanya merah dan sembab, wajahnya kusut karena mengantuk, aura Ranggapati meredup. Hanya air segar yang diambil dari sumur belakang puri yang memberinya tenaga untuk bertahan.Hidup seperti mati, itu yang sekarang Rangga rasakan. Tubuhnya bergerak, tapi tidak bernyawa. Semua karena Maura, kekasih hati yang baru belakangan benar-benar ia sadari arti hadirnya dalam kehidupan Rangga.Selama ini, Rangga berpikir bahwa ia mencintai Maura dan itu lebih dari cukup untuk melandasi sebuah pernikahan. Nyatanya, lebih dari itu. Ia membutuhkan Maura, wanita itu adalah istrinya, garwa d
‘Kursi roda,” gumam Rangga dalam hatinya.Rangga mengangkat pandangannya perlahan karena rasa penasaran dan cemas bercampur jadi satu. Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini, kala matanya melihat Maura duduk di atas kursi rodanya dengan wajah pucat. Warsih membantu mendorong kursi dari belakang.“Sayang,” sapa Rangga lirih.Bibir mungil itu dipaksa menyungging senyuman. “Hai,” balas Maura lemah.Warsih mendorong Maura sampai berdekatan dengan Rangga, lalu pergi tanpa menunggu perintah. Maura mengulurkan tangannya yang terlihat kecil seperti sumpit ke atas, meminta Rangga menjajarkan wajah mereka.“Maura,” panggil Rangga lagi sambil berlutut di depan Maura, dengan suara dalam dan serak. “Apa yang terjadi padamu?”“Dengarkan aku, tidak banyak waktu yang dokter berikan padaku.”Rangga tidak mengerti maksud ucapan Maura, tapi kepalanya meng
Berbagai jenis makanan tersaji di meja, tidak membuat tiga orang yang sedang duduk tenang tergugah untuk menyantapnya. Jelita, Rangga dan Yuki hanya duduk diam, larut dalam pikiran masing-masing.“Maaf, Rangga tidak nafsu makan. Rangga ke kamar dulu.”Yuki hanya mengiring kepergian paman dingin yang mulai menghangat itu melalui manik matanya.“Eyang,” lirihnya seraya menatap Jelita. “Aku mulai merindukannya.”Jelita merentangkan dua lengannya, mengundang Yuki masuk dalam pelukan hangatnya. “Eyang tahu. Kita harus membiarkan mereka saling berjauhan agar tidak ada lagi yang tersakiti.” Tangan Jelita terus mengusap punggung Yuki, naik turun.“Apa ini akan berhasil?” tanya Yuki seraya mengangkat wajahnya.Jelita tersenyum, mengusap kepala Yuki dan mencium dahinya. “Cah Ayu, kita hanya diminta berusaha. Hasilnya, kita serahkan pada Sang Pencipta. Kita dorong dengan doa. Ba
“Tidak, aku tidak bisa. Kak, to-long aku!” seru Maura panik sambil terus berusaha mengisi parunya dengan udara.“Maura, Maura! Dengar aku.” Suara Evan makin naik. “Tarik napas, kamu begini akan membahayakannya. Tarik napas, Maura!”Begitu mendengar bahaya yang akan mengancam, Maura meneguhkan hatinya, mencengkeram lengan Evan dan mulai mengembangkan parunya. Perlahan, sedikit demi sedikit, Maura mulai mengisi parunya.“Bagus! Inhale, exhale. Lagi, Ra. Good.” Evan terus memberi pujian dan merasakan cengkeraman di lengannya mulai mengendur.“Oke, bagus. Kamu bisa napas biasa sekarang. Tenangkan dirimu.” Evan membelai bahu Maura lembut. “Kamu bisa ceritakan padaku, kalau mau.”“Kak, aku merasa tidak akan bisa melakukan semua ini.” Maura tertunduk menyembunyikan kerinduannya.“Ra, lihat aku.” Evan menaikkan dagu Maura. “Apa yan
Puri Mangkunegaran, 23.00 WIBRangga duduk di kursi ukiran yang dua hari kemarin menjadi tempat tinggalnya. Matanya jauh menerawang ke gerbang puri yang tampak kecil di kejauhan. Sesekali, kepalanya mendongak menatap atap genting tanpa plafon dan mendesah.“Belum tidur?”Rangga enggan menjawab pertanyaan Jelita. Ia masih kesal dengan keputusan eyangnya yang memanggil Evan dan mengizinkan pria sialan itu membawa istrinya.“Belum tidur?” ulang Jelita.“Belum,” sahut Rangga malas.“Kenapa lemes begitu? Marah sama Eyang?”Rangga berpaling cepat menatap Jelita. “Apa masih perlu ditanyakan, Eyang? Sebenarnya Maura itu kenapa? Apa yang terjadi pada calon bayi kami, Eyang?” Rangga bergerak gusar di kursinya.“Kenapa harus Evan yang datang merawatnya? Apa gak ada dokter kandungan di Jogja, sampai harus mendatangkan dokter kandungan dari Jakarta? Dan kenapa harus Evan?!&rd
Rangga melompat ke atas ranjang dan memeriksa sendiri kondisi Yuki. Benar kata Jelita, bibir bawahnya sobek. “Yuki kenapa, Eyang?” “Sepertinya dia terjatuh dari ranjang. Warsih terbangun karena kaget mendengar suara berdebum seperti sesuatu jatuh di lantai. Saat turun dari ranjang, kakinya menyenggol kaki Yuki,” papar Jelita sambil membalik handuk basah di kening Yuki. “Kita bawa saja ke Rumah Sakit.” Rangga dengan sigap mengangkat tubuh Yuki dari ranjang dan bergegas keluar. “Man, Kirman!” Rangga berteriak lantang memanggil sopir kepercayaan Jelita sambil terus melangkah cepat menuju mobil yang terparkir rapi di teras depan. “Mana, sih?! Mbak, tolong panggil Kirman!” titah Rangga pada Warsih yang tergopoh-gopoh mengekorinya. “Tidak perlu. Eyang dan Warsih akan ikut ke Rumah Sakit, kamu yang bawa mobilnya.” Jelita bergegas masuk ke dalam mobil sebelum Rangga memasukkan Yuki ke kursi belakang diikuti Warsih. Karena masih terlalu pagi, j
“Ada apa?!” tanya Rangga panik seraya menyibak tirai.Jelita sedang menahan tubuh mungil Yuki agar tidak turun dari ranjang. Sedangkan Warsih, menahan lengan bocah itu sambil berusaha melepaskan botol infus dari tiang penyangga.“Kenapa dia, Mbak?”“Papa ... Papa ... Yuki mau ketemu Papa,” rengek Yuki dengan suara serak dan lemah.Mengertilah Rangga bahwa Yuki mengira Damian datang menjenguknya, yang sebenarnya adalah kesalahan yang tidak sengaja Rangga buat.“Yuki, dengar, itu Damian yang lain. Bukan ayahmu. Tenanglah.” Rangga berjalan mendekat dan meraih tubuh mungil itu dalam peluknya.“Kenapa semua yang Yuki sayangi pergi, Panda?”tanya gadis itu di sela isakannya.“Kau harus lebih dulu sembuh sebelum memikirkan hal itu. Aku janji, setelah kau keluar dari sini, aku akan membawa Bunda ke hadapanmu.”Yuki hanya mengangguk sebelum terkulai lemas dalam pekuk
“Awh! Sakit, Panda!”“Ups, sori.” Rangga terus berusaha membuat ekor kuda yang rapi setelah empat kali gagal. “Aku menyerah!” Rangga melempar sisir ke atas ranjang dan mengangkat tangannya.“Aku tidak ingin ke sekolah hari ini!” sungut Yuki kesal. Kepalanya berdenyut hampir di semua sisi setelah Rangga menyisir, mengikat dan menarik karetnya berulang kali. “Aku pusing, kepalaku berdenyut!” imbuhnya.“Oke. Memang sebaiknya kau tidak perlu berangkat sekolah hari ini.”Yuki memutar badannya dengan cepat. “Bunda melarangku bolos sekolah kecuali sakit atau ada hal mendesak. Dia akan marah kalau tahu aku bolos!”“Kalau kau berkeras ingin pergi sekolah dengan ekor kuda, maka aku tidak bisa menolongmu.” Rangga melirik arlojinya.“Sial! Aku hampir terlambat untuk rapat direksi pagi ini. Putuskan dalam setengah jam apa yang akan kau lakukan dan
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s