Dua hari berlalu, Rangga masih setia duduk di kursi ukiran kayu, menunggu pintu di depan rumah utama dan berharap pintu itu terbuka. Warsih dan Kirman bergantian mengantar makanan dan baju ganti untuk Rangga—yang tidak pernah disentuhnya, tanpa sepatah kata keluar dari mulut mereka.
Cemas dan putus asa berhasil membuat mata Rangga terus terjaga tanpa istirahat selama dua hari. Matanya merah dan sembab, wajahnya kusut karena mengantuk, aura Ranggapati meredup. Hanya air segar yang diambil dari sumur belakang puri yang memberinya tenaga untuk bertahan.
Hidup seperti mati, itu yang sekarang Rangga rasakan. Tubuhnya bergerak, tapi tidak bernyawa. Semua karena Maura, kekasih hati yang baru belakangan benar-benar ia sadari arti hadirnya dalam kehidupan Rangga.
Selama ini, Rangga berpikir bahwa ia mencintai Maura dan itu lebih dari cukup untuk melandasi sebuah pernikahan. Nyatanya, lebih dari itu. Ia membutuhkan Maura, wanita itu adalah istrinya, garwa d
‘Kursi roda,” gumam Rangga dalam hatinya.Rangga mengangkat pandangannya perlahan karena rasa penasaran dan cemas bercampur jadi satu. Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini, kala matanya melihat Maura duduk di atas kursi rodanya dengan wajah pucat. Warsih membantu mendorong kursi dari belakang.“Sayang,” sapa Rangga lirih.Bibir mungil itu dipaksa menyungging senyuman. “Hai,” balas Maura lemah.Warsih mendorong Maura sampai berdekatan dengan Rangga, lalu pergi tanpa menunggu perintah. Maura mengulurkan tangannya yang terlihat kecil seperti sumpit ke atas, meminta Rangga menjajarkan wajah mereka.“Maura,” panggil Rangga lagi sambil berlutut di depan Maura, dengan suara dalam dan serak. “Apa yang terjadi padamu?”“Dengarkan aku, tidak banyak waktu yang dokter berikan padaku.”Rangga tidak mengerti maksud ucapan Maura, tapi kepalanya meng
Berbagai jenis makanan tersaji di meja, tidak membuat tiga orang yang sedang duduk tenang tergugah untuk menyantapnya. Jelita, Rangga dan Yuki hanya duduk diam, larut dalam pikiran masing-masing.“Maaf, Rangga tidak nafsu makan. Rangga ke kamar dulu.”Yuki hanya mengiring kepergian paman dingin yang mulai menghangat itu melalui manik matanya.“Eyang,” lirihnya seraya menatap Jelita. “Aku mulai merindukannya.”Jelita merentangkan dua lengannya, mengundang Yuki masuk dalam pelukan hangatnya. “Eyang tahu. Kita harus membiarkan mereka saling berjauhan agar tidak ada lagi yang tersakiti.” Tangan Jelita terus mengusap punggung Yuki, naik turun.“Apa ini akan berhasil?” tanya Yuki seraya mengangkat wajahnya.Jelita tersenyum, mengusap kepala Yuki dan mencium dahinya. “Cah Ayu, kita hanya diminta berusaha. Hasilnya, kita serahkan pada Sang Pencipta. Kita dorong dengan doa. Ba
“Tidak, aku tidak bisa. Kak, to-long aku!” seru Maura panik sambil terus berusaha mengisi parunya dengan udara.“Maura, Maura! Dengar aku.” Suara Evan makin naik. “Tarik napas, kamu begini akan membahayakannya. Tarik napas, Maura!”Begitu mendengar bahaya yang akan mengancam, Maura meneguhkan hatinya, mencengkeram lengan Evan dan mulai mengembangkan parunya. Perlahan, sedikit demi sedikit, Maura mulai mengisi parunya.“Bagus! Inhale, exhale. Lagi, Ra. Good.” Evan terus memberi pujian dan merasakan cengkeraman di lengannya mulai mengendur.“Oke, bagus. Kamu bisa napas biasa sekarang. Tenangkan dirimu.” Evan membelai bahu Maura lembut. “Kamu bisa ceritakan padaku, kalau mau.”“Kak, aku merasa tidak akan bisa melakukan semua ini.” Maura tertunduk menyembunyikan kerinduannya.“Ra, lihat aku.” Evan menaikkan dagu Maura. “Apa yan
Puri Mangkunegaran, 23.00 WIBRangga duduk di kursi ukiran yang dua hari kemarin menjadi tempat tinggalnya. Matanya jauh menerawang ke gerbang puri yang tampak kecil di kejauhan. Sesekali, kepalanya mendongak menatap atap genting tanpa plafon dan mendesah.“Belum tidur?”Rangga enggan menjawab pertanyaan Jelita. Ia masih kesal dengan keputusan eyangnya yang memanggil Evan dan mengizinkan pria sialan itu membawa istrinya.“Belum tidur?” ulang Jelita.“Belum,” sahut Rangga malas.“Kenapa lemes begitu? Marah sama Eyang?”Rangga berpaling cepat menatap Jelita. “Apa masih perlu ditanyakan, Eyang? Sebenarnya Maura itu kenapa? Apa yang terjadi pada calon bayi kami, Eyang?” Rangga bergerak gusar di kursinya.“Kenapa harus Evan yang datang merawatnya? Apa gak ada dokter kandungan di Jogja, sampai harus mendatangkan dokter kandungan dari Jakarta? Dan kenapa harus Evan?!&rd
Rangga melompat ke atas ranjang dan memeriksa sendiri kondisi Yuki. Benar kata Jelita, bibir bawahnya sobek. “Yuki kenapa, Eyang?” “Sepertinya dia terjatuh dari ranjang. Warsih terbangun karena kaget mendengar suara berdebum seperti sesuatu jatuh di lantai. Saat turun dari ranjang, kakinya menyenggol kaki Yuki,” papar Jelita sambil membalik handuk basah di kening Yuki. “Kita bawa saja ke Rumah Sakit.” Rangga dengan sigap mengangkat tubuh Yuki dari ranjang dan bergegas keluar. “Man, Kirman!” Rangga berteriak lantang memanggil sopir kepercayaan Jelita sambil terus melangkah cepat menuju mobil yang terparkir rapi di teras depan. “Mana, sih?! Mbak, tolong panggil Kirman!” titah Rangga pada Warsih yang tergopoh-gopoh mengekorinya. “Tidak perlu. Eyang dan Warsih akan ikut ke Rumah Sakit, kamu yang bawa mobilnya.” Jelita bergegas masuk ke dalam mobil sebelum Rangga memasukkan Yuki ke kursi belakang diikuti Warsih. Karena masih terlalu pagi, j
“Ada apa?!” tanya Rangga panik seraya menyibak tirai.Jelita sedang menahan tubuh mungil Yuki agar tidak turun dari ranjang. Sedangkan Warsih, menahan lengan bocah itu sambil berusaha melepaskan botol infus dari tiang penyangga.“Kenapa dia, Mbak?”“Papa ... Papa ... Yuki mau ketemu Papa,” rengek Yuki dengan suara serak dan lemah.Mengertilah Rangga bahwa Yuki mengira Damian datang menjenguknya, yang sebenarnya adalah kesalahan yang tidak sengaja Rangga buat.“Yuki, dengar, itu Damian yang lain. Bukan ayahmu. Tenanglah.” Rangga berjalan mendekat dan meraih tubuh mungil itu dalam peluknya.“Kenapa semua yang Yuki sayangi pergi, Panda?”tanya gadis itu di sela isakannya.“Kau harus lebih dulu sembuh sebelum memikirkan hal itu. Aku janji, setelah kau keluar dari sini, aku akan membawa Bunda ke hadapanmu.”Yuki hanya mengangguk sebelum terkulai lemas dalam pekuk
“Awh! Sakit, Panda!”“Ups, sori.” Rangga terus berusaha membuat ekor kuda yang rapi setelah empat kali gagal. “Aku menyerah!” Rangga melempar sisir ke atas ranjang dan mengangkat tangannya.“Aku tidak ingin ke sekolah hari ini!” sungut Yuki kesal. Kepalanya berdenyut hampir di semua sisi setelah Rangga menyisir, mengikat dan menarik karetnya berulang kali. “Aku pusing, kepalaku berdenyut!” imbuhnya.“Oke. Memang sebaiknya kau tidak perlu berangkat sekolah hari ini.”Yuki memutar badannya dengan cepat. “Bunda melarangku bolos sekolah kecuali sakit atau ada hal mendesak. Dia akan marah kalau tahu aku bolos!”“Kalau kau berkeras ingin pergi sekolah dengan ekor kuda, maka aku tidak bisa menolongmu.” Rangga melirik arlojinya.“Sial! Aku hampir terlambat untuk rapat direksi pagi ini. Putuskan dalam setengah jam apa yang akan kau lakukan dan
Klik.Rangga menarik gagang pintu dan bergegas masuk ke kamar Yuki. Kosong.“Yuki?”Tidak ada jawaban.“Ke mana bocah itu?”Segera diambilnya ponsel dari saku kemeja. Rangga berniat mencari keberadaan Yuki pada orang terdekatnya. Matanya menangkap pesan dari Hanna yang memberitahu Rangga bahwa Yuki pergi ke sekolah bersama Hanna.“Syukurlah,” desah Rangga lega. “Ren, apa kau sudah turun ke lobi? Aku akan turun sekarang.”Dengan langkah lebar dan ringan, Rangga kembali ke dalam lift, turun ke lobi.“Satu tugas tersulit sudah terlewati hari ini,” gumam Rangga sambil menekan tombol lift.***Di dalam mobil van hitam, Yuki duduk tenang sambil menunggu ekor kudanya siap, mulutnya sibuk mengunyah roti lapis buatan Yuni.“Oke, selesai.” Hanna menyerahkan cermin kecil yang sengaja dipinjamnya dari Alina pagi ini. “Bagaimana?”