Dua menit berlalu, tapi tidak ada respon dari dalam. Rangga terus berteriak memanggil Maura dan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya. Dengan gerakan tergesa, Rangga menekan beberapa angka dan mulai bicara.
“Ren, suruh orang teknisi ke atas. Aku butuh mereka untuk membuka pintu rumahku!”
Tanpa menunggu jawaban atau pertanyaan Reno, Rangga memutus sambungan dan mengulang tindakannya.
“Maura! Jawab aku, Ra!”
Dug dug dug.
“Maura! Buka pintunya!”
Klik.
Pintu terbuka sedikit. Rangga melebarkan akses masuknya dengan cepat. Di depannya, Maura sedang setengah membungkuk memeluk perutnya dengan peluh membasahi dahinya.
“Kak, Yuki.”
Rangga mengangkat Maura dalam gendongan dan segera berbalik. Ia ingin membawa Maura ke Rumah Sakit, tapi Maura meremas bahunya.
“Yuki, pingsan. Ehh,” ucapnya diselingi rintihan.
“Reno sedang menuju kemari. Dia akan
Dua hari ini, Rangga sibuk mengurus Orion dan kasus terkait Damian dan Burhan. Ia nyaris tidak pernah tinggal lama di rumah, lebih banyak tinggal di kantor atau rumah Reno. Satu karena tidak ada Maura dan lainnya karena khawatir salah menjawab kecurigaan orang rumahnya. “Bang, ini titipan makanan dari Teh Yuni. Dan ini baju ganti yang diminta.” Reno mengulurkan dua buah kantong plastik ke hadapan Rangga. “Apa ada yang tanya tentangku?” tanya Rangga seraya menegakkan punggungnya. “Tidak. Mungkin karena kamu sudah memberitahu mereka akan tinggal di penthouse untuk sementara, jadi mereka tidak banyak bertanya.” Tubuh Rangga menyandar lemas ke sofa. “Baguslah,” ucapnya bertentangan dengan suasanya hatinya yang tidak bagus. “Apa Maura menghubungimu? Menanyakanku mungkin?” Reno menggeleng. “Dia bahkan tidak berkata sepatah kata pun saat aku mengantar Yuki sepulangnya dari Rumah Sakit. dia hanya sibuk memeluk dan menciumi Yuki.” Rang
[Engh, apa? Kenapa Maura pergi dari rumah, Bang?] Ponsel di tangan Rangga hampir meluncur lepas dari genggaman saat Hanna menembaknya tepat pada inti masalahnya. [Bang?] tanya Hanna dengan nada menyelidik. “Ma, Mama tahu dari mana kalau Maura pergi dari rumah?” [Tidak penting tahu dari mana. Jawab saja pertanyaan Mama, kenapa Maura pergi dari rumah?] ulang Hanna dengan nada lebih mendesak. Rangga tahu, Hanna bertanya bukan karena tidak tahu, tapi hanya untuk mendengar versi lain sebuah cerita atau masalah. Yang perlu dilakukannya sekarang adalah berkata jujur tanpa bermaksud membela diri. “Maura lihat Rangga bersikap kasar pada Anggi dan Damian beberapa hari lalu di kantor Orion. Maura kecewa dan bilang kalau dia lelah bersamaku. Lelah fisik dan mental.” Sebuah desahan lega lolos dari bibir Rangga. Bercerita pada mamanya selalu pilihan paling tepat untuk membagi bebannya, selalu. [Hal itu mungkin mengecewakannya, tapi tidak aka
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Mbak Warsih,” panggil Rangga begitu turun dari taksi dan melihat asisten rumah tangga yang sudah dikenalnya sejak kecil.“Den! Kok ndak telfon dulu? Mbak Warsih belum siapkan kamarnya, lho.” Wanita berbadan subur berbalut kebaya dan kain panjang itu terkejut dan merasa bersalah.“Rangga langsung berangkat tadi, gak sempat kasih kabar. Eyang ada, Mbak?”Rangga tidak sempat melihat perubahan mimik Warsih karena sibuk membayar ongkos taksi dan mengeluarkan tasnya. Saat berpaling menatap Warsih lagi karena tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya, Rangga mengernyit heran.“Mbak, Eyang ada?”“Maaf, Den. Mbak Warsih jadi ingat pesan Ndoro Putri kalau hari ini, Puri Mangkunegaran tidak menerima tamu. Maaf, Den.” Warsih setengah membungkuk memberi hormat dan hendak berbalik pergi.“Tunggu, Mbak.” Rangga mencekal lengan
Setelah membersihkan hampir setengah halaman yang penuh semak belukar dan tanaman rambat, mendobrak pintu rahasia yang sudah usang dimakan musim dengan penuh semangat, Rangga harus menelan kekecewaan. Pasalnya, di depannya berdiri tembok beton dua kali tinggi badannya berbentuk U yang artinya, Rangga masih tidak bisa menembus Puri Mangkunegaran lewat jalur rahasia miliknya.“Astaga ... sejak kapan kau berdiri di situ?!” geram Rangga kesal.“Sejak bulan lalu,” sahut Jelita dari balik punggung Rangga.Rangga tersentak kaget dan berbalik cepat menghadap Jelita. “Eyang!”“Aku sudah tahu kamu akan membuka kembali jalur rahasia milikmu.” Jelita maju satu langkah mendekati Rangga.“Sebelum aku menghadiri pernikahan Alina, ada seekor ulat piton yang cukup besar masuk ke dalam puri. Jadi, aku menyuruh Kirman membersihkan halaman belakang dan berakhir menemukan jalur rahasia milikmu. Saat itu, aku langsun
Dua hari berlalu, Rangga masih setia duduk di kursi ukiran kayu, menunggu pintu di depan rumah utama dan berharap pintu itu terbuka. Warsih dan Kirman bergantian mengantar makanan dan baju ganti untuk Rangga—yang tidak pernah disentuhnya, tanpa sepatah kata keluar dari mulut mereka.Cemas dan putus asa berhasil membuat mata Rangga terus terjaga tanpa istirahat selama dua hari. Matanya merah dan sembab, wajahnya kusut karena mengantuk, aura Ranggapati meredup. Hanya air segar yang diambil dari sumur belakang puri yang memberinya tenaga untuk bertahan.Hidup seperti mati, itu yang sekarang Rangga rasakan. Tubuhnya bergerak, tapi tidak bernyawa. Semua karena Maura, kekasih hati yang baru belakangan benar-benar ia sadari arti hadirnya dalam kehidupan Rangga.Selama ini, Rangga berpikir bahwa ia mencintai Maura dan itu lebih dari cukup untuk melandasi sebuah pernikahan. Nyatanya, lebih dari itu. Ia membutuhkan Maura, wanita itu adalah istrinya, garwa d
‘Kursi roda,” gumam Rangga dalam hatinya.Rangga mengangkat pandangannya perlahan karena rasa penasaran dan cemas bercampur jadi satu. Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini, kala matanya melihat Maura duduk di atas kursi rodanya dengan wajah pucat. Warsih membantu mendorong kursi dari belakang.“Sayang,” sapa Rangga lirih.Bibir mungil itu dipaksa menyungging senyuman. “Hai,” balas Maura lemah.Warsih mendorong Maura sampai berdekatan dengan Rangga, lalu pergi tanpa menunggu perintah. Maura mengulurkan tangannya yang terlihat kecil seperti sumpit ke atas, meminta Rangga menjajarkan wajah mereka.“Maura,” panggil Rangga lagi sambil berlutut di depan Maura, dengan suara dalam dan serak. “Apa yang terjadi padamu?”“Dengarkan aku, tidak banyak waktu yang dokter berikan padaku.”Rangga tidak mengerti maksud ucapan Maura, tapi kepalanya meng
Berbagai jenis makanan tersaji di meja, tidak membuat tiga orang yang sedang duduk tenang tergugah untuk menyantapnya. Jelita, Rangga dan Yuki hanya duduk diam, larut dalam pikiran masing-masing.“Maaf, Rangga tidak nafsu makan. Rangga ke kamar dulu.”Yuki hanya mengiring kepergian paman dingin yang mulai menghangat itu melalui manik matanya.“Eyang,” lirihnya seraya menatap Jelita. “Aku mulai merindukannya.”Jelita merentangkan dua lengannya, mengundang Yuki masuk dalam pelukan hangatnya. “Eyang tahu. Kita harus membiarkan mereka saling berjauhan agar tidak ada lagi yang tersakiti.” Tangan Jelita terus mengusap punggung Yuki, naik turun.“Apa ini akan berhasil?” tanya Yuki seraya mengangkat wajahnya.Jelita tersenyum, mengusap kepala Yuki dan mencium dahinya. “Cah Ayu, kita hanya diminta berusaha. Hasilnya, kita serahkan pada Sang Pencipta. Kita dorong dengan doa. Ba
“Tidak, aku tidak bisa. Kak, to-long aku!” seru Maura panik sambil terus berusaha mengisi parunya dengan udara.“Maura, Maura! Dengar aku.” Suara Evan makin naik. “Tarik napas, kamu begini akan membahayakannya. Tarik napas, Maura!”Begitu mendengar bahaya yang akan mengancam, Maura meneguhkan hatinya, mencengkeram lengan Evan dan mulai mengembangkan parunya. Perlahan, sedikit demi sedikit, Maura mulai mengisi parunya.“Bagus! Inhale, exhale. Lagi, Ra. Good.” Evan terus memberi pujian dan merasakan cengkeraman di lengannya mulai mengendur.“Oke, bagus. Kamu bisa napas biasa sekarang. Tenangkan dirimu.” Evan membelai bahu Maura lembut. “Kamu bisa ceritakan padaku, kalau mau.”“Kak, aku merasa tidak akan bisa melakukan semua ini.” Maura tertunduk menyembunyikan kerinduannya.“Ra, lihat aku.” Evan menaikkan dagu Maura. “Apa yan