Seperti biasa, setiap pagi Deva selalu pergi ke rumah gurunya untuk belajar ilmu bela diri. Baginya ilmu bela diri adalah segalanya, terlebih ayahnya adalah seorang raja yang terkenal hebat dan pemberani, Deva terinspirasi dari ayahnya itu. "Apa kau tidak mau mencari pasangan hidup, Anakku? Sudah cukup lama kau berguru kepadaku, tapi tidak pernah aku melihat kau mengajak seorang wanita satu pun kecuali ibumu,” kata Sang Guru kepada Deva sambil mengajarinya ilmu bela diri. Sang Guru sudah tahu jika watak Sang Putra Mahkota itu cukup keras dan tak mudah meluluhkannya. Bahkan sering sekali ia mengajak Deva untuk menemukan wanita idamannya, namun Deva selalu menolak. "Guru, apa kau tahu jika wanita itu membosankan bagiku? Itu sebabnya aku tidak mau mencari pasangan hidup. Aku sudah nyaman bersama satu wanita saja sejak aku lahir yaitu ibuku, hanya dia satu-satunya wanita yang tidak membosankan bagiku, Guru," jawab Deva dengan wajah yang lelah.
"Guru! aku datang ke sini untuk membawakan Deva segelas air, aku tahu dia pasti sangat lelah berlatih seharian," ujar seorang gadis penjual bunga yang mendatangi Deva dan gurunya saat berlatih. "Terimakasih, akan kuberikan air ini untuknya, kau lanjut saja melakukan aktivitasmu,” jawab Sang Guru sambil mengambil segelas air dari tangan sang gadis itu. Gadis itu pun pergi dengan senyuman yang lebar. "Lihatlah! Nak! bahkan seorang gadis penjual bunga pun rela jauh-jauh kemari hanya untuk memberikanmu air minum, apa kau tidak bisa merubah pikiranmu itu?" tanya Sang Guru kepada Deva. "Terimakasih, Guru. Tapi kau tahu banyak wanita yang seperti itu kepadaku, tapi aku tetap tidak bisa merubah pikiranku," jawab Deva sambil meneguk air yang diberikan gadis si penjual bunga itu.
Setelah Deva selesai berlatih, kemudian dia pergi ke sebuah kuil untuk berdoa. Dia rutin ke kuil itu setiap selesai berlatih di rumah gurunya, terlihat banyak gadis yang sedang menunggunya di sana, seakan-akan mereka tahu jika Deva akan datang ke kuil saat itu. "Lihatlah! Putera Mahkota itu semakin terlihat tampan ketika ia menyembah Tuhan," kata salah satu gadis berambut panjang sambil menunjuk ke arah Deva yang sedang berdoa.
"Hay! Kalian para gadis! Berhentilah menggodanya, kalian datang ke mari untuk berdoa bukan untuk memuji seorang pria," kata seorang laki-laki tua yang menegur para gadis yang sedang menatap Deva saat berdoa. Para gadis itu pun langsung menunduk dan ikut berdoa bersama di dalam kuil itu . Namun tidak berhenti sampai di situ, selesai berdoa para gadis masih mengikuti kemana Deva pergi, Deva yang merasa risih diikuti para gadis langsug menegur mereka "Aku tidak ingin membuat kalian sedih, jadi pergilah ke rumah kalian atau aku akan memanggil pengawal?" ujar Deva dengan nada pelan. Para gadis pun langsung takut dan mulai pergi menjauhi Deva, meski sudah ditegur dengan cara seperti itu, para gadis masih tetap mengikuti kemana Deva pergi.
Sepertinya para gadis tidak pernah bosan menunggu Deva di kuil itu, mereka sudah jatuh cinta dengan paras sempurna yang dimiliki Deva. Tapi semua itu tidak membuat hati Deva luluh, dirinya tetap menganggap jika wanita itu membosankan, ia masih tidak ingin mencari gadis impiannya meskipun banyak gadis-gadis cantik yang selalu mengharapkan dirinya. "Benar kan, wanita itu membosankan, mereka memang tidak bosan selalu menungguku, tapi aku yang bosan melihatnya," kata Deva. Selepas dari kuil, Deva sampai di istananya dan langsung menghampiri ayahnya.
"Ayah, mengapa ibu bisa meluluhkan hatimu yang keras?" tanya Deva kepada Carolus, ayahnya.
"Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa selama ini belum ada wanita yang bisa meluluhkan hatimu?" jawab Carolus.
"Tidak ada, dan aku tidak berpikir untuk mencarinya," kata Deva.
"Ibumu adalah wanita hebat, ia bisa meluluhkan hatiku yang keras seperti katamu, karena ia sangat sabar menghadapi sikap ayah. Ibumu selalu membuatku tenang ketika ada masalah, dan hanya ibumu lah satu-satunya hal yang paling ayah cari ketika hati ini tidak baik-baik saja, karena hanya melihat wajahnya saja hatiku bisa kembali tenang," jawab Carolus kepada Deva.
"Aku akan merasa bahagia jika suatu saat aku bisa bertemu dengan sosok wanita yang sama seperti ibu," ujar Deva.
Setelah perbincangan itu, Deva merasa jika tidak semua wanita itu membosankan, benar saja apa yang dikatakan Carolus kepadanya. Deva memimpikan seorang wanita yang persis seperti ibunya, ia ingin seperti ayahnya yang punya surga ketika ia sedang tidak baik-baik saja, dan Deva sama sekali tidak ingin kehilangan ibunya. Kehilangan ibunya, sama seperti kehilangan surga yang sudah menemaninya dari kecil.
Singkat cerita, Deva kembali ke gurunya untuk berlatih dan menceritakan isi hatinya kepada Sang Guru. " Saat ini aku berharap besar ketika aku tidak baik-baik saja, ibu masih ada untuk menemaniku Guru," kata Deva kepada Sang Guru.
"Apa yang akan kau lakukan, jika ibumu sudah tidak ada ketika kau sedang tidak baik-baik saja?” tanya Sang Guru kepada Deva.
"Pertanyaan yang berat Guru, aku tidak bisa melakukan apa-apa," jawab Deva.
"Salah! Yang harus kau lakukan adalah mencari pendamping hidupmu sebelum ibumu tiada. Karena jika nanti ibumu sudah tidak ada, masih ada pendampingmu yang akan menemanimu ketika kau sedang tidak baik-baik saja," kata Sang Guru kepada Deva. Rupanya saran dari Sang Guru itu sama dengan apa yang dipikirkan Deva.
"Sudahlah, kau jangan pikirkan itu dulu, takdir seseorang sudah ada yang mengatur, intinya saat ini ibumu masih ada untukmu, jangan sia-siakan itu Deva," sambung Sang Guru kepada Deva.
"Iya Guru, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu ini yang masih bersama ibuku," jawab Deva.
Setelah mendengar perkataan dari gurunya itu, Deva selalu berpikir jika kehadiran wanita itu sangat penting, terlebih jika wanita itu benar-benar terbaik dimilikinya. Ia selalu berharap akan memiliki satu surga nantinya setelah ibunya, ia ingin ada sosok wanita yang bisa menemaninya dan merawatnya seperti ibunya itu. "Sudahlah, benar apa yang dikatakan oleh Sang Guru, takdir seseorang sudah ada yang mengatur. Aku hanya bisa berharap ibuku masih setia ada untukku sampai aku menemukan pasangan hidupku dan menunjukkan pada ibu, betapa bahagianya dia nanti," ujar Deva dalam hati.
Sang Guru selalu mendukung dan memberikan yang terbaik untuk apapun keputusan Deva, ia selalu memberikan saran yang terbaik untuk muridnya itu. Deva pun selalu merasa jika gurunya itu adalah hal yang istimewa yang ia punya setelah orang tuanya, karena apapun isi hatinya, selalu ia ceritakan kepada gurunya itu dan tidak ragu lagi untuk meminta saran terbaik dari gurunya.
Saat sampai di istana, Deva merasa sangat bahagia masih melihat ibunya. "Terima kasih Tuhan, hari ini aku masih bisa melihat senyum ibuku, aku akan selalu mengingat senyum itu," ujar Deva dalam hati dan langsung menghampiri ibunya. "Ibu! Hari ini banyak sekali gadis yang mengikuti hari-hariku," ujar Deva kepada Doerthe, ibunya, yang tengah membersihkan keringat anaknya yang lelah setelah berlatih. "Biarkan gadis-gadis itu mengikutimu, Nak. Intinya kau tidak melukai mereka dan jangan merendahkan mereka," jawab Doerthe menenangkan anaknya. Doerthe adalah wanita terbaik yang dimiliki Deva, sering sekali Deva membanggakan ibunya itu di depan semua orang, karena kasih sayang yang diberikan Doerthe yang begitu besar sehingga Deva enggan untuk menanggapi gadis-gadis di luar sana.
Saat kembali ke istana, Deva dikagetkan Sang Guru yang memanggilnya dari jauh, "Deva!" teriak Sang Guru dari jauh sambil berlari dengan cepat. "Ada apa Guru? Kenapa kau terburu-buru seperti itu?” tanya Deva dengan penasaran sambil menenangkan Sang Guru yang kelelahan. "Ayo! Kita ke istana! Ibumu! Ibumu dalam bahaya!" jawab Sang Guru. "Ibu? Kenapa dia?" tanya Deva dengan nada khawatir. "Aku mendapat kabar dari ayahmu, jika ada penyerangan dari Kerajaan Edayon dan salah satu Prajurit Edayon melukai ibumu, saat ini kondisinya sangat kritis! Ayo! Cepat!" jawabSang Guru tegas. Mendengar ucapan itu, Deva langsung bergegas pergi ke istana denga
"Aku benci Edayon! Karenanya aku kehilangan surgaku! Karenanya aku kehilangan ibuku!" gertak Deva. Ia sangat membenci Kerajaan Edayon yang telah merenggut nyawa Doerthe, ibunya. Deva juga sangat ingin bisa membalaskan dendamnya kepada Kerajaan Edayon. Kerajaan Edayon adalah salah satu kerajaan besar yang memiliki konflik terhadap Kerajaan Throne yang dipimpin oleh Carolus. Dua kerajaan ini memang sudah berselisih sejak Deva belum dilahirkan, tapi sampai saat ini, ia masih belum tahu apa penyebab terjadinya konflik diantara dua kerajaan ini. Deva hanya tahu jika Kerajaan Edayon sudah merenggut nyawa ibunya. "Deva!” kata Carolus memanggil anaknya itu. " Iya Ayah, ada apa kau memanggilku?" tanya Deva.
Singkat cerita, pagi hari pun tiba. Deva terbangun menatap mata hari yang selalu setia menyinari dunianya. "Hari ini, semoga aku bertemu dengan gadis itu lagi," kata Deva. Gadis itu kini menjadi harapannya di pagi hari, Deva tidak ingin melepaskan gadis itu lagi jika ia menemuinya. "Ayah, hari ini aku akan pergi ke rumah guruku lebih awal," kata Deva kapada Carolus. "Aku tahu maksudmu itu, kau ingin mencari gadis yang kau temui kemarin itu bukan?" tanya Carolus. "Kau sudah tahu, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi Ayah," jawab Deva. Deva pun akhirnya pergi ke luar istana untuk menemui gurunya dan mencari gadis itu. Di sepanjang perjalanan, mata Deva tidak pernah berhenti mencari sosok gadis yang ia temui kemarin itu, namun ia tak kunjung menemukannya.
Deva kembali pergi untuk mencari gadis itu, ia masih berharap besar hari ini bisa bertemu kembali dengan gadis misterius yang ia temui. "Aku harap kau datang hari ini, aku harap aku bisa menemuimu lagi," ujar Deva. Ia kembali menyusuri sepanjang jalan sambil meyakinkan diri jika gadis itu akan datang. "Mungkin saja dia akan kembali ke jalan ini lagi, aku akan menunggunya di sini saja," kata Deva sambil meneguk air yang ia bawa dari istana. Deva pun menunggu kedatangan gadis itu sambil duduk di bawah pohon, ia merasa sangat lapar dan kelelahan saat itu. "Aku lupa membawa bekal makanan kemari, padahal aku sudah sangat lapar," ucap Deva. Tanpa disadari, ia pun tertidur di bawah pohon itu, ia juga terlihat begitu pucat karena menahan rasa lapar seharian.
Deva kembali bertemu dengan Georgia saat ia sedang berada di kuil. Ia pun langsung menghampiri dan menyapa gadis pujaannya itu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Deva kepada Georgia. “Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Masih melakukan sayembara untuk mencariku?” ujar Georgia mengejek Deva. “Ah! Aku sudah menemukanmu, untuk apa lagi sayembara itu,” jawab Deva membalas ejekan itu. “Siapa namamu? Kau lupa memberitahuku kemarin,” tanya Georgia. “Deva, namaku Deva. Dan kenapa kau tidak menanyakan namaku kemarin?” ujar Deva. “Seharusnya kau yang harus memberitahu namamu sendiri,” jawab Georgia. “Lupakan saja, hari ini
“Georgia, mengapa kau begitu indah di mataku?” ujar Deva saat ia mengingat pertemuannya dengan Georgia. Ia selalu ingin menghabiskan waktu bersama gadis pujaannya itu. Deva kembali pergi ke rumah Sang Guru, untuk menceritakan pertemuannya dengan Georgia. Di perjalanan, ia hanya mengingat sosok Georgia. Sorot matanya, senyumnya, dan caranya memperlakukan Deva, masih teringat jelas di benak Deva saat itu. Sesampainya Deva di rumah Sang Guru, ia langsung menceritakan pertemuannya itu kepada gurunya. “Guru, apa kau tahu? Aku sudah menemukan pujaan hatiku,” ujar Deva bahagia. “Jadi kau sudah bertemu dengan gadis yang kau cari itu?” tanya Sang Guru. “Iya Guru, aku sudah bertemu dengannya. Dan apa kau tahu? Dia sangat cantik, begitu angg
Setelah perbincangannya dengan Sang Guru dan Carolus, Deva kemudian pergi ke kuil untuk berdoa. Ia juga masih merasa penasaran dengan orang yang dimaksud sebagai mata-mata dari Kerajaan Edayon. Sesampainya Deva di kuil, ia lanjut berdoa dan tak lupa memberikan sekantong makanan untuk burung merpati. “Deva, bagaimana kabarmu?” tanya laki-laki tua yang pernah menegur para gadis di kuil itu. “Aku baik-baik saja,” jawab Deva sambil memberikan makanan untuk burung merpati. Laki-laki tua itu pun tersenyum kepada Deva dan langsung masuk ke dalam kuil. Hari ini, hanya laki-laki tua itu saja yang menyapanya di kuil, tidak terlihat satu pun para gadis yang menyapanya di sana. “Boleh aku membantumu, Putera Mahkota