Sang Mentari kembali memancarkan sinarnya, dan tiba saatnya Deva, Sang Guru dan juga para pengawal pergi ke Kerajaan Edayon. Semua sudah dipersiapkan dengan matang, baju, serta perlengkapan menyamar lainnya juga sudah dipersiapkan. Di tengah perjalanan, Deva masih sempat memikirkan Georgia. Apa yang terjadi dengan Georgia nanti dan apa keputusan yang akan ia ambil jika benar Georgia adalah warga Edayon? Itulah yang dipikirkan Deva sepanjang perjalanan.
“Guru, berapa lama kita berada di Edayon?” tanya Deva kepada Sang Guru“Aku belum bisa memastikannya, Deva. Kita akan kembali ke istana ketika sudah mendapat kebenaran,” jawab Sang Guru.“Guru, jika Georgia benar warga Kerajaan Edayon, apa yang akan kita lakukan?“ ujar Deva.“Biar ayahmu yang memutuskan itu, Nak. Aku tidak berhak membuat keputusan untuk seseorang,” sahut Sang Guru.Deva hanya terdiam saja setelah mendengar ucapan dari Sang Guru itu. ISeperti biasa, setiap pagi Deva selalu pergi ke rumah gurunya untuk belajar ilmu bela diri. Baginya ilmu bela diri adalah segalanya, terlebih ayahnya adalah seorang raja yang terkenal hebat dan pemberani, Deva terinspirasi dari ayahnya itu. "Apa kau tidak mau mencari pasangan hidup, Anakku? Sudah cukup lama kau berguru kepadaku, tapi tidak pernah aku melihat kau mengajak seorang wanita satu pun kecuali ibumu,” kata Sang Guru kepada Deva sambil mengajarinya ilmu bela diri. Sang Guru sudah tahu jika watak Sang Putra Mahkota itu cukup keras dan tak mudah meluluhkannya. Bahkan sering sekali ia mengajak Deva untuk menemukan wanita idamannya, namun Deva selalu menolak. "Guru, apa kau tahu jika wanita itu membosankan bagiku? Itu sebabnya aku tidak mau mencari pasangan hidup. Aku sudah nyaman bersama satu wanita saja sejak aku lahir yaitu ibuku, hanya dia satu-satunya wanita yang tidak membosankan bagiku, Guru," jawab Deva dengan wajah yang lelah.
Saat sampai di istana, Deva merasa sangat bahagia masih melihat ibunya. "Terima kasih Tuhan, hari ini aku masih bisa melihat senyum ibuku, aku akan selalu mengingat senyum itu," ujar Deva dalam hati dan langsung menghampiri ibunya. "Ibu! Hari ini banyak sekali gadis yang mengikuti hari-hariku," ujar Deva kepada Doerthe, ibunya, yang tengah membersihkan keringat anaknya yang lelah setelah berlatih. "Biarkan gadis-gadis itu mengikutimu, Nak. Intinya kau tidak melukai mereka dan jangan merendahkan mereka," jawab Doerthe menenangkan anaknya. Doerthe adalah wanita terbaik yang dimiliki Deva, sering sekali Deva membanggakan ibunya itu di depan semua orang, karena kasih sayang yang diberikan Doerthe yang begitu besar sehingga Deva enggan untuk menanggapi gadis-gadis di luar sana.
Saat kembali ke istana, Deva dikagetkan Sang Guru yang memanggilnya dari jauh, "Deva!" teriak Sang Guru dari jauh sambil berlari dengan cepat. "Ada apa Guru? Kenapa kau terburu-buru seperti itu?” tanya Deva dengan penasaran sambil menenangkan Sang Guru yang kelelahan. "Ayo! Kita ke istana! Ibumu! Ibumu dalam bahaya!" jawab Sang Guru. "Ibu? Kenapa dia?" tanya Deva dengan nada khawatir. "Aku mendapat kabar dari ayahmu, jika ada penyerangan dari Kerajaan Edayon dan salah satu Prajurit Edayon melukai ibumu, saat ini kondisinya sangat kritis! Ayo! Cepat!" jawabSang Guru tegas. Mendengar ucapan itu, Deva langsung bergegas pergi ke istana denga
"Aku benci Edayon! Karenanya aku kehilangan surgaku! Karenanya aku kehilangan ibuku!" gertak Deva. Ia sangat membenci Kerajaan Edayon yang telah merenggut nyawa Doerthe, ibunya. Deva juga sangat ingin bisa membalaskan dendamnya kepada Kerajaan Edayon. Kerajaan Edayon adalah salah satu kerajaan besar yang memiliki konflik terhadap Kerajaan Throne yang dipimpin oleh Carolus. Dua kerajaan ini memang sudah berselisih sejak Deva belum dilahirkan, tapi sampai saat ini, ia masih belum tahu apa penyebab terjadinya konflik diantara dua kerajaan ini. Deva hanya tahu jika Kerajaan Edayon sudah merenggut nyawa ibunya. "Deva!” kata Carolus memanggil anaknya itu. " Iya Ayah, ada apa kau memanggilku?" tanya Deva.
Singkat cerita, pagi hari pun tiba. Deva terbangun menatap mata hari yang selalu setia menyinari dunianya. "Hari ini, semoga aku bertemu dengan gadis itu lagi," kata Deva. Gadis itu kini menjadi harapannya di pagi hari, Deva tidak ingin melepaskan gadis itu lagi jika ia menemuinya. "Ayah, hari ini aku akan pergi ke rumah guruku lebih awal," kata Deva kapada Carolus. "Aku tahu maksudmu itu, kau ingin mencari gadis yang kau temui kemarin itu bukan?" tanya Carolus. "Kau sudah tahu, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi Ayah," jawab Deva. Deva pun akhirnya pergi ke luar istana untuk menemui gurunya dan mencari gadis itu. Di sepanjang perjalanan, mata Deva tidak pernah berhenti mencari sosok gadis yang ia temui kemarin itu, namun ia tak kunjung menemukannya.
Deva kembali pergi untuk mencari gadis itu, ia masih berharap besar hari ini bisa bertemu kembali dengan gadis misterius yang ia temui. "Aku harap kau datang hari ini, aku harap aku bisa menemuimu lagi," ujar Deva. Ia kembali menyusuri sepanjang jalan sambil meyakinkan diri jika gadis itu akan datang. "Mungkin saja dia akan kembali ke jalan ini lagi, aku akan menunggunya di sini saja," kata Deva sambil meneguk air yang ia bawa dari istana. Deva pun menunggu kedatangan gadis itu sambil duduk di bawah pohon, ia merasa sangat lapar dan kelelahan saat itu. "Aku lupa membawa bekal makanan kemari, padahal aku sudah sangat lapar," ucap Deva. Tanpa disadari, ia pun tertidur di bawah pohon itu, ia juga terlihat begitu pucat karena menahan rasa lapar seharian.
Deva kembali bertemu dengan Georgia saat ia sedang berada di kuil. Ia pun langsung menghampiri dan menyapa gadis pujaannya itu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Deva kepada Georgia. “Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Masih melakukan sayembara untuk mencariku?” ujar Georgia mengejek Deva. “Ah! Aku sudah menemukanmu, untuk apa lagi sayembara itu,” jawab Deva membalas ejekan itu. “Siapa namamu? Kau lupa memberitahuku kemarin,” tanya Georgia. “Deva, namaku Deva. Dan kenapa kau tidak menanyakan namaku kemarin?” ujar Deva. “Seharusnya kau yang harus memberitahu namamu sendiri,” jawab Georgia. “Lupakan saja, hari ini
“Georgia, mengapa kau begitu indah di mataku?” ujar Deva saat ia mengingat pertemuannya dengan Georgia. Ia selalu ingin menghabiskan waktu bersama gadis pujaannya itu. Deva kembali pergi ke rumah Sang Guru, untuk menceritakan pertemuannya dengan Georgia. Di perjalanan, ia hanya mengingat sosok Georgia. Sorot matanya, senyumnya, dan caranya memperlakukan Deva, masih teringat jelas di benak Deva saat itu. Sesampainya Deva di rumah Sang Guru, ia langsung menceritakan pertemuannya itu kepada gurunya. “Guru, apa kau tahu? Aku sudah menemukan pujaan hatiku,” ujar Deva bahagia. “Jadi kau sudah bertemu dengan gadis yang kau cari itu?” tanya Sang Guru. “Iya Guru, aku sudah bertemu dengannya. Dan apa kau tahu? Dia sangat cantik, begitu angg