Saat kembali ke istana, Deva dikagetkan Sang Guru yang memanggilnya dari jauh, "Deva!" teriak Sang Guru dari jauh sambil berlari dengan cepat.
"Ada apa Guru? Kenapa kau terburu-buru seperti itu?” tanya Deva dengan penasaran sambil menenangkan Sang Guru yang kelelahan.
"Ayo! Kita ke istana! Ibumu! Ibumu dalam bahaya!" jawab Sang Guru.
"Ibu? Kenapa dia?" tanya Deva dengan nada khawatir.
"Aku mendapat kabar dari ayahmu, jika ada penyerangan dari Kerajaan Edayon dan salah satu Prajurit Edayon melukai ibumu, saat ini kondisinya sangat kritis! Ayo! Cepat!" jawab Sang Guru tegas.
Mendengar ucapan itu, Deva langsung bergegas pergi ke istana dengan wajah penuh amarah dan khawatir.
"Ibu!" teriak Deva memanggil ibunya. Suasana di istana sudah sepi, para Prajurit dari Kerajaan Edayon itu sudah tidak ada lagi, Deva terlambat. "Siapapun kau yang telah melukai ibuku! Ayo berdiri di hadapanku! Ayolah!" kata Deva dengan penuh amarah. Deva melihat Carolus, yang sedang menangis di depan pintu istana. Deva menghampiri ayahnya itu dan betapa terkejutnya ia saat melihat kondisi ibunya yang sudah terluka parah tertusuk panah. "Ibu!" Deva berteriak sangat keras hingga membuat semua orang datang mengerumuninya.
"Ayah, ibu kenapa? Ibu baik-baik saja, Ayah?" tanya Deva kepada Carolus.
"Deva! Kau terlambat! Kenapa kau terlambat? Aku sudah menyuruh salah satu Pengawal untuk memberitahumu bahwa kerajaan kita diserang, tapi kenapa kau baru datang?" tanya Carolus dengan nada tegas.
"Ayah, sama sekali tidak ada Pengawal yang datang memberitahuku, hanya ada Pengawal yang mengikutiku dari pagi saja! Dan yang memberitahuku hanyalah guruku tidak ada yang lain Ayah!" jawab Deva.
Ternyata Pengawal suruhan Carolus itu sudah lebih dulu dibunuh oleh prajurit Kerajaan Edayon sebelum ia sampai di istana.
"Sekarang kau lihat, ibumu sudah tidak bernyawa!" kata Carolus sambil menunjuk ke arah Doerthe yang sudah lemas tak berdaya.
Mendengar ucapan sang ayah, Deva terpaku dan langsung memeluk jasad sang ibu. "Tidak mungkin! Ibuku tidak mungkin pergi! Aku belum memberikannya sebuah hadiah saat ia ulang tahun! Ibuku masih ada!" teriak Deva dengan sangat kencang sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Tangisnya pun pecah seakan dirinya tidak percaya jika ibunya sudah tidak ada. Doerthe meninggal saat ia terkena sasaran panah dari salah satu Prajurit Edayon. Kejadian yang dialami Doerthe hampir sama dengan apa yang dialami Deva saat ia terkena sasaran panah di kuil, bedanya, Deva hanya terkena satu anak panah dan bisa diselamatkan, sedangkan Doerthe terkena 4 kali tusukan anak panah yang membuatnya tidak bisa bertahan.
Carolus dan Deva sangat marah dengan penyerangan yang dilakukan Kerajaan Edayon, ditambah mereka kehilangan Doerthe, wanita yang paling mereka cintai. Mereka memiliki dendam yang cukup besar terhadap Edayon, mereka tidak akan membiarkan satu pun orang-orang yang tinggal di Edayon selamat.
Kepergian istrinya itu membuat Carolus sangat-sangat terpukul, tidak ada lagi yang ia cari untuk menenangkan hatinya saat gelisah, tidak ada lagi yang menyemangatinya saat ia sedang tidak baik-baik saja. "Maafkan aku sayang, aku adalah suami yang tidak baik untukmu, aku tidak bisa melindungimu, maafkan aku Doerthe, maafkan aku," ujar Carolus sambil terisak-isak menangisi kepergian istri yang paling ia cintai itu.
Deva pun juga sangat terpukul dengan kepergian sang ibu, ibunya pergi ketika ia belum sempat mengabulkan permintaannya yang meminta Deva segera mendapatkan gadis impiannya. Deva tak menyangka ternyata permintaan itu adalah permintaan terakhir dari sang ibu. "Apa ini! Aku bukan anak yang baik! Aku tidak berguna! Maafkan aku Ibu, maafkan aku," kata Deva dengan meluapkan semua emosinya dan tak henti-hentinya ia menangisi ibunya.
"Ini akan menjadi hari-hari terburukku setelah ibu pergi," ujar Deva dalam hati. "Aku benci dia yang telah membunuh ibuku! Suatu saat akan aku pastikan mereka tidak akan selamat!" Deva sangat menyimpan dendam terhadap Edayon, ia berjanji tidak akan memberikan tatapan peduli terhadap kerajaan itu.
Deva pergi ke kuil ke tempat ia biasa berdoa dan memberikan makanan untuk burung merpati. Hari ini dia merasa beda, karena tidak ada lagi wanita yang ia salami sebelum pergi, kini ia sudah sadar jika kehadiran seorang wanita itu penting dan tidak bisa tergantikan oleh siapapun.
"Putera Mahkota, tersenyumlah!" kata para gadis yang sudah menunggunya di kuil sambil menunjukkan senyum yang lebar kepada Deva.
"Terimakasih! Senyum kalian menjadi semangatku hari ini!" ujar Deva semangat dan penuh senyum.
Mendengar jawaban dari Deva itu, para gadis seakan tidak percaya, karena sebelumnya Deva tak pernah mau menanggapi apapun dari para gadis yang setiap hari selalu memberinya semangat.
Setelah dari kuil, ia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang pernah menegur para gadis untuk tidak menggoda Deva lagi.
"Hai! Nak! Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah merelakan kepergian ibumu?" tanya laki-laki itu dengan sopan.
"Aku baik-baik saja, merelakan? Itu tidak mudah bagiku, ibuku adalah wanita terbaik yang aku punya seumur hidupku dan aku kehilangannya," jawab Deva tenang.
"Kau harus tahu Nak, bahwa kehadiran seorang wanita itu sangat penting, jika tidak ada seorang wanita tidak mungkin kita terlahir di dunia ini," ujar laki-laki tua itu.
"Tapi, yang membuatku lebih sakit hati adalah, aku belum memberikan hadiah saat ibuku ulang tahun, bahkan permintaannya pun belum aku sanggupi hingga detik ini," jawab Deva sedih.
"Ayolah! semasih kau bernafas, sanggupi permintaan ibumu itu, jika kau berniat untuk menebus kesalahanmu pada ibumu, Tuhan pasti akan menyertaimu" kata laki-laki itu sambil melangkahkan kakinya ke dalam kuil.
Setelah laki-laki itu pergi, baru Deva sadari jika apa yang dikatakan laki-laki itu benar, Deva akan menyanggupi permintaan ibunya yang terakhir itu meskipun Doerthe sudah tidak ada di sisinya lagi.
"Ayah! Ajari aku menemukan seorang wanita," ujar Deva kepada Carolus.
Mendengar pertanyaan anaknya itu, Carolus terkejut, merasa heran dengan anaknya yang tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Kenapa kau menanyakan itu? Bukankah kau sendiri yang bilang jika tidak mau menanggapi wanita selain ibumu," tanya Carolus.
"Itu dulu Ayah, aku menyesal tidak menyanggupi permintaan ibu sebelum ia meninggal dunia. Ibu memintaku untuk segera menemukan gadis impianku, dan aku akan menyanggupinya sekarang, Ayah. Tolong ajari aku," ujar Deva kepada ayahnya.
"Kau tidak perlu belajar untuk mendapatkan seorang gadis Deva. Kau hanya perlu meyakinkan dirimu sendiri, karena kau tidak harus berhasil menemukannya saja, tapi kau harus siap mencintai dan bertanggung jawab atas gadis itu," jawab Carolus memperjelas.
Mendengar jawaban sang ayah, Deva langsung berpikir bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan gadis impiannya. Karena selama ini gadis-gadis yang ia temui tidak ada satu pun yang berhasil membuatnya jatuh cinta termasuk para gadis yang sering menunggunya di kuil. Deva semakin memikirkan hal itu, ia sangat ingin mengabulkan permintaan sang ibu meskipun ia sudah tiada sebelum Deva mengabulkan permintaannya.
"Aku benci Edayon! Karenanya aku kehilangan surgaku! Karenanya aku kehilangan ibuku!" gertak Deva. Ia sangat membenci Kerajaan Edayon yang telah merenggut nyawa Doerthe, ibunya. Deva juga sangat ingin bisa membalaskan dendamnya kepada Kerajaan Edayon. Kerajaan Edayon adalah salah satu kerajaan besar yang memiliki konflik terhadap Kerajaan Throne yang dipimpin oleh Carolus. Dua kerajaan ini memang sudah berselisih sejak Deva belum dilahirkan, tapi sampai saat ini, ia masih belum tahu apa penyebab terjadinya konflik diantara dua kerajaan ini. Deva hanya tahu jika Kerajaan Edayon sudah merenggut nyawa ibunya. "Deva!” kata Carolus memanggil anaknya itu. " Iya Ayah, ada apa kau memanggilku?" tanya Deva.
Singkat cerita, pagi hari pun tiba. Deva terbangun menatap mata hari yang selalu setia menyinari dunianya. "Hari ini, semoga aku bertemu dengan gadis itu lagi," kata Deva. Gadis itu kini menjadi harapannya di pagi hari, Deva tidak ingin melepaskan gadis itu lagi jika ia menemuinya. "Ayah, hari ini aku akan pergi ke rumah guruku lebih awal," kata Deva kapada Carolus. "Aku tahu maksudmu itu, kau ingin mencari gadis yang kau temui kemarin itu bukan?" tanya Carolus. "Kau sudah tahu, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi Ayah," jawab Deva. Deva pun akhirnya pergi ke luar istana untuk menemui gurunya dan mencari gadis itu. Di sepanjang perjalanan, mata Deva tidak pernah berhenti mencari sosok gadis yang ia temui kemarin itu, namun ia tak kunjung menemukannya.
Deva kembali pergi untuk mencari gadis itu, ia masih berharap besar hari ini bisa bertemu kembali dengan gadis misterius yang ia temui. "Aku harap kau datang hari ini, aku harap aku bisa menemuimu lagi," ujar Deva. Ia kembali menyusuri sepanjang jalan sambil meyakinkan diri jika gadis itu akan datang. "Mungkin saja dia akan kembali ke jalan ini lagi, aku akan menunggunya di sini saja," kata Deva sambil meneguk air yang ia bawa dari istana. Deva pun menunggu kedatangan gadis itu sambil duduk di bawah pohon, ia merasa sangat lapar dan kelelahan saat itu. "Aku lupa membawa bekal makanan kemari, padahal aku sudah sangat lapar," ucap Deva. Tanpa disadari, ia pun tertidur di bawah pohon itu, ia juga terlihat begitu pucat karena menahan rasa lapar seharian.
Deva kembali bertemu dengan Georgia saat ia sedang berada di kuil. Ia pun langsung menghampiri dan menyapa gadis pujaannya itu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Deva kepada Georgia. “Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Masih melakukan sayembara untuk mencariku?” ujar Georgia mengejek Deva. “Ah! Aku sudah menemukanmu, untuk apa lagi sayembara itu,” jawab Deva membalas ejekan itu. “Siapa namamu? Kau lupa memberitahuku kemarin,” tanya Georgia. “Deva, namaku Deva. Dan kenapa kau tidak menanyakan namaku kemarin?” ujar Deva. “Seharusnya kau yang harus memberitahu namamu sendiri,” jawab Georgia. “Lupakan saja, hari ini
“Georgia, mengapa kau begitu indah di mataku?” ujar Deva saat ia mengingat pertemuannya dengan Georgia. Ia selalu ingin menghabiskan waktu bersama gadis pujaannya itu. Deva kembali pergi ke rumah Sang Guru, untuk menceritakan pertemuannya dengan Georgia. Di perjalanan, ia hanya mengingat sosok Georgia. Sorot matanya, senyumnya, dan caranya memperlakukan Deva, masih teringat jelas di benak Deva saat itu. Sesampainya Deva di rumah Sang Guru, ia langsung menceritakan pertemuannya itu kepada gurunya. “Guru, apa kau tahu? Aku sudah menemukan pujaan hatiku,” ujar Deva bahagia. “Jadi kau sudah bertemu dengan gadis yang kau cari itu?” tanya Sang Guru. “Iya Guru, aku sudah bertemu dengannya. Dan apa kau tahu? Dia sangat cantik, begitu angg
Setelah perbincangannya dengan Sang Guru dan Carolus, Deva kemudian pergi ke kuil untuk berdoa. Ia juga masih merasa penasaran dengan orang yang dimaksud sebagai mata-mata dari Kerajaan Edayon. Sesampainya Deva di kuil, ia lanjut berdoa dan tak lupa memberikan sekantong makanan untuk burung merpati. “Deva, bagaimana kabarmu?” tanya laki-laki tua yang pernah menegur para gadis di kuil itu. “Aku baik-baik saja,” jawab Deva sambil memberikan makanan untuk burung merpati. Laki-laki tua itu pun tersenyum kepada Deva dan langsung masuk ke dalam kuil. Hari ini, hanya laki-laki tua itu saja yang menyapanya di kuil, tidak terlihat satu pun para gadis yang menyapanya di sana. “Boleh aku membantumu, Putera Mahkota
“Kenapa jadi seperti ini? Ini tidak sesuai dengan tujuanku,” ujar Georgia di dalam kamarnya. Ia pun juga merasa gelisah setelah seharian menemani Deva. Rupanya benar, ia sedang menyembunyikan sesuatu selama ini. “Haruskah aku berhenti menjalankan ini semua? Sungguh berat rasanya,” sambungnya. Ternyata, ia adalah putri satu-satunya dari Tyson Edzar, pemimpin Kerajaan Edayon saat ini. Ia sengaja tidak mau memberitahu asal usulnya kepada Deva dan Sang Guru di Throne, karena sebenarnya ia adalah Putri Mahkota dari Kerajaan Edayon, yang dimana menjadi musuh terbesar dari Kerajaan Throne. Selama ini, ia sering pergi ke wilayah Throne hanya untuk mencari suasana baru. Namun, hal itu diketahui oleh ayahnya, Tyson Edzar. Kemudian Tyson Edzar memberi
Singkat cerita, Georgia kembali membaik saat itu. Ia langsung mengajak Deva untuk pergi mengantarnya pulang ke istana. Namun, Deva merasa sedikit berat membiarkan Georgia pergi kembali ke istananya. Ia masih merasa khawatir dengan pujaan hatinya itu. “Apa kau yakin ingin pulang?” ujar Deva kepada Georgia yang tengah bersiap-siap untuk pergi. “Aku yakin, ayo antarkan aku,” jawab Georgia. “Ya sudah, aku akan mengantarmu. Tapi ingat satu hal, jaga kondisimu dengan baik,” sahut Deva khawatir. “Kau tenang saja,” jawab Georgia menenangkan. Kemudian Deva pun pergi mengantar Georgia ke istananya.