Gemericik air bertanding bebatuan melintas mengikis lemut tebing yang mulai menghijau. Suara kicau burung dalam lebatnya dedaunan di hutan meramaikan riuh angin bercampur suara gemuruh. Terpelanting kemudian terseok-seok bak nenek renta yang dihajar massa. Gadis ringkih dengan bola mata besar berlari tidak tahu arah. Ditertawai oleh riuhan kepakan sayap kalelawar.
Di ujung pepohan randu lelaki bertudung putih mengusap kulit pohon. Raungan para makhluk hutan menyibak kesenyapan dalam waktu yang tidak sepatutnya digunakan untuk beramai-ramai menunjukkan harmoni perang antar pedang. Matanya menyipit ketika melihat siluet seorang gadis ringkih berambut ikal yang tengah berlari dikejar puluhan prajurit berpedang. Tumbuh-tumbuhan yang baru bertunas terkena imbas ganasnya kericuhan malam itu.
"Jinbum!" Gadis itu mengulurkan tangan ke atas. Pedang bersahutan di belakang membelah halang rintang untuk memporak-porandakan isi perut gadis tidak beralas kaki yang mereka kejar.
Pasukan berpedang milik Jinbum--lelaki yang berdiri di atas pohon randu menyerbu puluhan prajurit istana. Denting besi bertubruk--melawan untuk menjatuhkan musuh. Teriakan pilu saling bersahut ulah ujung pedang yang mengoyak organ vital.
"Jinbum, tolong aku!"
"Bukan Bumyen pelakunya!"
Gadis berambut ikal menahan rasa takut yang kian menampar insting untuk mempertahankan hidup. Ia tahu, Jinbum begitu marah pada dirinya yang lebih memihak tersangka atas perbuatan menelantarkan bagian keluarga Istana kerajaan Majapahit. Namun, hati mungilnya begitu memprotes ketika kehidupan yang ia miliki terserang badai panah dari balik semak-semak kering.
Tidak disangka oleh gadis berambut ikal yang melayang--melawan gravitasi. Serbuan panah jatuh tergolek di atas dedaunan kering ketika misi mereka gagal menancapkan racun ke tubuh gadis itu. Ayunan dari tali rotan menjadi tonggak tidak berpenjak pada topografi yang landai dan belum tentu aman bagi mereka.
Jimbum menyelamatkan nyawa dari seorang gadis yang mengaku anak dari Bumyen. Bagi gadis berambut ikal--Bumyen adalah seorang ayah yang begitu penting dalam hidupnya. Ia patut berterimakasih pada Jinbum atas kemauan dan pengorbanan yang ia lakukan dengan menyelamatkan gadis ringkih menggunakan tali rotan yang sengaja diikat di pohon randu. Mereka masih berayun sampai Jimbum mendarat di bawah semak-semak dedaunan kering yang sengaja dipersiapkan mewanti-wanti jatuh yang tak elok bagi keselamatan badan.
"Informasi apa yang kau dapatkan?"
Bola mata besar menatap Jimbum yang tengah melepas ikatan tali dari tubuhnya. Ia nampak begitu berwibawa walau wajah dan gaya berbicanya sedang tidak menunjukkan sikap terbuka pada gadis itu. Dentingan pedang berebut kemenangan masih terdengar. Jinbum memberi perhatian pada luka terbuka di lengan gadis ringkih hanya dengan menatapnya saja.
"Kau akan menjadi seorang Raja!"
Tangan Jinbum yang ingin membantu membalut luka gadis dengan kulit kusam berlumur lumpur hitam tergulai lemah kembali ke asal. Mata sipitnya semakin mengecil--memberi peringatan pada siapa pun agar tidak mendekat.
"Kau akan menjadi seorang Raja, Jinbum!"
"Diam!"
Mulut gadis ringkih terkatup rapat. Aura Jinbum tidak jauh berbeda dengan para prajurit yang berusaha mengambil kepalanya. Sungai berdarah--anyir mengancam wewangian bunga hutan ulah para manusia yang saling berperang. Mereka menubruk, menghunus tak kenal takut demi misi yang segera tercapai.
Jinbum menarik tangan gadis ringkih. Mereka berlari menjauhi medan peperangan. Pasukan pemanah begitu girang melihat target menampakkan diri dari balik pepohonan randu. Rupanya saat itu alam memihak gadis ringkih dan Jinbum yang bertarung nyawa dengan puluhan anak panah yang saling berlomba menusuk tubuh mereka.
Ranting pepohonan saling berjatuhan--menciptakan hujan ranting di tengah malam yang dini. Anak panah menusuk kecewa ranting yang tergolek bukan target mereka. Sesekali gadis ringkih menoleh ke belakang--memantau keadaan yang kian ricuh tidak kunjung tenang.
"Fokus!" Jinbum membentaknya.
Mereka masih berlari melewati semak-semak kering berduri. Gadis berambut ikal terjebak dalam nuansa romantis yang seharusnya tidak pernah ia pikirkan. Sejarah mencatat jika nantinya sosok pemuda yang kini bersamanya akan menjadi orang besar. Namanya akan diabadikan sepanjang hidup. Bahkan para generasi bangsa akan mempelajari lika-luki kehidupan yang ia alami. Tidak termasuk dalam berlarian di tengah hutan dengan seorang gadis asing tentunya.
Gemuruh memberontok angkasa. Rintik hujan mulai turun disusul petir yang saling menyambar. Jalanan yang licin tidak terelokan untuk dilewati. Alhasil, gadis ringkih terjatuh membawa kegeraman bagi Jinbum. Menyesal tiada arti untuk memarahi dia yang terlanjur tersesat dalam limbah membahayakan. Jinbum berhenti--menarik tubuh gadis berambut ikal yang kian kotor bermandikan lumpur baru.
"Maaf," katanya.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Pasukanku mungkin bisa menahan mereka, tetapi tidak semuanya."
Jinbum memapah gadis berambut ikal. Dia membawanya ke sebuah pohon besar yang memiliki celah sempit di bawah. Itulah pintu rahasia yang selama ini menjadi penghubung antara markas Jinbum dengan wilayah kerajaan Majapahit yang kini dikuasi Raja Kertabumi.
"Bagaimana dengan lukamu?"
Jinbum terdiam. Rupanya duri yang ia dapati di sepanjang jalan telah diketahui gadis berambut ikal dengan bola mata yang besar. Lelaki itu membantu gadis menuruni tangga kecil menuju terowongan bawah tanah. Suara jangkrik menyambut rentak kaki berkecap-kecap dengan alunan air yang membalai kaki telanjang gadis ringkih.
"Kau terluka!"
Jinbum masih terdiam.
"Kau tidak boleh terluka!"
Kini mata sipit memberikan perhatian pada mata besar. "Aku juga manusia. Berhenti berceloteh dan sebentar lagi aku akan membawamu ke padepokan."
"Jinbum," panggil gadis itu. Mereka berhenti setelah sampai di penghujung tangga. "Aku sebenarnya bukan dari sini."
Di dalam terowongan begitu pengap. Sulit rasanya untuk mendapatkan belaian angin. Terlebih, dengan kalimat gadis berambut ikal yang tanpa disertai alasan spesifik membuat Jinbum semakin gerah.
"Kau tidak mengerti kalimatku, ya? Berhenti berceloteh! Dan asalmu, kau kan putri angkat Kapten Bum. Jangan mengulas fakta dalam keadaan genting seperti ini!"
Jinbum melangkah lebih dulu. Namun, gadis ringkih kembali membuka suara yang membuat langkah Jinbum tertunda.
"Aku bukan keturunan yang lahir di masa ini, tetapi... aku dari masa di mana kau hanyalah sebuah sejarah bagiku."

***
Iringan nyayian dalam bus menemani perjalanan wisata sebagai salah satu agenda pembelajaran kelas XI IPS A. Beberapa murid bersenandung merdu menunjukkan bakat vokal yang mereka miliki. Ada pun yang hanya sibuk menatap gadget--berselancar di sosial media, bermain game, dan berselfie ria di dalam bus. Para murid yang tidak mengikuti kegiatan selama perjalanan dikarenakan rasa pusing dan mual yang melanda."Hueekkk!"Tidak jarang pula suara orang muntah terdengar. Mereka saling membatu memberikan minyak angin pada teman mereka yang tidak dapat menikmati perjalanan dengan tenang. Teman sebangku berbaik hati memijat leher ketika teman yang muntah sibuk mengeluarkan isi makanan ke dalam kantong plastik.Berbagai momen dalam bus itu diabadikan oleh para fotografer dadakan yang tak lain adalah para murid itu sendiri. Hingga, kegiatan mereka terhenti ketika salah satu seorang murid berteriak histeris."Aaaaaa!""Zahra!" Ibu Tina memanggil salah satu m
Suara kicau burung nyaring terdengar di tengah lautan lepas. Sebuah kapal dagang yang mengangkut barang-barang berlayar menuju daratan terdekat. Kapten kapal memberikan intrupsi untuk membentangkan selayar. Mereka butuh dorongan angin yang lebih kuat agar cepat sampai ke tempat tujuan."Kapten, ada surat dari tuan Putri Tang."Lelaki berkumis tipis dengan rambut panjang sepinggang itu mengambil sebuah amplop dari tangan pelayannya."Kembalilah bekerja.""Baik, Kapten."Satu-satunya lelaki paling dihormati dalam kapal itu berjalan menuju kamarnya. Ia begitu gembira mendapat surat dari orang yang ia cinta. Sudah setahun lamanya ia pergi dari Cina mengembara ke beberapa wilayah di dunia. Ia berniaga dan bertemu dengan orang-orang penting tiap singgah ke daerah mereka. Kendati demikian, tidak membuatnya lupa akan cinta yang ia tinggal di tempat asal."Kian," panggilnya. Ia membuka amplop tersebut. Barisan huruf mandarin m
Awalnya Zahra begitu syok ketika terbangun dari ketidaksadarannya. Bagaimana tidak? Tahu-tahu saja ia sudah ada di sebuah ruangan pengap yang dipenuhi berbagai sayuran, buah-buahan, dan daging hewan yang tersimpan bersamaan dengan para orang asing yang memakai pakaian bergaya sangat kuno.Saat itu ia berusaha untuk mengingat kapan terakhir kali ia sadar. Namun, semakin banyak mengingat ia justru merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Selain itu, hasilnya pun tidak jauh berbeda. Ia yakin jika beberapa menit yang lalu ia berusaha mendorong tubuh Dita menjauh dari tengah jalan. Lalu, mengapa sekarang ia ada di tempat yang asing ini? Malah dalam keadaan fisik yang sangat baik. Hanya saja, kulitnya terlihat kusam dengan perutnya yang merasa keroncongan.Zahra tidak pernah mengira jika kehadirannya di dalam ruangan minim cahaya dan pelita adalah ancaman bagi mereka. Bahkan setelah mendengar bahasa yang keluar dari mulut mereka, Zahra kian syo
Debur ombak menghantam tubuh gadis berpeluh darah. Puluhan ikan hiu mengelilingi tubuh seorang manusia dengan aroma lezat yang memanggil perut keroncongan mereka. Arus laut yang semakin kencang mengendurkan niat memakan santapan secara percuma. Para hiu berbalik ke dasar lautan. Mereka menjauh dari kapal di atas yang mulai bergoyang labil."Zahra."Seekor lumba-lumba menarik tubuh gadis tak bertenaga menjauh dari kapal. Ringkihan seperti kayu berdecit mengurai ketegangan dalam hati kecil gadis yang bermimpi tentang kematian. Udara segar menyapa pernapasan yang sempat diserbu tajamnya air laut. Angin yang melintas mengeringkan wajahnya secara alami. Ia tidak mengira jika hidupnya akan berlanjut melalui perantara seekor lumba-lumba."Kau sudah sadar?"Mata Zahra yang masih terpejam sontak membuka paksa. Ia terbatuk--memuntahkan air laut yang ingin mengisi kantong perut. Suara aneh dari dekat tidak memberinya jawaban. Matanya melirik seekor lumba-lumb
Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata."Uhuhk!"Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang."Kau sudah sadar, Kapten?"Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu."Jangan takut, aku bukan hantu."Kini gadis dengan rambut b
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.