Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata.
"Uhuhk!"
Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang.
"Kau sudah sadar, Kapten?"
Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu.
"Jangan takut, aku bukan hantu."
Kini gadis dengan rambut bergelombang yang menikmati angin malam dari laut kembali menikmati eksotisme pemandangan para bintang. Bumyen memberanikan diri berjalan ke arah gadis misterius yang berasal dari sebuah negeri dengan nama asing menurutnya.
"Jangan terlalu banyak bergerak. Kau belum benar-benar pulih."
Kaki Bumyen berhenti di sebelah gadis misterius yang ia duga sebagai penyusup. Ia sebenarnya masih curiga dengan gadis yang kini memiliki aura berbeda ketika kulitnya tak sekusam di kapal. Ulah ombak laut membuat kulit gadis ringkih mengelupaskan noda jahat dikulitnya.
"Kau juga."
Bumyen merobek ujung bajunya. Ia duduk--menyibak rambut gadis penyusup yang terasa menghalangi luka di leher. Zahra--gadis penyusup itu tidak bernapas ketika Bumyen mengikat lehernya untuk menutupi luka yang sebenarnya tidak terlalu parah.
"Aku tidak ingin berhutang budi pada seorang penyusup."
Zahra bangkit menjauhi air laut yang mengejar tak kenal lelah. Ia menuju tempat Bumyen terakhir beristirahat. Di sana, ada beberapa buah-buahan dan kelapa segar yang sudah terbuka. Berkat kemampuannya berbicara dengan hewan, Zahra bisa meminta tolong pada mereka. Walaupun tidak semuanya mau, tetapi beberapa masih ada yang bersedia membantu.
"Kau memanjat pohon kelapa?!"
Bumyen menutup mulutnya ketika Zahra tanpa menawarkan minuman menikmati apa yang dipikirkan lelaki dengan kecurigaan tak mendasar. Andai tenggorokan bisa berbicara, mungkin ia akan memperotes Bumyen yang masih kekeh jika Zahra adalah seorang penyusup. Sehingga, kecurigaan itu mengharuskan tenggorokan hanya menelan balik saliva yang kini semakin pahit rasanya.
"Anggap saja seperti itu."
Slurrrrp
Dahaga Zahra tuntas setelah air kelapa membasahi tenggorakannya. Ia sungguh berterimakasih pada monyet yang telah sudi melawan bahaya gravitasi dengan memanjaat pohon tertinggi di pesisir pantai. Kali ini suara asing mengusik ketenangan gadis penyusup yang tengah menikmati santap malam dengan nikmat.
Kruukkk
Tangan Bumyen melingkari perut. Wajahnya mengikuti arah angin yang berembus ke sebelah Selatan. Sebenarnya ia hanya menahan malu ketika suara perut keroncongan bergema menyusul suara sendawa gadis rambut ikal.
"Makan, lha."
Zahra beralih menyantap buah mangga. Ia menawarkan Bumyen agar perut Pria itu tidak gaduh meminta empunya mengisi dengan beberapa nutrisi. Gadis penyusup berambut ikal tidak seperti orang jahat yang ingin merebut sesuatu darinya. Namun tetap saja, Bumyen memasung kecurigaan pada tiap gerak-gerik gadis itu.
"Kau sudah berbaik hati memberiku makanan di kapal. Sekarang, waktunya aku membayar hutang itu."
Bumyen nampak ragu. Namun semilir angin malam kian menghujam perutnya yang keroncongan. Ia tidak memiliki apa pun untuk dijadikan sebagai tumbal. Bahkan ia terdampar di tempat asing, lalu ditolong oleh seseorang yang sempat ia celakai. Debur ombak mengempas kencang ke pasir putih. Mereka seaakan menertawakan kebimbangan yang menahan hati Bumyen untuk menerima tawaran gadis penyusup.
"Kau masih takut padaku?"
"Tidak!" Bumyen menjawab lantang. "Aku hanya masih curiga denganmu! Gadis dengan asal-usul tidak jelas...."
Mutiara meletakkan sebuah mangga di pangkuan Bumyen. "Makan saja dulu. Kau terlalu berpikir negatif pada orang asing."
Perut Bumyen menjerit bar-bar. Gelak tawa gadis penyusup kian memperparah suara perut keroncongannya. Menunduk sedikit, Bumyen memakan dengan rakus mangga yang diberi Zahra. Ia nampak bersemangat mengunyag buah berserat yang kaya gizi dan vitaman C. Bahkan tangan Bumyen tanpa malu-malu seperti di awal, mencomot buah lainnya yang sengaja Zahra letakkan di atas daun dekat tempat Bumyen beristirahat.
"Kau... dari Cina?"
Bumyen mengangguk.
"Jadi, kapalmu tadi akan membawa kita ke negerimu?"
"Aku ingin bertemu Eng Kian." Selera makan Bumyen mulai menguap. Suara gemerincing gelang di kaki dengan alunan seruling bambu membawanya pada bayangan gadis oriental berwajah tirus.
"Dia ibumu?"
"Kekasihku," kata Bumyen. "Dia lebih cantik darimu."
Kalimat itu tidak akan berpengaruh pada kepercayaan diri Zahra. Ia justru semakin penasaran dengan sosok Eng Kian--kekasih Bumyen yang katanya cantik.
"Jaman sekarang kalau mau jadi cantik itu gampang! Asal punya uang, tinggal pilih aja cara yang kita mau."
"Dia alami!"
"Emang dia pake skincare apaan? Bedak bayi tambah kopi? Ah, cowo mana tau!"
"Dia memang selalu memakai riasan dan perhiasan mewah, tetapi wajahnya tidak jauh berbeda ketika dia bangun tidur."
"Astaghfirullah, jadi kalian udah pernah--"
"Tidak!" Bumyen melotot. Ia mengendurkan otot-ototnya ketika menahan diri dari godaan gadis penyusup. "Dia selalu menungguku di tepi danau. Kami selalu menyempatkan waktu duduk di tepi jembatan. Di sana, kami setia menanti matahari terbit."
Zahra heran masih ada kebiasaan kuno seperti itu. "Norak," komentarnya.
"Norak itu apa?"
"Serius, enggak tau?"
Bumyen menggeleng. Zahra melongo melihat kaum manusia yang tidak tahu apa itu norak. Padahal, walau Bumyen memakai logat Melayu ia tetap mengerti apa yang disampaikan masing-masing pihak.
"Emm, norak itu kayak terlalu berlebihan dalam menampilkan sesuatu. Gitu sih, menurut aku."
"Menurut kamu?"
"Eh seriusan deh! Kamu nanya lagi aku lempar pake batok kelapa, nih!" Tangan Zahra sudah bersiap di atas buah kelapa. Bukannya tidak mau menjawab, Zahra hanya tidak tahu mencari jawabannya. Tidak ada ponsel, internat, dan kuota, maka sama dengan, Zonk!
"Kenapa perempuan sepertimu ini sangat kasar? Fisikmu sangat tidak menunjang, Puan."
"Hah, Puan? Eh, enggak salah denger kamu manggil aku gitu?"
"Kamu bukan penyusup. Aku menganggapmu sebagai teman sekarang."
Teman? Zahra terdiam untuk sesaat. Ia hanya dekat dengan Ant. Tidak ada yang menganggapnya seperti makhluk sosial selama tidak ada Ant. Zahra bak orang asing dimana pun ia berada. Keramaian selalu menjadi tempat bermain sepi dalam hati yang tak pernah singgah ke lain tempat. Zahra bukan tidak mau berteman dengan mereka, melainkan ketidakcocokan membuat Zahra tidak nyaman menjalin hubungan dengan seseorang.
Bumyen menikmati wajah Zahra yang tengah melamun. Gadis itu mengukir wajah baru dalam benaknya.
"Tang Eng suka berekspresi seperti itu ketika aku berniat menikahinya."
Lamunan Zahra teralihkan. Mata sipit di depan memaklumi kesadarannya yang baru saja bangkit. "Dia tidak menyukaimu?"
"Bukan seperti itu," kata Bumyen. "Kedua orangtuanya adalah orang terpandang di wilayah Tang. Mereka keluarga yang sangat agamis. Tang Eng keturunan Islam. Ia dan ayahnya memiliki pedoman hidup yang sama."
"Kau bukan seorang Muslim?"
Bumyen mengangguk. "Aku pikir Tang menakutkan hubungan kami. Sebab itu, aku kemari untuk menjemput Tang. Kuharap, kedua orangtuanya mau menerimaku yang sudah berusaha sejauh ini."
Hubungan Bumyen tidak dapat dimengerti Zahra. Ia hanya siswi SMA yang bahkan tidak pernah mencicipi ungkapan cinta dari lawan jenisnya. Kehidupan Zahra begitu monoton.
"Kenapa tidak jadi muallaf saja?"
"Itu memang sudah menjadi niatku. Dan nanti, biar orang tua Tang yang menjadikanku umat mereka."
Mungkin itu yang disebut penyebaran agama Islama melalui jalur perkawinan. Selama ini Zahra hanya tahu dari pelajaran di sekolah dan beberapa berita dari artis dan orang ternama saja. Namun, kali ini ia mendengarnya secara langsung sekali pun orang yang ia temui tidak begitu ia kenal.
"Niat yang bagus."
"Terimakasih."
Angin dari laut datang membelai. Memecah keheningan usai percakapan Zahra dan Bumyen. Suara gemerisik dari balik semak-semak menyentil tombol waspada. Bumyen berdiri disusul Zahra.
"Merpati!" Zahra begitu girang ketika tahu seekor merpati putih yang muncul dari dalam semak-semak itu. "Aku tau kau akan datang!"
"Hai, Zahra?"
Kini seekor kuda putih ikut muncul dari belakang. Bumyen menganga melihat Zahra yang nampak tenang membelai kepala seekor merpati dan kedatangan kuda gagah berambut bersih.
"Kau membawakanku teman baru?"
Merpati putih terbang ke atas pundak kuda. "Namanya Hans, dan aku Miko. Kami baru saja sepakat untuk menolongmu."
Zahra terharu dengan kalimat Miko--merpati putih yang sempat ia bentak. Bakat baru yang ia miliki ternyata mendekatkannya pada hal-hal yang tidak pernah ia duga. Meskipun terkesan aneh, tetapi Zahra bersyukur memiliki keistimewaan ini.
"Ehm! Aku akan sangat berterimakasih pada kalian!"
Bumyen kian merasakan kengerian melihat Zahra yang berbicara pada dua hewan di depan. Ia mundur selangkah demi selangkah ketika imajinasinya mulai liar berkhayal. Siapa yang akan tahu jika Zahra adalah orang gila? Atau... gadis itu memang bukan benar seorang manusia.
"Kapten," panggil Zahra. Gadis itu berlari menarik tangan Bumyen yang berkeringat dingin. "Mari antarkan aku pulang!"
"Ke-Kemana?"
"Indonesia, negaraku!"
***
Sementara itu, jauh di dalam wilayah Cina, tempat para penduduk ras Mongoloid bermukim. Selayar kapal terlipat serentak merapat di dekat dermaga. Kicau burung pelikan berdatangan mencari mangsa. Rombongan pedagang turun dari kapal membawa barang-barang muatan. Dipan kayu terusung ke depan menghubungkan jalan menuju daratan."Tang, dimana Kapten? Bukankah hari ini kapalnya akan singgah?"Ling Yie--sahabat Tang Eng Kian yang datang menemani nampak risau. Sudah dari fajar subuh mereka menunggu. Namun, selayar kapal Bumyen tak berkipar di sekitaran dermaga. Mendadak, suara bising terdengar dari sebuah kapal mewah membawa lambang kerajaan. Para manusia berpakaian seragam turun mengiringi sosok lelaki berperawakan gagah, tetapi tak murah senyum. Kehadirannya hanya sekilas--tidak berbekas. Karena setelah itu, dia masuk ke dalam kereta kuda."Nampaknya dia orang penting," kata Ling beropini. "Mungkin dia seorang Panglima kerajaan. Kau tahu? Ba
Hans--kuda gagah yang tinggal di dalam hutan membawa Zahra dan seorang Kapten pesohor. Miko--burung merpati putih lelah untuk terbang. Ia bersembunyi di balik baju milik Zahra. Walaupun masih takut dengan status Zahra dan juga kemampuannya berbahasa binatang, Bumyen tetapi berusaha ikut demi menjemput Tan Eng Kian di daratan Cina."Zahra, apakah kau serius ingin mengantar Kapten Bum ke wilayahnya?" Hans mendadak bertanya.Zahra duduk di belakang Bumyen. Ia tetap mengangguk walaupun Hans tidak melihat jawaban itu. "Aku akan pergi ke kedutaan Indonesia di Cina. Kau akan mengantarku kan, Kapten?""Kedutaan? Nama apa itu?" Bumyen akhirnya bersuara setelah ribut dengan cara otaknya berpikir. "Zahra, aku rasa kau sedikit aneh. Namamu asing, dan... caramu menyebutkan nama-nama tempat juga sama. Sebenarnya ... kau ini apa?"Tawa Zahra membuncah. Kelinci hutan lekas bersembunyi di balik pepohonan. Mereka takut--Zahra adalah nenek pe
DUA PULUH TAHUN KEMUDIAN....Namaku Azzahra Rafasya. Tercatat sebagai salah satu Siswi di sebuah sekolah Darmawarga di Jakarta Selatan. Aku tahu, kisah ini begitu sulit untuk dicerna akal manusia. Bahkan, sampai detik ini pula aku tidak tahu mengapa aku ada di tempat ini. Tempat dimana pedang adalah senjata yang begitu berharga. Tidak akan ada seorang polisi yang menghadangmu di jalan jika kau membawa benda tajam sebanyak apa pun itu.Dua puluh tahun tinggal di masa ini, aku mendapatkan begitu banyak pengalaman. Termasuk, siapa aku di sini. Ingatan tentang Kinara yang disukai oleh seorang Pangeran Kerajaan selalu terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu spesifik apa Kinara dan hubungannya dengan, Pangeran Kerthabumi. Ya ampun, siapa yang akan menyangka jika aku mendiami tubuh gadis yang terkait dengan orang besar di era ini?Pernah terlintas di pikiranku. Apakah selama ini aku begitu mengacuhkan dunia di masa depan? Sehingga, Dia membawaku ke masa lalu? Entahlah.
Kata pepatuah tua, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Sebab itu, perkenalan itu dibutuhkan. Namun, bagi seorang Zahra Rafasya tidak penting adanya tahu siapa orang yang sedang duduk di sebalah. Atau pun, siapa orang yang telah memuji walau sekilas kalimat. Dia sudah terbiasa hidup dalam keterasingan. Tidak di masa depan, di masa lalu, dan sekarang sama saja. Zahra begitu sulit membaur dengan bangsa manusia. Hanya orang-orang terpilih bagi Zahra yang bisa dekat dengan dirinya. Itu pun, karena ia dan seseorang itu memiliki sebuah keterkaitan."Seharusnya kau meminta maaf, Ra." Miko memberikan saran. Melihat wajah Raden yang memerah karena pukulan Zahra, pasti sangat tidak adil bagi seorang lelaki yang rela terjun ke dalam air demi menolong nyawa gadis tidak tahu diri itu. "Dia itu baik. Siapa yang tahu dia menggagalkan aksi bunuh dirimu?"Zahra memang berniat bunuh diri ratusan kali. Namun, yang tadi itu diluar rencananya. Dia tidak tahu jika akan mati t
Bukit di belakang kediaman rumah Bumyen menjadi satu-satunya penanda yang tidak akan Raden lupakan. Namun, wajah awet muda pemilik suara manja yang tidak henti membututi di belakang adalah hal yang sulit untuk Raden jabarkan.Gadis bernama Zahra itu mengendap-endap di balik semak dan pepohonan. Raden Patah mengetahui keberadaan Zahra dengan suara gaduh yang dia timbulkan. Anehnya, Zahra seperti orang bodoh yang tidak mengetahui ulahnya."Kinara? Bukankah dia sudah mati? Lalu, Kinara yang dimaksud gadis tadi mungkin adalah hantu jelman wanita itu?" Raden bermonolog. Sengaja karena ia ingin memancing gadis itu keluar."Sembarangan! Aku beneran Kinara, tau! Kamu enggak percaya?!" Zahra berkacak pinggang. Sesekali ia menggaruk kulitnya yang kemerahan digigit serangga. Pakaian Zahra yang hanya menggunakan lilitan jarit menjadi cukup terekspos bagi serangga yang ingin hinggap."Kemari," Raden berpaling walaupun ia meminta Zahra m
Mengingat keinginan Zahra untuk melaksanakan salat Raden pun memutuskan untuk membeli rukoh di pasar. Namun, tidak semudah yang dibayangkan. Zahra menolak ajakan Raden dengan dalih menjauhi para penduduk di desanya. Kendati demikian, Raden tidak patah arang. Ia membujuk Zahra, hingga gadis itu luluh dan memberanikan diri untuk ikut."Sebelum itu, aku harus meminta izin sama Bibi Galih."Raden mengangguk. Zahra terlihat bersemangat masuk ke dalam rumah Bumyen. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu Zahra. Ada yang berbeda dengan penampilan gadis aneh. Dia memakai selendang yang sengaja dililitkan di kepala untuk menutupi sebagian wajah. Raden tidak tahu, apa yang membuat gadis agresif bin aneh itu berusaha menutupi paras ayunya."Itu lebih baik." Raden memuji. Ia memimpin jalan, sedang Zahra berusaha membarengi langkanya. Namun, tidak pernah selalu kompak. Langkah Raden terlalu lebar dan cepat. Zahra menerima sikap Raden yang terlihat ti
Majapahit merupakan kerajaan besar yang berhasil mencetuskan nama Nusantara, hingga memperluas daerah kekusaannya. Semenjak kematian patih Gajih Mada, kerajaan itu hidup dalam berbagai keanekaragaman budaya. Para pendatang dari luar kerajaan dari Cina, India, Asia Tengah, dan Tenggara silih berganti menjalin kerjasama dengan kerajaan yang kini dipimpin oleh Raja Brawijaya V atau biasa dipanggil Raden Kertabhumi.Raja itu dikenal berhati lembut penuh kasih sayang. Terutama, pada seorang istrinya bernama Dewi Amarawati. Rakyat memanggilnya Putri Champa karena asal wanita berparas rupawan itu dari Kerajaan Champa.Kecantikan eloknya membuat hati Brawijaya tersihir untuk melakukan apa pun yang Putri Champa inginkan. Termasuk, menyingkirkan Putri Cina--Tan Eng Kian ke Palembamg karena eloknya yang menandingi Putri Champa. Ia seorang Muslimah yang diangkat sebagai Permaisuri kerajaan. Tidak hanya menduduki takhta singgasana Majapahit, ia juga meng
Dua jam lamanya gadis itu memainkan kecapi di depan Brawijaya. Namun, tidak sedikit pun menarik perhatian Raja itu. Amarawati hanya bisa bernapas lirih melihat Brawijaya yang justru menatap dalam kekosongan."Bolehkah saya masuk?" Gadis itu menunduk setelah Raja memintanya memainkan musik di dalam kamar miliknya."Saya tidak bisa tidur. Musikmu terdengar sangat indah hingga saya merindukan alunan nadanya. Tidak perlu khawatir, saya yang akan menjamin keselamatanmu, Nara."Kinara masih ragu, tetapi ia memberanikan diri untuk menerima ajakan Raja. "Jika begitu, saya akan membawa alat musik saya ke dalam kamar Yang Mulia."Raja mengangguk. Ia menunggu kedatangan Kinara di dalam kamarnya. Tidak berselang lama, Kinara datang. Gadis itu duduk di bawah ranjang milik Raja. Sedang Raja tersenyum sembari membaringkan tubuhnya. Jari-jemari Kinara mulai bermain memetik kecapi. Alunan merdu membuai siapa pu